Janji Ana

Ana pun kini sudah siap dengan pakaian yang ia rasa telah menjadi baju terbagus yang dirinya miliki.

Baju lengan panjang yang berkancingkan dua di tengahnya beserta rok di bawah lutut membuatnya tak jauh-jauh dari ciri khas gadis desa pada umumnya.

Senyuman yang begitu lebar pun mengembang sempurna di wajahnya saat ini. Ana merasa begitu bahagia karena hari ini adalah ari pertama dirinya bekerja.

"Ana pasti bakalan jadi cewek yang sukses dan kaya suatu hari nanti. Mulai dari nol sampai nanti jadi 100 atau bahkan sampai milyaran," sugesti Ana memandang pantulan wajahnya melalui pecahan kaca kecil yang selalu dibawa olehnya itu.

Ana lalu mengangkat wajahnya memasukkan kembali jimat kacanya itu ke dalam saku roknya.

Decak kagum tak kunjung berhenti dari mulutnya sedari tadi. Ia bahkan tampak mengedip-ngedipkan matanya berulang kali. Mencoba meyakinkan jika apa yang dilihatnya kali ini adalah sebuah kebenaran bukan tipu-tipu semata.

"Gak heran kalo perusahaannya sampai gede banget kemarin. Sesuai aja sama rumahnya yang juga gak kalah gede. Bahkan Pak Richard juga gede. Badannya," ucap Ana pelan sebelum akhirnya mengangkat tangannya, mengetuk pagar hitam yang menjulang tinggi itu.

"Ini orangnya bakalan denger apa gak ya? Atau aku kencengin sekalian aja kali ya? Iya bener banget kayaknya ngetuknya harus lebih kenceng lagi biar orangnya denger," dialog Ana pada dirinya sendiri.

Ana pun langsung saja menggedor-gedor pagar rumah yang menjulang itu, menimbulkan suara yang begitu berisik sekali.

Untunglah saat itu tepat sekali dengan Richard yang datang habis dari olahraga keliling kompleks sekitar perumahannya itu.

"Heh! Apa yang kamu lakukan, gadis udik!" tegas Richard yang membuat Ana sontak melambaikaikan tangannya seraya menampilkan deretan gigi putih nan rapinya.

Richard yang melihat reaksi gadis itu segera menariknya dan langsung menekan bel yang tak jauh dari tempat Ana berdiri.

Tak lama seorang satpam mulai membuka pagar yang menutupi rumah itu.

"Sekarang kamu tunggu di pos satpam. Saya akan mandi lalu bersiap dulu," tutur Richard yang membuat Ana menganggukkan kepalanya menurut.

Namun, saat Richard baru saja akan melangkahkan kakinya. Ana justru turut mengikutinya dari belakang.

"Kamu gak dengerin apa yang saya bilang?" tanya Richard yang membuat Ana mengerutkan keningnya bingung.

"Emangnya kenapa, Pak? Saya denger kok kalo Pak Richard suruh saya nunggu di Pos Satpam, kan? Iya Pak saya bakalan nunggu di sana. Tapi, karena tadi saya buru-buru. Datang ke rumah Bapak ini tanpa makan apapun. Jadi, niatnya saya pengen minta makan sama Ibu Bapak. Baru nanti habis itu saya balik lagi kesini," balas Ana dengan raut wajah tanpa dosanya.

Richard membelalak. Entah apa yang ada di dalam pikiran wanita itu saat ini.

Setelah kemarin datang secara tiba-tiba dan meminta dirinya untuk membantu ekonomi gadis itu. Sekarang, ia bahkan dengan lancang ingin meminta makan di rumahnya Richard.

"Apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu? Apa kau tidak bisa berpikir dengan benar? Bagaimana mungkin saya akan mengizinkan kamu masuk ke dalam. Sudah tunggu di sana! Jangan coba-coba untuk melanggar perintah saya. Kamu lapar atau tidak, itu bukan urusan saya. Salah sendiri kenapa kamu bisa datang ke rumah saya pagi-pagi. Entah darimana kamu mendapatkan alamat rumah saya," tutur Richard terdengar begitu sadis.

Richard pun beranjak tanpa mengatakan apapun lagi membuat Ana hanya bisa mengembuskan nafasnya panjang.

Memegangi perutnya yang sudah bersuara menjerit meminta untuk diberikan makan.

***

Lama Ana menunggu pemuda itu dalam posisi lapar berat.

Gadis itu pun sampai tertidur di pos satpam saat ini.

"Bangun! Kita berangkat sekarang!" tegas Richard menjatuhkan kotak makan tepat di sisi gadis itu.

Ana tersentak, ia lalu tampak mengeliat tanpa ada raut jaim-nya sedikit pun.

"Ini buat saya, Pak?"

Wajah bantal Ana pun sontak berubah ceria saat mendapati kotak makan berada tepat di hadapannya.

"Cepat berangkat!"

Richard pun melangkah pergi meninggalkan Ana begitu saja. Ia masuk ke dalam mobil mewahnya tanpa perduli dengan kondisi Ana yang masih setengah sadar itu.

Dengan terburu-buru sampai sempat terjatuh hingga membuat bajunya sedikit kotor, Ana segera ikut masuk.

Namun, tiba-tiba saja Ana terdengar menggedor-gedor mobil pemuda itu.

"Apa-apaan sih kamu, udik?!" tutur Richard membentak.

"Saya gak tau gimana cara buka pintunya, Pak. Ini pertama kalinya saya lihat mobil kayak begini. Kenapa bisa geser gitu?" balas Ana apa adanya.

Sementara Richard hanya bisa bersabar karena mau bagaimana pun perjanjian itu sudah terlanjur ditandatangani oleh dirinya sendiri.

Mobil itu pun akhirnya dijalankan, membelah jalanan di pagi hari yang tidak terlalu padat itu.

"Apa pekerjaan saya hari ini, Pak? Apakah saya akan bekerja di hadapan tv besar itu?" tanya Ana membuat Richard ambigu.

Richard mencoba mengerti apa yang dimaksud oleh gadis itu sampai akhirnya ia teringat akan komputer. Sepertinya komputer lah yang tengah dimaksud oleh Ana kala itu.

"Kamu akan tau saat kita sudah sampai di kantor nanti. Ingat, di dalam perjanjian kita sudah tertera jika kamu menyetujui apapun yang saya katakan. Kamu tidak bisa mengajukan komplen apapun. Jika kamu memang ingin berhenti maka kamu harus membayar sebuah kompensasi. Paham?" terang Richard yang kembali diangguki oleh Ana.

Padahal sebenarnya, Ana sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kompensasi itu.

Di sepanjang perjalanan, Ana tampak melahap dengan rakus nasi goreng yang ada di dalam kotak nasi itu.

Selama beberapa bulan ini, Ana belum pernah makan nasi goreng lagi. Terakhir ia makan nasi dengan lahap seperti ini sekitar 5 sampai 6 bulan yang lalu. Sesaat sebelum Ayahnya-tulang punggung keluarga mereka itu meninggal dunia.

Sangat jarang bagi Ana dan keluarganya makan nasi. Jika pun ada mungkin benar-benar hanya nasi saja. Sisanya lebih banyak makan singkong rebus saja.

"Letakkan saja di dalam sini. Biar nanti Bi Ina yang akan mengurusnya. Dia selalu mengecek mobil ini sebelum saya berangkat. Ayo pergi," tutur Richard tanpa menatap ke arah Ana sedikit pun.

Wajahnya datar seakan menandakan jelas betapa Richard sangat tidak suka dengan kehadiran dari Ana.

Banyak karyawan yang setelah itu berbaris sejajar memberikan salam dan menyambut kedatangan dari Richard.

Apa yang dilihat oleh Ana kala itu adalah salah satu kebiasaan dari perusahaan yang dikendalikan oleh Richard itu.

Sebelum ke ruangannya. Richard pun menggiring Ana ke suatu tempat. Sudah berulang kali Ana menanyakan mereka akan kemana namun pemuda itu hanya diam dengan masih terus berjalan.

Sampai tak lama setelah itu, sampailah mereka pada suatu ruangan yang saat dibuka begitu gelap.

Ana pun mengekor tepat di belakang pemuda itu.

Jreng! Begitu lampunya dinyalakan. Tampak ruangan kotor, penuh debu dan jaring laba-laba di dalamnya. Banyak tumpukan barang juga di sana. Bahkan ada kotoran juga di sana membuat Ana menelan salivanya kasar.

"Bersihkan sampai benar-benar bersih," ucap Richard enteng.

"Tapi, Pak. Saya ...."

Sebelum Ana mengajukan tolakannya. Richard dengan cepat mengeluarkan lembar kertas print-annya.

"Jika menolak, silahkan bayar kompensasi sebesar 1 milyar. Bisa?"

Ana pun membulatkan matanya saat itu juga. Apa-apaan ini? Apakah ia meminta diberikan uang sampai sebanyak itu? Kenapa pemuda itu sekarang seolah seperti memerasnya? Apa yang sudah Ana putuskan sebelumnya?

Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya di dalam benaknya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!