Semakin hari, Axel bukannya malah senang. Dia semakin membenci mama tirinya. Alasannya karena dia tidak suka papanya menikah lagi dengan wanita muda yang lebih cocok menjadi saudaranya ketimbang mamanya.
"Sayang, kenapa kau sangat membenciku?" tanya Esme saat berada di kamar Axel.
Kegiatan sehari-hari Esme, selain mengurus Bastian. Dia pun mengurus segala keperluan Axel. Tidak ada bedanya seperti memperlakukan suaminya. Hanya saja, perlakukan Esme kepada Axel masih dalam tahap wajar. Belum menunjukkan hal-hal yang mengarah pada sesuatu yang lebih dari itu.
"Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Tidak perlu aku jelaskan alasannya. Kau pun sudah tahu dan bisa memahami itu. Setelah pekerjaanmu selesai, lebih baik kau lekas keluar dari kamarku!"
Selalu saja seperti itu. Terkadang bukan hanya penolakan, bentakan, dan juga caci maki yang dilontarkan Axel padanya. Namun, Esme bersikap masa bodoh karena tujuannya belum tercapai. Dia sudah jatuh cinta pada anak tirinya.
"Sayang, hanya tinggal beberapa pekerjaan saja. Iya, aku akan segera keluar. Sebelum itu, aku punya satu permintaan padamu. Apa kau mau mengabulkannya?" tanya Esme dengan suara yang sangat lembut seperti sedang merayu pelanggannya saat menjadi anak buah Madam Stella.
"Jangan merayuku dengan segala permintaan konyolmu itu, Esme. Lekas keluar dari kamarku!" bentak Axel.
Esme tidak mengindahkan peringatan dari Axel. Dia memang sengaja membuat Axel semakin marah. Bukan sekali ini saja, seringkali Esme mendapatkan bentakan. Terkadang suaminya, Bastian yang melerai keduanya saat di meja makan.
"Axel, kenapa wajahmu selalu seperti itu? Jangan diam saja dan coba bicaralah dengan mamamu. Setidaknya kau punya kesempatan untuk melepaskan segala kegundahan hati yang kau alami saat ini," ujar Bastian.
"Tidak ada penjelasan apa pun, Pa. Sejak awal aku tidak suka Papa menikah lagi, tetapi Papa sama sekali tidak mengindahkan aku. Jika bukan karena aku yang membantu Papa mengurus perusahaan, mungkin aku juga akan pergi seperti Axton."
Ya, ucapan Axel benar. Semenjak kepulangan kakaknya, Axton jarang sekali berada di mansion. Dia lebih senang menjalani kehidupannya di luaran sana yang lebih bebas. Selain itu, balasan dari Esme beberapa waktu lalu membuat kehidupan Axton tidak tenang saat berada di mansion.
"Jangan tiru adikmu yang bejat itu, Axel. Dia sudah kurang ajar telah menjual Esme pada mucikari. Papa yang menyelamatkan Esme."
"Dengan menikahinya? Apa Papa yakin bisa menjalankan pernikahan beda usia dengan mudah? Lalu, mengapa Papa dulu bercerai? Apa Papa tidak takut masa lalu itu terulang lagi?"
Jangan tanya lagi alasan itu. Semua orang juga tahu alasan Bastian bercerai dari istrinya, yaitu istrinya memiliki pria idaman lain sehingga tidak mau melanjutkan pernikahan dengan Bastian. Istrinya juga yang telah meninggalkan kedua anak-anaknya supaya dirawat dan dijaga oleh Bastian hingga keduanya dewasa.
"Ehm." Esme berdeham. "Jangan bertengkar di meja makan."
Bastian akhirnya melanjutkan makannya. Sementara Axel, dia lebih memilih masuk ke kamar. Hari ini merupakan hari libur sehingga mereka akan berada di mansion sepanjang hari.
"Sayang, jangan terlalu kasar pada Axel. Dia mungkin butuh waktu untuk bisa menerimaku. Terlebih aku jauh lebih muda di bawahnya. Wajar kalau sikapnya seperti itu," ucap Esme menenangkan Bastian.
"Ah, Sayang. Kau sangat berbeda dengan mantan istriku. Terima kasih sudah bisa menerima anak-anakku dengan baik. Kuharap kalian bisa berdamai. Aku pun lelah setiap hari mendengar Axel mengatakan hal-hal seperti itu. Dia ingin kita berpisah, tetapi aku tidak mau. Selama ini aku baru mengenal wanita sepertimu yang bisa membuat kehidupanku semakin semangat dan bergairah. Terima kasih, Sayang." Bastian berdiri kemudian memberikan kecupan pada Esme yang masih duduk menyelesaikan makannya.
Setelah meminta maid untuk membereskan meja makan, Esme masuk ke kamarnya. Kamar yang biasa ditempati bersama Bastian selama menjadi istrinya.
"Sayang, apakah kau hari ini tidak ke mana-mana?" tanya Esme.
Sebenarnya niat Esme untuk bertanya seperti itu karena dia ingin mengejar cintanya, Axel. Kalau suaminya ada di mansion, Esme merasa sulit sekali bergerak. Walaupun dia seringkali menyelinap ke kamar Axel dengan dalih izin untuk menyiapkan segala keperluan putranya. Terkadang dengan alasan ingin membangunkan Axel. Kebohongan demi kebohongan itulah yang digunakan Esme untuk bisa dekat dengan pujaan hatinya.
"Tidak. Kenapa?"
"Boleh aku pergi ke kamar Axel? Kau juga tahu kan kalau dia sangat membenciku. Mungkin dengan seringkali kami berinteraksi sebagai mama dan anak, lambat laun dia bisa menerimanya," ujar Esme penuh keyakinan.
"Hemm, pergi saja. Dia juga anakmu. Mood-nya perlu dijaga dengan baik agar tidak terus menyalahkanmu. Pergilah! Aku ingin istirahat."
Betapa mudahnya meminta kesempatan untuk bisa dekat dengan Axel. Bastian juga tidak mencurigai apa pun karena dia yakin kalau Axel dan Esme sama-sama bisa menjaga diri.
Esme baru saja keluar dari kamar. Dia melihat maid membawa beberapa minuman dan makanan di nampan yang sedianya akan dibawa ke kamar tuan mudanya.
"Mau dibawa ke mana, Maid?" tanya Esme.
"Ke kamar tuan muda, Nyonya."
"Biar aku saja yang bawa. Letakkan di meja itu. Suamiku yang minta untuk membuat mood Axel kembali baik," ujar Esme beralasan.
Esme segera mengetuk pintu kamar Axel. Axel mengira kalau itu adalah maid yang dimintanya untuk mengantarkan kopi ke kamar sehingga dia langsung mempersilakan masuk.
"Masuk!" jawab Axel.
Setelah pintu terbuka, tampak Esme masuk membawa nampan. Sontak Axel langsung mendampratnya.
"Kenapa kau lakukan itu? Di sini ada maid. Jadi, tidak perlu kau lakukan apa yang bukan menjadi tugasmu itu. Lebih baik kau urus dan puaskan papaku!"
"Sayang, jangan seperti itu sama mama. Papa sudah baik-baik saja. Aku sudah izin padanya untuk menemanimu hari ini. Setidaknya bisa membuat mood-mu semakin baik," ujar Esme dengan suara yang sengaja dibuat pelan.
"Keluar dari kamarku!" bentak Axel.
Esme memang pergi ke arah pintu, tetapi bukan untuk keluar. Dia hanya menutup pintu itu agar bisa dengan leluasa mengobrol dengan anak sulungnya.
"Jangan seperti itu, Sayang," ujar Esme yang ternyata memilih duduk di ranjang bersama Axel.
"Esme, jangan buat kesabaranku habis!"
Axel sama sekali tidak bisa bersikap baik. Kebenciannya pada sang mama tiri terus saja berlanjut. Namun, Esme tidak kehilangan akal. Dia dengan berani menarik tengkuk Axel lalu memberikan ciuman padanya. Sontak Axel tidak melakukan perlawanan dan dia pun tidak melakukan balasan apa pun. Dia malah terdiam merasakan bibirnya yang bersentuhan langsung dengan bibir Esme. Hatinya bergejolak. Jantungnya berdetak lebih kencang. Mungkinkah Axel mulai jatuh cinta pada mama tirinya?
Esme melepaskan ciuman searahnya karena Axel sama sekali tidak merespon. "Ck, seperti mencium manekin!"
Axel tidak menjawab. Namun, hatinya berkata lain.
Apakah aku sudah gila? Rasanya sungguh berbeda. Aku berusaha menahan diri, tetapi hati dan jantungku berkata lain. Apakah aku sudah mulai kehilangan harga diri untuk mencintainya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments