Angkasa bangun tengah malam dan mendapati Ashilla tertidur dekat ranjangnya. Pria itu tersenyum karena Ashilla ada untuknya. Perlahan tangannya terulur dan membelai puncak kepala wanita itu. “Sayang,” bisiknya parau.
Ashilla mengerjap dan lekas duduk tegak. “Kamu bangun?”
“Aku nggak nyangka kamu di sini.”
“Aku dapat kabar dari Bi Marni kalau kamu masuk rumah sakit.”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Ada yang punya dendam.”
“Kamu punya musuh?”
“Nggak,” jawab Angkasa jujur.
“Jangan bohong.”
“Kalaupun ada, bukan berarti musuhku jadi musuhmu, ‘kan?”
“Tapi–”
Angkasa menggeleng dan menghentikan Ashilla agar tidak membahas hal itu.
“Ya udah sekarang kamu istirahat lagi.”
“Aku mau minum.”
Ashilla bangkit dan lekas mengambil air mineral di meja dekat ranjang. “Jangan berkelahi, nggak semua masalah bisa selesai dengan otot,” omel wanita itu sembari mendekatkan sedotan ke mulut Angkasa.
“Aku nggak bertengkar, aku diserang. Aku nggak buat perlawanan.”
“Kenapa? Bukan berarti kamu nggak bisa berkelahi, ‘kan?”
“Nggak gitu. Masalahnya dia temanku.”
Seketika Ashilla tergemap menatap pria yang terkulai lemah itu.
Angkasa tersenyum. “Masalahku di masa lalu, bukan berarti menjadi masalahmu di masa depan.”
“Kenapa?”
“Karena sepasang manusia yang saling mencintai tidak akan menimpakan masalah satu sama lain.”
“Tapi, mungkin aku bisa bantu.”
“Nggak. Ini urusan laki-laki.”
Ashilla mendengkus dan kembali duduk.
“Kalau kamu mau bantu, tetaplah berada di sampingku, Sayang.”
Ashilla mengangguk. “Ya udah kalau gitu kamu istirahat lagi.”
“Iya.” Angkasa kemudian bergeser. “Sini tidur di sebelahku.”
“Nggak akan muat.”
“Muat kok.” Angkasa sudah berada di tepi ranjang.
“Nggak enak ah, malu.”
“Sini nggak apa-apa.” Angkasa menepuk bantal dan berniat membaginya dengan Ashilla.
“Ya udah.” Ashilla tersenyum dan naik ke atas ranjang. Dia kemudian tidur menyamping menghadap Angkasa. “Nanti kalau ada perawat gimana? Atau Mama sama Papa kamu.”
“Mereka nggak akan datang. Sekarang kamu tidur.”
“Kita, karena kamu juga harus tidur,” bisik Ashilla.
“Ya.”
“Besok aku harus pergi menemani Opa. Sorenya aku ke sini lagi.”
“Iya.” Angkasa tersenyum. “Makasih.”
“Hm.” Ashilla memejamkan mata, sementara Angkasa terus tersenyum menatapnya. “Kenapa?” Angkasa tak menjawab dan tetap menatapnya. “If you keep looking, I'll be gone,” bisik Ashilla tak sungguh-sungguh.
“Jangan. Oke-oke aku tidur.” Angkasa pun memejamkan mata.
Kali ini Ashilla yang tersenyum dalam tidurnya.
***
Ashilla terbangun pukul empat dini hari, dia lekas turun dengan sangat pelan dari ranjang. Namun, pergerakannya tetap membuat Angkasa terbangun.
“Kamu mau kemana?”
“Toilet, kenapa?”
“Jangan pulang.”
Ashilla tak menanggapi dan tetap pergi ke kamar mandi. Sementara Angkasa kembali tertidur. Setelah dari kamar mandi, Ashilla tercenung melihat Angkasa yang sudah terlelap.
“Aku pulang,” bisiknya pelan. Namun, Angkasa terlihat begitu nyenyak, hingga tak mendengar suara Ashilla. Dia kemudian membelai puncak kepala pria itu. “Sayang.”
Angkasa masih belum terbangun. Ashilla sendiri harus segera pulang karena Ganjar pasti mencarinya, apalagi pagi ini mereka harus pergi ke panti.
Ashilla mengecup kening Angkasa, kemudian pergi.
***
“Dari mana kamu sepagi ini?” tanya Ganjar ketika Ashilla baru saja masuk.
“Semalam Angkasa masuk rumah sakit. Jadi, Shilla ke sana.”
“Kenapa?”
Ashilla tak berani menjawab, pasalnya dia yakin sekali kalau Ganjar akan memberondongnya dengan sederet pertanyaan.
“Kapan dia pulang?”
“Kemarin.”
“Kenapa nggak menemui Opa?”
“Kemarin dia ke sini.”
“Oh yang ngasih kamu bunga. Opa lupa.”
Ashilla bergegas pergi ke kamar sebelum pria tujuh puluh enam tahun itu kembali mengajukan pertanyaan.
“Jadi, kenapa Angkasa masuk rumah sakit, Shill?” teriak Ganjar. Namun, Ashilla tak menjawab pertanyaannya dan memilih mengunci pintu kamar dan bersiap untuk mengantarnya ke panti asuhan.
Ganjar menghela napas seraya menggeleng.
Tepat pukul tujuh mereka berangkat dari rumah. Ashilla tak banyak bicara dan lebih memilih diam sembari membalas pesan Angkasa.
[Kenapa pergi?] tanya Angkasa lewat pesan singkat.
[Aku bilang aku harus pergi.]
[Nggak pamit.]
[Tadi kamu dibangunin, tapi nggak bangun.]
[Hehe.]
[Pulang dari sini, aku ke sana, kamu mau apa?]
[Aku mau kamu.]
[Yakin cuma aku?]
[Sama Asa.]
[Jauh.]
[Asa tahu aku pulang dan dia nangis pengen ikut.]
Seketika jantung Ashilla mencelus. Kepergiannya memang mengorbankan waktunya bersama Asa.
[Sayang.] Angkasa kembali mengirimnya pesan.
[Iya.]
[Nggak jadi.]
Ashilla mendengkus dan mengirim emoticon bingung. Namun, Angkasa malah mengirim emoticon tertawa.
Tak berapa lama mobil sampai di depan sebuah panti asuhan yang sedang di renovasi.
“Simpan ponsel kamu, Opa minta kamu fokus ke acara ini saja.”
“Iya.” Ashilla lekas memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu turun mengikuti Ganjar.
Kedatangan mereka disambut oleh seorang pria paruh baya, kemudian anak-anak dari berbagai usia ikut menyambut kedatangan mereka. Mereka mengecup punggung tangan Ashilla dan Ganjar bergantian.
Ganjar sudah sering berkunjung ke panti, bahkan hampir setiap minggu, namun, karena sakit akhir-akhir ini dia jarang ke sana dan setelah dua bulan dia baru mengadakan santunan kembali.
“Shila, ini Marwan,” kata Ganjar setelah anak-anak pergi mengerumuni mobil dan membantu Yayan menurunkan beberapa macam bingkisan.
“Ashilla.”
Marwan langsung menyambut uluran tangan Ashilla.
“Shil, Marwan ini teman ayah kamu waktu SMA,” ungkap Ganjar.
“Oh. Salam kenal, Pak.”
Marwan hanya tersenyum.
“Renovasinya jadi?” tanya Ganjar seraya mengambil langkah.
“Jadi, Pak. Kebetulan hari ini arsiteknya datang untuk mendesain ulang bangunan ini,” tutur Marwan.
“Kenapa didesain ulang?” tanya Ganjar heran. “Ini hanya tinggal diganti beberapa yang rusak saja, ‘kan? Kalau desain ulang, total semua bangunan diganti.”
“Pemilik yayasan yang minta, Pak. Mungkin ingin mengganti suasana baru.”
“Oh, iya-iya.”
“Seminggu yang lalu taman di belakang baru selesai di buat, cantik sekali, Pak,” ucap Marwan. “Bagaimana kalau kita ngobrol disana.”
“Taman belakang dekat aula?” tanya Ganjar sembari terus berjalan mengikuti Marwan, sedangkan Ashilla dan Pak Yayan berjalan di belakang mereka.
“Iya, betul, Pak. Tapi aula juga lagi berantakan kayak tempat pengungsian.”
“Tidak apa-apa saya mengerti.”
Ashilla mengedarkan pandangan. Debu masih belum terasa karena mungkin masih pagi dan udara masih sejuk. Para pekerja sedang berkumpul dan nampaknya tengah diarahkan oleh arsiteknya. Tak sampai satu menit mereka sudah berada di depan taman yang kata Marwan sangat cantik. Benar saja Ashilla sampai terkagum-kagum karena belum pernah melihat taman secantik itu.
Sentuhan lampion putih menggantung di atas atap papan, diantara sela-sela atap tersebut matahari mengintip dan memberi hangatnya. Sofa abu-abu dengan meja kayu memberi kesan tenang dan nyaman, apalagi di kelilingi dengan beberapa pohon yang menambah kesan sejuk.
Yang paling mencuri perhatian Ashilla adalah rumput berpetak diantara lantai-lantai yang dipijak. Bunga-bunga cantik berwarna putih tumbuh di beberapa titik taman tersebut.
“Kenapa bunganya putih semua, Pak?” tanya Ashilla penasaran, pasalnya dia tak menemukan satupun bunga berwarna selain putih. Ashilla mendekat pada salah satu bunga yang paling cantik dan memiliki wangi yang unik.
“Kami di sini menyebutnya bunga kacapiring, tapi arsiteknya menyebut bunga gardenia, padahal sama saja,” kekeh Marwan.
Ashilla menoleh, namun, masih dalam keadaaan membungkuk. “Arsiteknya suka warna putih?” tanyanya semakin penasaran.
“Mungkin,” jawab Marwan singkat.
Ada sepuluh jenis bunga berwarna putih yang ditanam di sana. Ada amarilis, bunga yang sangat mirip dengan lily, hanya saja sayang sekali tak ada Lily putih. Namun, Ashilla tetap menyukai semua bunga warna putih yang tumbuh di sana, seperti Anggrek Bulan, Melati, Kembang Sepatu putih, bunga Dahlia, Hydrangea, Anyelir, Gladiol dan Gerbera. Ashilla mengenal semua jenis bunga itu karena diam-diam dia menyelidiki semua bunga berwarna putih, sayangnya dia tak memiliki taman secantik itu.
“Opa,” panggil Ashilla pelan. “Shilla penasaran sama arsiteknya.”
Ganjar tersenyum. “Wan, cucu saya kalau ada kemauan harus dipenuhi kalau tidak, dia akan memintanya terus dan membuat saya tidak bisa tidur.”
Tiba-tiba kedua pria itu tertawa bersamaan.
“Kiya, kamu ajak Kak Shilla ketemu Kak Iyash,” kata Marwan.
“Iya, Pak.” Gadis yang dipanggil Kiya itu menoleh pada Ashilla. “Ayo, Kak,” ajaknya.
“Kenapa nggak dia aja yang disuruh kesini?” tanya Ashilla. Dia merasa kalau dirinya adalah tamu, itulah kenapa dia memutuskan untuk duduk di sebelah kakeknya daripada harus mengikuti anak yang diperkirakan berusia sepuluh tahun itu.
“Oh.” Marwan menatap Ganjar. “Ya sudah. Kiya, tolong panggilkan Kak Iyash sebentar.”
“Baik, Pak.” Gadis kecil itu pergi dari hadapan mereka. Namun, tak mengurangi kebisingan yang terjadi. Ashilla tersenyum memperhatikan anak-anak yang berlarian ke sana kemari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Qirana Qirana
waw. kebayang tamannya pasti cantik
2023-03-30
0