“Iya, Pak?” tanya seorang asisten rumah tangga usai membuka pintu untuk seorang pria yang baru saja datang bertamu.
“Angkasa ada?” tanya pria itu.
“Belum pulang, Pak,” jawab Bi Marni.
“Saya tunggu sampai dia datang.”
“Mau di dalam?”
“Nggak usah.” Pria itu tampak tak ramah. Dia bahkan berbalik membelakangi pintu, padahal pembantu rumah tersebut masih ada di sana.
Merasa gondok akhirnya Bi Marni kembali ke dalam usai menutup pintu.
Tak sampai tiga puluh menit sebuah mobil berhenti di depan rumah tempat pria itu menunggu. Dia langsung menatap tajam ke arah Angkasa yang baru saja turun dari mobil.
“Iyash?” Angkasa tergagap menatap amarah di wajah Iyash.
Seharusnya setelah hampir sepuluh tahun, Iyash tak perlu menampakan wajah menakutkan seperti itu karena walau bagaimanapun Angkasa masih temannya.
“Apa kabar, Bro? Long time no see,” kata Angkasa sembari hendak memeluk Iyash. Namun, pria itu tak memberinya kesempatan sedikitpun dan malah langsung menghajar perutnya hingga dirinya terjengkang dan punggungnya terbentur spion mobil. Angkasa meringis kesakitan.
“Apa yang lu dapat sekarang nggak sebanding dengan apa yang gue rasain selama ini,” kata Iyash sembari kembali menambah pukulan. Dia kemudian menarik kerah baju Angkasa.
Angkasa mencoba berontak sembari memaki, “Anjing! Maksud lu apa, hah?”
“Lawan gue!” tantang Iyash dengan nada yang semakin kesal.
Angkasa mendecih. “Kekerasan bukan tindakan orang dewasa, lu lupa umur?” cibirnya seraya merapikan pakaiannya sendiri dan berdiri tegak.
Iyash malah semakin kesal melihat wajahnya. Dia kembali mendaratkan tinju, namun kali ini Angkasa berhasil menghindar. “Pengecut!”
“Lu punya masalah apa, Yash?”
“Bacot!”
Angkasa gagal menghindar, hingga tubuhnya kembali tersungkur. Dengan cepat Iyash segera menarik kerah bajunya, lalu kembali menghajarnya dengan brutal. Ada kepuasan tersendiri saat melihat Angkasa tak berdaya.
“Memangnya gue nggak tahu, sepuluh tahun yang lalu lu nyewa preman, ‘kan? Buat apa?”
Angkasa terbatuk dan darah keluar dari mulutnya. Sudut bibirnya terasa robek, gesekan di gusinya bahkan terasa perih.
“Jawab!” pekik Iyash geram.
“Nggak, Yash, itu cuma buat seru-seruan aja.” Angkasa kembali terbatuk. Kali ini bercak darah mengotori baju mahalnya.
“Anjing, seru-seruan lu bilang.” Iyash kembali menghantamkan tinju, namun kali ini Angkasa berhasil menghindar. Dia juga bahkan hendak memberi perlawanan, namun Iyash berhasil menghalau pukulannya. Nampaknya kali ini Iyash lebih hebat dari yang Angkasa pikirkan. Untuk kesekian kalinya Iyash berhasil membuatnya terpelanting.
“Lu sama Adisty punya rencana apa sampai kalian masukin obat ke minuman Aruna?”
Angkasa menggeleng. “Kalau itu gue nggak tahu, Yash.”
“Bohong!” Iyash kembali menghantamkan tinjunya. Dia seperti kehilangan rasa kemanusiaan, bahkan memperlakukan binatang saja tidak boleh seperti itu. “Ini balasan buat apa yang lu lakuin sepuluh tahun yang lalu.”
Angkasa hanya bisa meringis, kali ini darah keluar dari lambung dan naik ke mulutnya, Angkasa terbatuk dan memuntahkan darah tersebut hingga cipratannya mengenai lengan blazer Iyash.
“Cewek lu,” Iyash terdiam sejenak, “dia Aruna, ‘kan?”
Jantung Angkasa mencelus. Dia lekas bangkit, meski terasa melayang dan tak dapat berdiri tegak. “Jadi, lu–” Angkasa menunjuk Iyash, “udah tahu soal cewek gue? Syukurlah, jadi gue nggak perlu kenalin lagi.”
Iyash menatap tajam ke arah Angkasa. “Gue bersumpah apa yang pernah terjadi nggak akan terjadi lagi.”
“Dia bukan Aruna, Yash,” kata Angkasa sembari mengacungkan telapak tangan. “Bukan. Maaf gue harus ingetin lagi kalau Aruna udah nggak ada.”
Iyash semakin meradang mendengar Angkasa berkata demikian, darah terus mendidih di puncak kepalanya. Dia kembali meninju Angkasa hingga pria itu kembali terjengkang. “Lu sama Adisty yang udah bikin Aruna pergi ninggalin gue!” teriak pria itu.
“Itu rencana Adisty, Yash.” Angkasa kembali terbatuk, lagi-lagi darah keluar dari mulutnya. “Dia yang punya ide, kalau lu nggak ada, Aruna mungkin akan aman sama gue.”
Iyash berjongkok dan mencengkram rahang Angkasa. “Terus lu mau perkosa dia, gitu?” tuduhnya.
Angkasa mendecih. “Kenyataannya lu yang perkosa dia, Anjing!” maki pria itu.
“Gue nggak … aaarrrggghhhh! Iyash mengakhiri pukulan di tubuh Angkasa dan membuat pria yang pernah menjadi sahabatnya itu tak sadarkan diri. “Gue akan merebut apa yang lu punya sekarang, biar lu ngerasain gimana rasanya kehilangan cewek yang lu sayang!”
Iyash kemudian bangkit dan pergi meninggalkan Angkasa yang masih tergeletak di depan rumahnya sendiri. Nampaknya Iyash tak peduli apa yang akan dihadapinya esok hari soal kejadian malam ini.
“Kalau berani lapor Polisi, gue pastiin karir lu hancur dalam hitungan detik.”
“Gue nggak bakal biarin itu terjadi!” teriak Angkasa sembari terus terbatuk dan memuntahkan darah. Tubuhnya terasa ngilu dan benar-benar sakit. “Kenapa lu nggak bunuh gue sekalian,” gumamnya. Sedetik kemudian dia kehilangan kesadaran.
***
Ashilla masih duduk termenung di depan jendela kamar, dia masih belum mengantuk dan tetap setia menatap langit gelap sembari merenungkan kejadian tadi siang. Tiba-tiba ponselnya berdering dan panggilan masuk dari pembantu rumah Angkasa.
“Kenapa, Bi?” tanya Ashilla.
“Mas Angkasa pingsan habis dipukuli orang.”
“Maksudnya gimana?” Ashilla pikir Bi Marni hanya bercanda dan disuruh Angkasa untuk mengerjainya.
“Sekarang masuk rumah sakit.”
“Apa? Bibi serius?”
“Iya, Non.”
“Ya ampun.” Ashilla menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Ya udah saya segera ke sana."
“Iya, Non.”
Ashilla lekas bangkit meninggalkan tempat tidurnya sembari mencoba menghubungi Yayan untuk mengantarnya ke rumah sakit.
Di perjalanan Ashilla merasa resah karena tak mendapat kabar apa-apa lagi tentang Angkasa. Dia menyesal atas perlakuannya terhadap Angkasa tadi siang. Dia seharusnya tahu kalau Angkasa lelah setelah menempuh perjalanan dari New York ke Indonesia, tapi pria itu tetap mengutamakan dirinya.
Sesampainya di rumah sakit Ashilla lekas mencari keberadaan Angkasa. Dia bertemu dengan Bi Marni yang tengah menunggu di depan kamar rawat Angkasa. Beruntung Angkasa langsung mendapat kamar.
“Kenapa bisa, Bi?”
“Bibi nggak tahu, Non.”
Ashilla menghela napas. “Orang tua Angkasa kemana?”
“Tuan sama Nyonya sedang ada di Thailand untuk perjalanan bisnis,” jawab Bi Marni.
“Angkasa punya musuh?” tanya Ashilla seraya duduk di sebelah Bi Marni.
Perlahan Bi Marni menggeleng.
“Bibi yakin?”
“Lebih baik Non tanya langsung sama Mas Angkasa.”
Ashilla menghela napas. “Berapa orang yang menyerang Angkasa?”
“Satu orang, Non.”
“Di mana?”
“Di depan rumah. Bibi pikir tamu.”
“Kenapa nggak telepon polisi?”
“Takut, Non.”
“Takut. Nunggu Angkasa kenapa-kenapa?”
“Bukan, tapi–”
Ashilla bangkit dan pergi meninggalkan Bi Marni, hingga wanita paruh baya itu tak melanjutkan kalimatnya.
Ashilla masuk ke tempat Angkasa dirawat. Perlahan kedua kakinya melangkah dan berdiri di depan ranjang pria itu.
Luka lebam di mata, pipi, rahang, sudut bibir membuat Ashilla merasa kasihan dan benar-benar menyesali perlakuannya siang tadi. Angkasa hanya ingin memeluknya karena rindu, namun Ashilla malah menjauh. Itu semua karena lak-laki yang ditemuinya di resto.
Ashilla mendaratkan bokong di kursi dekat ranjang. “I am so sorry,” bisiknya seraya membelai pipi Angkasa. Dia memang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, entah Angkasa bersalah atau tidak, tapi yang jelas dia akan tetap berada di dekatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Qirana Qirana
baku hantam. dasar lelaki
2023-03-30
1