Sepasang kaki jenjang bergantian mengambil langkah usai turun dari mobil. Tiga undakan anak tangga dilewatinya dengan sangat anggun. “Assalamualaikum, Opa, Shilla pulang.” Dia melangkah masuk ke dalam rumah bernuansa klasik bergaya Eropa yang menjadi hunian Ganjar selama ini.
“Waalaikumsalam.”
Sore itu Ganjar sedang duduk di depan televisi menikmati siaran berita yang ditayangkan sebuah televisi nasional. Saat Ashilla melewatinya dan hendak masuk ke kamar dia mendengar suara Ganjar pelan. “Besok Opa harus pergi, ada santunan ke panti asuhan. Yayan sudah urus, besok kamu juga harus ikut.”
Ashilla terdiam dan mematung di tempatnya berdiri. “Kalau nggak ikut?” tanyanya setelah beberapa detik.
“Harus ikut, Opa harus mengenalkan kamu sebagai pewaris Wijaya Group.”
Ashilla menghela napas. Dia tak mungkin menolak.
“Jam tujuh.”
“Tapi, Op–”
Tiba-tiba denting suara bell di depan pintu utama rumah terdengar nyaring. Rumah Ganjar hanya terdiri dari satu lantai yang luas dan lebar, terdapat taman di halaman belakang yang menyatu dengan dapur. Di sana ada kolam kecil dengan beberapa ikan mas peliharaannya.
“Shilla ke kamar dulu, Opa.” Ashilla lekas pergi, namun, Bi Sumi memanggilnya.
“Non Shilla, ada tamu,” ucap wanita yang sudah bekerja selama hampir tiga puluh tahun di rumah tersebut.
Ashilla memberikan tas kepada Bi Sumi. “Tolong disimpan.”
“Baik, Non.”
Dia melihat seorang pria tengah berdiri membelakangi pintu rumah. Angkasa. Ashilla sangat yakin kalau pria itu adalah Angkasa. Pria Jakarta yang dikenalnya di New York dua tahun yang lalu. Sudah hampir satu tahun mereka menjalin hubungan. Angkasa bilang kalau dia serius dan ingin memperistrinya, namun Ashilla belum siap. Dengan penuh pertimbangan dia menerima pria yang menjadi model fashion Miranti Faradisa selaku ibunya itu. Sebenarnya Ashilla tak mempermasalahkan pekerjaan Angkasa di dunia permodelan, hanya saja dia takut Angkasa tidak dapat menerima masa lalunya.
“Hai,” sapa Ashilla ramah.
Angkasa berbalik dan tersenyum, “Sayang,” kedua tangannya terbuka lebar hendak memeluk kekasihnya tersebut. Namun, Ashilla malah menjauh, nampaknya dia tak ingin Angkasa mencium aroma musk dari pria yang memeluknya di resto tadi.
“Kamu sudah pulang? Kok nggak kasih kabar?” tanya wanita itu seraya mundur.
Wajah Angkasa merengut, perlahan kedua tangannya jatuh ke samping. “Pekerjaan aku sama Mama kamu sudah selesai, jadi aku pulang.”
“Oh.”
“Kamu nggak ngajak aku masuk?” tanya Angkasa.
“Aku juga baru pulang, capek, pengen istirahat,” kata Ashilla sembari memijat tengkuk lehernya sendiri.
Angkasa sedikit kecewa. “Tahu begini, mungkin aku akan datang besok.”
“Maaf ya.” Ashilla membasahi tenggorokannya. “Aku nggak tahan pengen mandi,” kilahnya, padahal dia benar-benar takut Angkasa akan mencium aroma aneh ditubuhnya.
“Ya udah kamu mandi aja, biar aku tunggu di sini, aku juga pengen ketemu sama Opa.”
“Lain kali aja.”
“Jadi, kamu nggak mau ketemu aku?” tuduh Angkasa.
“Bukan. Aku senang kamu pulang, tapi sekarang aku capek.”
Angkasa menghela napas. “Ya udah, tapi besok kita jalan, ya?”
“Aku nggak bisa, ada janji sama Opa buat acara santunan anak yatim.”
“Kalau begitu, aku bisa ikut.”
“Hmm, maaf tapi, kayaknyanggak bisa, ini acara keluarga.” Ashilla nampak mencari-cari alasan untuk menghindari Angkasa.
“Kenapa? Aku calon suami kamu, sama aja, ‘kan, memang kamu nggak nganggap aku sebagai keluarga?”
Ashilla menghela napas. “Bukan begitu, tapi….” Dia terdiam menjeda kalimatnya.
“Tapi apa? Sikap kamu barusan persis seperti ke orang asing, aku jadi merasa nggak dianggap,” kata Angkasa seraya mendekat, namun lagi-lagi Ashilla lekas mundur.
“Nggak gitu.” Ashilla menggeleng. “Nggak.”
Perlahan Angkasa mengendus dan mencium aroma parfum lain. “Wangi kamu kok beda.”
Ashilla menghela napas. Akhirnya Angkasa mengenali aroma itu.
“Tadi aku–”
“Tamunya nggak diajak masuk?” Tiba-tiba suara Ganjar terdengar dari dalam dan itu menyelamatkan Ashilla dari tuduhan Angkasa.
Ashilla lekas menoleh ke belakang. “Cuman sebentar, Opa.” Dia kembali menatap Angkasa. “Kamu pulang aja ya,” pintanya cepat.
“Argh … ck. Kamu ngusir aku. Padahal aku bisa temanin Opa kamu main catur.”
“Kayaknya Opa nggak bisa catur,” Kata Ashilla sembari mendorong punggung Angkasa. “Please, pulang aja ya, lain kali kita ketemu.”
“Iya.” Angkasa menoleh dan mendaratkan bibirnya di pipi Ashilla. Seketika Ashilla tergemap dan kembali teringat pada pria yang menghujani wajahnya dengan kecupan beberapa jam yang lalu.
Saat Angkasa hendak menciumnya kembali, Ashilla lekas menghindar dan pria itu malah mencubit hidungnya hingga merah. “Aw.” Ashilla meringis.
“Maaf-maaf.” Angkasa hendak melihat hidung merah Ashilla, namun Ashilla menutupinya dengan tangan. “Aku terlalu keras ya cubit kamunya?”
Ashilla mengangguk.
“Aku nggak tahu kulit kamu sesensitif itu, sedikit-sedikit merah.”
“Tapi, ini beneran sakit,” keluh Ashilla.
“Aduh maaf ya.” Angkasa hendak memeluk kekasihnya itu, namun Ashilla kembali menghindar. Sementara dari kejauhan seorang pria yang tengah duduk di dalam mobil fortuner silver memperhatikan ke arah mereka.
“Ya sudah deh, aku pulang ya, Sayang.” Angkasa melambaikan tangan sembari mundur. “Sayang, aku lupa bunganya,” teriaknya saat Ashilla hendak menutup pintu.
“Aku nggak pesan.”
“Aku bawa ini dari New York,” kata pria itu sembari memberikan bunga Lily putih yang dibawanya.
“Ngarang.” Ashilla memukulkan bunga tersebut ke dada Angkasa. Namun, kegemasan Angkasa kembali terulang, dia mencubit kedua pipi Ashilla, tapi kali ini lebih pelan. “Sampai ketemu besok,” katanya.
“Besok kita nggak ketemu.”
“Besoknya lagi.”
“Nggak juga.”
Angkasa merengut. “Nanti aku keburu balik lagi ke New York.” Dia melipat tiga jari di tengah, kemudian mengacungkan ibu jari dan kelingking, lalu mendekatkan ke pipinya. “Angkasa, kamu masih ada kontrak, cepat kembali, jangan pacaran terus sama Ashilla, nanti aku bilangin sama Tante Miranti.” Dia kemudian menatap Ashilla. “Telepon dari asisten Mama kamu, si Ocha.”
Kali ini Ashilla tersenyum. “Ya sudah cepat balik atau batalkan saja kontraknya sekalian.”
Pria itu membalas senyum Ashilla. “Nanti aku kena denda,” katanya sembari berjalan mundur. “Aku pulang ya. Dah.”
“Hm.”
Pria yang kebetulan mirip Verrel Bramasta itu pun segera berlalu bersama mobilnya dan Ashilla lekas menutup pintu. Namun, saat hendak melangkah pergi, bell kembali berbunyi. Ashilla mendengkus kesal, lalu memutar badan dan menarik gagang pintu. “Apa lag–” Seketika lidahnya tercekat dan dia lekas mendorong pintu.
Pria yang memeluk dan menciumnya di resto itu menahan pintu dan menganjurkan kartu identitas padanya. “Punya kamu, ‘kan?”
Ashilla lekas menyambar KTP tersebut.
“Maaf soal yang tadi, saya cuma salah orang,” kata pria itu.
Ashilla terdiam dan enggan menanggapi. Dia masih berusaha mendorong pintu.
“Shil,” panggil Ganjar kembali. “Kenapa tamunya nggak diajak masuk?”
“Tolong kamu dengarkan aku,” kata Pria tersebut sembari terus berusaha menahan pintu. “Besok atau lusa jika Tuhan takdirkan kita bertemu, kita pasti akan bertemu lagi,” ucap pria itu yakin.
Seketika jantung Ashilla berdentum kencang sekali. Kedua mata pria itu berkaca-kaca dan Ashilla larut sejenak dalam lara yang berpendar di kedua mata pria tersebut.
“Siapa, Shil?” tanya Ganjar seraya mendekat sementara pria itu lekas menjauhkan tangan dari pintu dan berhenti menahannya.
Ashilla berhasil menutup pintu itu. “Ehm, bukan siapa-siapa, Opa,” jawabnya sambil berbalik dan membelakangi pintu. “Cuma orang yang kebetulan menemukan KTP aku di jalan.”
“Loh, jatuh? Kenapa nggak diajak masuk?”
“Buat apa? Bilang makasih juga sudah cukup. Nggak usah terlalu baik, Opa.” Padahal Ashilla sendiri tak mengucapkan terima kasih pada pria asing itu.
“Kamu kok gitu. Jarang loh ada orang yang bersedia datang jauh buat mengembalikan KTP. Itu berarti dia orang baik. Harusnya kamu lihat pengorbanan dia mencari alamat rumah ini.”
“Lupakan, Opa. Ada banyak orang di dunia ini yang berpura-pura baik demi meraih sesuatu,” kata Ashilla sembari berjalan melewati kakeknya itu.
“Terus bunganya? Kamu nggak bilang makasih untuk bunganya?”
“Ini dari Angkasa, dia baru datang dari New York.”
“Kenapa nggak diajak masuk?”
“Shilla capek, lagi pengen sendiri.” Wanita itupun kemudian masuk ke dalam kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Qirana Qirana
Duh please.. Aku malah gemas sama Angkasa.
2023-03-30
1