Jakarta, awal tahun 2022.
Ashilla terjaga diantara sunyinya malam. Kekosongan menjadi lubang yang semakin besar menggerogoti hidupnya. Seminggu lalu dia diminta tinggal di Jakarta oleh sang kakek, Ashilla memang sudah berjanji untuk membantu mengurus perusahaan tekstil milik kakeknya.
Wanita dua puluh delapan tahun itu tengah duduk melamun di depan jendela kamar sembari menatap ribuan bintang diantara gelapnya malam. Suara gemericik air di kolam belakang rumah tak pernah berhenti seolah menjadi relaksasi tersendiri.
Pikirannya melayang memikirkan kejadian siang tadi saat tengah terjebak kemacetan ibu kota. Siang itu dia hendak menemui investor perusahaan kakeknya di sebuah resto. Membicarakan bisnis di sela-sela makan siang adalah pengalaman pertama yang pernah dia lakukan. Namun, bukan itu yang menjadi beban pikirannya saat ini, tapi kedua pria yang terus memanggilnya. “Aruna.”
Ketika di New York, Ashila adalah seorang dosen Sastra. Namun, di Jakarta dia dituntut keluar dari zona nyamannya. Andai sang ayah masih ada tentu saja yang ada di posisinya sekarang ini adalah ayahnya karena entah kenapa Ashilla meragukan dirinya sendiri, dia takut tak bisa membangun bisnis tersebut dan membuat Ganjar Wijaya, sang kakek kecewa.
Siang itu dia memaksa turun dari mobil yang dikemudikan sopir pribadi kakeknya. Yayan sendiri yang mengatakan kalau mereka harus memutar arah karena resto tempat diadakannya rapat ada di seberang jalan tempat mereka berada saat itu. Tak ingin semakin terlambat akhirnya Ashilla memutuskan untuk turun.
“Non, yakin mau turun di sini saja?” tanya Yayan pada sang majikan.
“Di seberang, ‘kan?” tanya Ashilla memastikan.
Yayan mengangguk mendengar pertanyaan nyonya mudanya. Ashilla lekas turun kemudian berlari untuk bisa sampai ke seberang. Tiba-tiba jerit klakson memekik membuat jantungnya berdegup kaget.
“Kalau nyebrang hat–” Wanita yang hendak memarahinya itu tiba-tiba menyekat kalimatnya sendiri. Nampaknya si pengemudi tak kalah terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya.
“Maaf,” kata Ashilla, sedetik setelahnya dia lekas pergi tanpa menoleh lagi pada wanita yang hampir menabraknya itu.
Dia segera naik ke lantai dua resto, namun sayang Ganjar baru saja mengakhiri rapat siang itu.
“Kamu terlambat, Shilla.” Ganjar menatap arlojinya. “Satu jam. Dari mana saja kamu?”
“Macet, Opa.”
“Opa sudah bilang sebelumnya.”
Ashilla mengangguk. “Maaf, Opa.”
“Ini Ashilla Wijaya, cucu saya. Dia yang akan melanjutkan perusahaan,” ungkap pria yang hampir berusia delapan puluh tahun tersebut.
“Jadi, Bu Ashilla ini yang akan mewarisi Wijaya Group?” tanya salah seorang kolega. Ganjar langsung mengangguk membenarkan pertanyaan rekan bisnisnya.
“Mohon maaf saya masih banyak belajar,” kata Ashilla.
“Mulai besok saya resmi pensiun dan perusahaan sepenuhnya dipegang Ashilla. Sudah tua begini, masih saja mengejar dunia, sudah sepatutnya saya menghabiskan waktu dengan diri saya sendiri dan Tuhan.” Ganjar kemudian menoleh pada Ashilla. “Mau tidak mau, beban itu akhirnya dipindah tangankan pada cucu saya.”
“Selamat Bu Ashilla. Semoga kedepannya Wijaya group lebih sukses lagi.”
Ashilla hanya mengangguk. Sejujurnya dia ragu untuk menjalankan perusahaan tersebut. Dia tak biasa bersusah payah karena selama ini Ganjar memang terlalu memanjakannya.
Acara siang itu diakhiri dengan makan-makan dan setelahnya Ganjar pulang terlebih dahulu.
“Langsung ke Kantor, Shil,” titah Ganjar sebelum pergi.
“Iya, Opa.” jawab Ashilla singkat. Setelah sang Kakek pergi dan disusul oleh semua koleganya, kini Ashilla duduk sendiri di depan meja yang terdapat delapan buah kursi. Ashilla merasa sangat lelah sehingga dia memutuskan untuk lebih lama berada di sana. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara seorang pria.
“Aruna?”
Entah kenapa nama itu asing sekali di telinga Ashilla. Dia mengangkat wajah dan menatap pria yang memanggilnya begitu. “Siapa ya?”
“Kak Iqbal. Masa Aruna lupa?” Pria itu menarik kursi dan duduk di depannya.
Ashilla malah mematung. Setelah satu minggu di Jakarta, baru pertama kali ada yang memanggilnya dengan nama itu. Namun, karena merasa asing, dia lekas bangkit, tapi saat hendak pergi pria itu menahan tangannya.
“Tolong temui Iyash, dia pasti senang,” ujar pria berkacamata tersebut.
“Iyash?” Kening Ashilla seketika mengernyit. “Maaf. Anda salah orang.” Tentu saja karena Ashilla merasa benar-benar asing dengan pria di depannya dan nama yang baru saja didengarnya.
Dia mencoba melepaskan genggaman tangan pria itu. “Saya bukan Aruna, Anda pasti salah orang.” Dia lekas pergi. Sialnya pria itu malah mengejar sembari terus memanggilnya Aruna.
“Aruna, Runa, Aruna tunggu.”
Ashilla benar-benar kesal, dia juga malu karena dilihat banyak orang. Akhirnya dia berbalik dan menunjukkan kartu identitasnya pada pria tersebut. “Ashilla Wijaya, bukan Aruna.”
Pria itu tercenung menatap nama yang tertera di atas kartu identitas tersebut. Dia hendak mengambil Kartu Tanda Penduduk itu untuk melihat lebih jelas lagi, namun Ashilla malah menjauhkannya. “Maaf saya harus pergi.”
“Tunggu.” Pria itu tidak percaya dengan apa yang sudah Ashilla tunjukkan. “Kamu pasti bohong, setelah sepuluh tahun kemana saja kamu selama ini? Kamu tidak peduli lagi dengan kami di sini?”
Di anak tangga terakhir Ashilla tercenung, lalu menoleh pada pria itu. “Iqbal, ‘kan?” tanya Ashilla.
Pria itu lekas mengangguk seraya turun dari tangga dan perlahan mendekat padanya.
“Maaf, saya bukan Aruna, sudah saya bilang, kamu mungkin salah orang. Terima kasih.” Ashilla lekas pergi, namun, pria itu kembali mengejarnya dan itu membuat Ashilla merasa takut.
“Tunggu-tunggu, Aruna tunggu!” Pria itu terus bersikukuh. Dia bahkan meraih tangan Ashilla dan menahannya. Dengan cepat Ashilla menepisnya dan lekas pergi ke luar. Di depan resto tubuhnya menabrak seorang pria berblazer coklat. Dia segera menarik tangan pria itu dan menyeretnya ke dinding depan resto.
Dia bersembunyi di balik dada pria tersebut. “Maaf, tapi semoga kamu bisa menolong saya dari orang asing itu,” kata Ashilla di depan dada pria itu.
Aroma musk menyeruak menguasai penciuman Ashilla. Dia menghirup dan mengisi paru-parunya dengan aroma tersebut. Entah di detik keberapa tiba-tiba dia merasa pria itu mendekapnya dengan erat. “Terima kasih ya, Tuhan.”
Ashilla terperangah, tiga detik setelahnya dia merasa pria itu menggenggam kedua pipinya, lalu menghujaninya dengan kecupan di pipi, kening, hidung dan berakhir di bibir.
Jantung Ashilla berdegup. Dia ingin marah, namun tubuhnya terasa kaku. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah,” desis pria tersebut sembari kembali merengkuh Ashilla ke dalam dekapannya. “Terima kasih, terima kasih,” tambah pria itu sungguh-sungguh.
Jantung Ashilla semakin berdegup kencang. Seharusnya dia marah, dia memang pantas marah karena baru saja mendapat pelecehan, namun anehnya dia malah mematung dan membiarkan laki-laki itu memeluk dan mengecupnya.
Pria itu menarik tangannya dan hendak mengajak Ashilla ke mobilnya. Namun, Ashilla tersadar dan segera melepaskan genggaman tangan pria tampan itu. Dia kemudian mengambil langkah dan segera masuk ke dalam mobil pajero hitam yang tengah menunggunya. “Jalan, Pak,” kata Ashilla pada Yayan.
“Baik, Non.”
Di dalam mobil kecupan-kecupan pria itu terus merusak dan mengotori pikirannya, debar dibalik dadanya bertambah kencang. Dia meraba kecupan yang tertinggal di pipi, kening, hidung dan juga bibirnya. Ungkapan terima kasih bahkan terus menggema memenuhi rongga pendengarannya, belum lagi aroma musk yang tertinggal di bajunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Gres Appeach
aroma musk hmm.. menyegarkan🤭🥰
2023-05-04
0
Qirana Qirana
deg-degan masa. 🤭
2023-03-30
1