Yang sedang ditatap pun menjadi merasa bersalah, ia segera meminta maaf dan mengucapkan terima kasihnya.
"Terima kasih dan maaf karena saya Mas jadi terluka," lirihnya.
"Hmm," jawab Darren.
Lalu, Darren beralih menatap Sam yang bertanya, "Kenapa kamu tidak hubungi Papi, itulah kamu, kamu harus belajar ilmu bela diri lagi, masa kalah sama preman!"
Setelah mengatakan itu, Sam merasakan cubitan di pinggangnya, Viona lah yang mencubit dan demi menjaga imagenya, Sam harus menahan cubitan itu supaya tidak ada yang tau kalau Sam adalah suami takut istri.
Tetapi, itu tidak lepas dari penglihatan Darren, Darren tersenyum melihat tangan Vio ada pinggang Papinya.
"Darren tidak apa-apa, Pi. Sudah malam lebih baik kalian pulang, kasian Lovely sendiri di rumah," kata Darren seraya menatap Sam.
"Biar Papi yang teman kamu di sini, adik kamu sama Mami," jawab Darren dan Viona setuju dengan itu.
Apa yang diucapkan Sam membuat gadis yang Darren selamatkan itu bertanya-tanya, "Apa wanita ini istrinya? Kok, awet muda sekali, sampai terlihat seumuran sama Mas Darren," ucapnya dalam hati.
Lalu, ia menatap Darren saat Darren juga menyuruhnya pulang.
"Baik, sekali lagi terima kasih," ucapnya, "dan maaf karena tadi siang telah bicara tidak sopan," lanjutnya, ia mengangguk dan segera pamit.
Setelah itu, Darren mendapatkan pertanyaan dari Sam, "Siapa dia? Apa dia pacarmu?"
"Darren tidak kenal, Pi," jawabnya.
Dan Sam merasa kalau Darren berbohong ketika ingat dengan perkataan gadis itu yang meminta maaf atas perkataannya tadi siang.
"Hmm," jawab Sam.
Setelah itu, Sam menyuruh Dandi untuk mengantarkan Viona, "Antar istriku pulang dengan selamat dan ingat jangan sampai kamu macam-macam!"
"Baik, Tuan." Dandi mengangguk.
"Aden, cepat pulih, saya permisi," pamit Dandi pada Darren.
"Terima kasih, sudah menolong," ucap Darren.
"Hanya kebetulan, Den," jawab Dandi dan Darren tersenyum.
Setelah itu, Viona pamit pada semua orang, lalu, Dandi segera mengantar Viona, Dandi juga membukakan pintu ruangan itu untuknya.
Lalu, Vio dan Dandi melihat kalau gadis yang Darren selamatkan itu masih ada di depan ruangan.
"Kamu, kenapa masih di sini?" tanya Vio seraya menatap gadis itu.
"Motor saya mogok, boleh saya menumpang?" tanyanya seraya menatap Viona.
"Sepertinya kita tidak searah, sebentar, biar dia pesankan taksi on-line," jawab Vio.
Dan Dandi pun segera memesankan, tidak hanya itu, Dandi dan Vio menemani gadis tersebut sampai taksinya datang, Vio juga membayarkan ongkosnya.
"Terima kasih, Mbak," kata gadis tersebut dan Viona tersenyum.
****
Singkat cerita, sekarang, Vio sudah sampai di rumah dengan selamat. Tidak hanya Vio, gadis itu pun selamat sampai tujuannya.
Gadis itu yang sudah sampai di depan rumah sederhananya tak berani mengetuk pintu. Lalu, ia segera ke belakang, membuka pintu belakang yang ternyata tidak terkunci.
Perasaannya menjadi aneh dan benar saja, di balik pintu itu sudah Ayahnya yang berdiri dengan berkacak pinggang.
"Kamu tau ini jam berapa?" tanya pria berbadan tinggi, kekar dan berkulit coklat.
"Maaf, Ayah. Je-" ucapan itu terpotong saat Ayahnya tidak mau tau alasan apapun itu.
"Masuk dan Ayah tidak menerima penjelasan apapun!" ucapnya.
Gadis itu yang bernama Je pun masuk, ia menarik nafas dalam, hidup berdua dengan ayahnya saja itu membuatnya sangat kesepian, karena tidak ada sosok Ibu yang menanyakan kabarnya, apa yang baru saja dilaluinya.
Sementara itu, di Jepang, Rossi baru saja membuka matanya, tiada hari tanpa bekerja.
Rossi yang menurunkan kakinya ke lantai itu merenggangkan otot-ototnya.
"Ya, aku harus bisa, pasti bisa, aku pasti bisa, untuk apa aku mengkhawatirkannya, di sana dia tidak sendiri!"
Setelah itu, Rossi pun bersiap untuk bekerja, selesai bersiap, di depan kamarnya itu sudah ada pria Jepang yang menunggunya.
Ya, pria itu tergila-gila dengannya dan tidak ada kata bosan menunggu Rossi untuk mengatakan 'ya'.
Rossi tersenyum dan keduanya yang bekerja satu kantor pun berangkat bersama.
****
Di rumah sakit, Darren yang merasa sudah lebih baik itu meminta pulang dan Sam melarangnya.
"Pi, Darren baik-baik saja." Darren memaksa turun dan Sam tak bisa melarang putranya, ia pun membuat perjanjian, "Ok, pulang tapi harus ke rumah Papi!"
"Pi, Darren tidak mau!" Jawa Darren.
"Tenang saja, kamu tidak akan melihat Rossi atau Sarah lagi, hari ini mereka pindah," kata Sam.
"Pi, Rossi sudah lama tidak ada di sini, lalu, kenapa Tante Sarah pindah?" tanya Darren seraya menatap Sam.
"Apa karena Darren, Pi? Papi bisa bilang sama mereka kalau Darren tidak akan menginjakkan kaki di tanah sana lagi," kata Darren terdengar lemas.
"Bodoh kamu, rumah Papimu di sana, apa kamu tidak akan pernah ke rumah Papi lagi?" gerutu Sam seraya membantu Darren untuk turun.
"Bukan begitu, Pi. Tapi Darren merasa kalau Tante Sarah pindah itu karena Darren, karena Darren Rossi pergi, Pi. Wajar apabila Tante Sarah membenci Darren," jawabnya.
"Jangan berpikir seperti itu, mereka membutuhkan suasana baru," kata Sam.
Lalu, Sam memanggil putranya, "Ren."
"Iya, Pi." Darren menengok dan mulai duduk di kursi yang tersedia.
"Mau sampai kapan kamu terus menyalahkan diri sendiri? Kalau begitu, apa kamu menyukainya?" tanya Sam.
Darren terdiam, ia tidak mau menjawab, justru, Darren meminta pada Sam untuk cepat mengurus kepulangannya.
"Baiklah," kata Sam yang kemudian keluar dari ruangan.
"Ross, aku sakit, Ross," lirih Darren, pria itu menarik nafas dalam.
****
Di rumah Je, gadis itu baru saja membuatkan sarapan dan terlihat Ayah Je sudah siap dengan pakaian dinasnya, ya, Ayah Je adalah petugas kelurahan dan tahun ini akan mencalonkan diri sebagai ketua rt di tempatnya.
"Ayah, Je akan sangat sibuk karena Je harus bekerja juga kuliah," kata Je yang sedang menuangkan air minum untuk ayahnya.
"Jangan kecewakan Ayah, kamu sebagai perempuan harus bisa jaga diri, jangan mudah termakan dengan rayuan pria!" pesan Ayah Je yang sedang mengambil nasi goreng buatan putrinya.
Dan Je yang sudah hapal dengan kalimat itu tersenyum.
"Tidak usah tersenyum, tersenyum tidak akan membuatmu kenyang, cepat makan!" kata Ayah Je yang padahal sama sekali tidak melihatnya.
Dan setelah sarapan, Je pun harus bekerja di salah satu restoran yang ada di mall.
****
Di rumah Sarifah, Darren baru saja kembali, ia meminta untuk sendiri dan Sam menatapnya datar.
"Kenapa? Kenapa kamu tidak mau Papi temani?" protes Sam.
"Papi harus bekerja," kata Darren yang sekarang berbaring di sofa ruang tengah.
"Sudah ada Dandi, kamu tidak perlu khawatir, Nenekmu sudah tidak ada, siapa yang akan menemanimu di sini?"
"Papi, Darren ingin istirahat," timpal Darren dan Sam menarik nafas. Lalu, Sam segera berpesan pada bibi yang sedang membawakan minuman hangat.
"Bi, tolong cepat kabari saya kalau terjadi apa-apa dengan anak ini!" perintahnya dan bibi mengiyakan.
Sekarang, Darren hanya sendiri di ruangan itu, ia menatap langit-langit dan tak terasa air matanya menetes.
Itukah alasan Darren meminta untuk sendiri? Supaya tidak ada yang melihatnya menangis?
Ya, benar. Itulah Darren, ia menangis karena perasaannya, perasaan merasa bersalah, merasa bodoh dan tidak tau harus apa sebagai seorang pria.
Bersambung..
Dukung authornya, ya. Dengan like dan komen, jangan lupa difavoritkan juga, ya.
Yang baik hati boleh kasih bintang lima dan vote/giftnya. Terima kasih yang sudah mendukung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Darren tampang doang cakep, tapi cemen wkwk
2023-05-07
1
☠ᵏᵋᶜᶟIRATSEL🎀JINDA🍒⃞⃟🦅
astaga iya tak bisa buat kenyang tapi Yo gak papa senyum ibadah juga
2023-05-07
0
☠ᵏᵋᶜᶟIRATSEL🎀JINDA🍒⃞⃟🦅
bapaknya ya ampun galaknya aku takut🏃🏃🏃
2023-05-07
0