Bab 4

Sebulan telah berlalu, waktu berjalan dengan sangat cepat. Juan yang sedang mengunyah roti lapis di meja makan, tiba-tiba menaruhnya lagi di piring saat wanita di depannya tak berhenti mengoceh tentang hal yang Juan selalu hindari. Topik yang memuakkan menurutnya. 

“Mau menunggu sampai kapan lagi? Kamu selalu beralasan dan ini benar-benar membuat Mama muak dengan penolakan yang selalu kamu berikan. Memangnya apa yang kurang dari istrimu, hah? Siapa yang lebih cantik dan perhatian dari dia?” tanya Kartina dengan suara yang meninggi. 

Juan tak langsung menjawab pertanyaan ibunya itu, melainkan ia hanya memandang meja di depannya dengan tatapan datar. “Aku bosan jika pembahasan ini kembali dimulai,” lirihnya. 

“Kamu yang membuat Mama keki, sikapmu yang membuat kamu berada di posisi ini, Juan. Tidak bisakah kamu menerima Adelia sebagai istrimu? Kamu hanya perlu menerima kenyataan bahwa kamu dan dia sudah menikah tapi kamu selalu bersikap seakan-akan tidak pernah memiliki Adelia dalam hidupmu. Berhenti menganggap Adelia sebagai adikmu, dia adalah istrimu,” tegas Kartina.

Juan tak menanggapi lagi. Kepalanya seakan hendak pecah jika ia terus-menerus berada di sini. Apa yang dikatakan oleh Katrina memang benar, bahwa sampai sekarang Juan tak bisa menerima kenyataan bahwa Adelia sekarang adalah istrinya. Bagi Juan, ia adalah adiknya yang harus ia lindungi bukan istri yang harus dicintai. Juan tak bisa melakukan itu padanya. 

“Tolonglah Juan, jangan menganggap Mama patung. Mama ingin memiliki cucu dari kalian, kenapa hal itu sangat susah untuk kamu kabulkan? Selama ini Mama selalu memberikan kamu apa pun yang kamu minta, Mama selalu memberikan apa pun agar kamu bahagia. Sekarang Mama ingin kamu memberikan keturunan, hanya itu saja,” lirih Katrina dengan suara yang terdengar putus asa. 

Juan mendengkus. “Aku belum bisa melakukannya, Ma. Aku masih butuh waktu.”

“Sampai kapan?” tanya Katrina, suaranya kembali mengeras. 

“Aku tidak tahu, aku belum memikirkan itu. Tolong jangan mendesakku,” pinta Juna. Wajahnya memelas, seakan sampai pada batas akhir untuk meminta pengertian ibunya. 

“Kamu benar-benar keterlaluan,” cetus Katrina. 

“Aku minta maaf.” Kali ini Juna bangkit dari kursi meja makan. Pasalnya jika dia berada di sana pun perdebatan itu tak akan pernah selesai. 

Langkahnya tegap hendak meninggalkan ruang itu. Makin hari rumah mewah ini makin mirip dengan neraka yang tidak memberikan kebebasan untuknya. Juan menyesali dirinya sendiri karena pernah tinggal di sini dan diasuh oleh mereka yang sekarang seakan meminta bayaran untuk diambil haknya. 

“Juan, dengarkan Mama untuk kali ini. Mama tidak tahu harus mengatakan bagaimana lagi pada kamu yang tidak pernah mendengar ucapan Mama. Juan, kalau kamu begini terus dan tidak mau berubah, lebih baik Mama mati daripada menyaksikan kalian yang tidak pernah bertindak layaknya suami dan istri. Sikapmu menyakiti Mama, Nak. Seakan-akan kamu benci Mama dan oleh sebab itu mungkin ketidakhadrian Mama-lah yang kamu inginkan,” ucapnya. 

Hati Juan mencelus mendengar pernyataan yang keluar dari Kartina. Ia tak pernah menduga bahwa wanita itu akan mengatakan hal yang sedemikian mengerikan di telinganya. Pikiran Juan makin terasa sumpek mengingat bahwa ia tak memiliki pilihan lain, dan sekarang ia merasa benar-benar buntu. 

“Jangan mengancamku, Ma, itu menakutkan,” kata Juan. 

--

Tepat pukul tujuh malam saat Evelyn mengganti kaus biru pendeknya dengan dress putih selutut. Ia melihat dirinya di depan cermin, merapikan rambut dan segera keluar kamar untuk pergi ke pantai. Benar, malam ini Evelyn telah memutuskan untuk pergi ke pantai karena ia tak memiliki pilihan lain selain mencari ketenangan di sana. 

Sejak tadi pikirannya hanya terisi oleh bayang-bayang orang tuanya, mau tak mau ia harus pergi ke pantai agar angin malam dapat memeluknya seperti nyamannya pelukan orang tua. 

Tak jauh dari tempat tinggalnya, hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit ia sudah sampai di bibir pantai melihat gulungan ombak dan bintang-bintang di langit terlihat begitu jelas karena minimnya penerangan di sekitar pantai. 

Warung-warung atau restoran kecil yang biasanya menjajakkan seafood sudah banyak yang tutup dan hanya tinggal satu atau dua tempat makan saja yang masih buka. Evelyn mendekati bibir pantai dan mulai bermain-main dengan air yang mendekat dan menjauh dari kakinya. Suasana malam di pantai membuatnya sangat tenang, terlebih ia bisa menyaksikan bulan yang tepat membulat di atas kepalanya. Pancaran keemasannya memantul pada laut dan itu benar-benar terlihat sangat cantik. 

“Sia! Sial! Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang berada di posisi tidak menguntungkan ini? dari banyaknya umat manusia, kenapa harus aku yang harus hidup di bawah bayang-bayang perhitungan ganti rugi!” teriak sebuah suara. 

Refleks Evelyn mengalihkan fokusnya. Kedua matanya berusaha mencari sumber teriakan yang sangat jelas itu, tetapi karena malam ia cukup sulit untuk mengetahui di mana orang yang berteriak itu.

“Hah? Kenapa harus aku? Kenapa!” teriaknya lagi. 

Evelyn melangkahnya kakinya perlahan ke sisi utara, di sana keadaan memang cukup gelap karena hanya ada sinar bulan saja yang menerangi, tetapi ia tak salah mendengar bahwa suara itu berasal dari sana. Suara itu terdengar sangat familiar tetapi Evelyn tak bisa menebaknya saat ini juga. 

Tak lama dari itu terdengar suara botol yang terjatuh di atas pasir, Evelyn menoleh dan kedua matanya melihat seorang lelaki yang sedang duduk di atas pasir bersandar di batang pohon. “Aku seperti mengenalnya,” lirih Evelyn. 

Saat menyadari bahwa pria itu adalah Juan, tanpa pikir panjang Evelyn langsung berjalan cepat menghampiri pria itu yang sepertinya belum menyadari kehadiran Evelyn. “Juan, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Evelyn. 

Pria itu mengangkat kepalanya. Ia tampak terkejut sesaat, sebelum akhirnya tersenyum seakan tak terjadi apa-apa. “Oh, tidak apa-apa. Aku hanya sedang ingin main ke sini. Tempat ini sangat tepat untuk meluapkan emosi,” jawabnya. 

“Ah gitu, aku boleh duduk di sampingmu?” tanya Evelyn. 

“Dengan senang hati.” Juan tersenyum samar. 

Evelyn langsung bergabung dengan pria itu dan keduanya duduk di bawah cahaya bulan berdua seraya melihat dan mendengar gulungan ombak yang menenangkan. “Kalau boleh tahu, kamu kenapa? Apa lagi ada masalah? Ah tapi kamu tahu, kedatangan kamu sangat tepat ke sini karena nanti angin lautan akan mengaburkan semua permasalahan kamu.” Evelyn tersenyum. 

Juan yang terkenal kaku, mendengar ocehan perempuan itu tersenyum juga. “Memangnya benar?”

Evelyn mengangguk mantap. “Aku tidak bohong. Ini adalah pengalamanku. Makanya kamu harus sering-sering ke sini, siapa tahu bukan hanya dibawa kabur angin masalahmu itu tapi juga akan dimakan oleh para hiu.”

Mendengar itu Juan tertawa. Meski ia tahu bahwa mungkin Evelyn hanya bercanda saja, tetapi Juan sangat terhibur oleh kebohongan kecil itu. 

“Evelyn,” lirih Juan seraya mendekatkan wajahnya. 

Evelyn menoleh, ia terkejut melihat wajah Juan yang kini hanya berjarak sekitar lima sentimeter saja dari wajahnya. Bukan hanya aroma laut yang tercium, tetapi Evelyn juga dapat merasakan napas Juan yang hangat mengenai wajahnya. Perlahan namun pasti, Juan lebih mendekatkan wajahnya hingga bibirnya yang merah muda beradu dengan bibir tipis milik Evelyn.  

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!