Bab 3

Wanita itu masih terlelap di atas ranjang dan belum sadar hingga sekarang. Namun ketika senja perlahan muncul, tangannya terlihat bergerak dan kedua matanya pun tampak mulai terbuka dengan sangat perlahan seperti seseorang yang baru terbangun dari komanya.

Kedua mata hitam gelap itu mendapati ruangan serba putih yang sangat asing. “Aku di mana?” lirihnya seraya menyapu seluruh ruangan di sana tetapi ia tak menemukan jawabannya. 

“Tidak! Tolong, aku di mana? Tolong, aku tidak mau mati! Seseorang tolong aku,” teriaknya dengan lantang. 

Saking kerasnya suara teriakan Evelyn, Juan yang semula berada di ruang sebelah sedang bermain catur dengan temannya, langsung meninggalkan permainan itu dan berlari menuju kamar di mana Evelyn tidur di dalamnya. Lelaki itu terlihat sangat cemas, wajahnya tersirat kekhawatiran yang dalam saat langkahnya mendekat ke arah Evelyn. 

Melihat seseorang yang baru saja masuk ke kamarnya, Evelyn tersentak luar biasa. Kedua matanya membulat sempurna menyadari lelaki yang sudah dua kali menolongnya dan sekarang berdiri di dekatnya. Dunia ini terlalu sempit atau mereka saja yang ditakdirkan untuk selalu bertemyu? Evelyn belum menemukan jawabannya. Namun yang pasti lagi-lagi pria itu selalu datang di waktu yang tepat saat Evelyn membutuhkan pertolongan. Ia bak malaikat yang selalu mengerti waktu kedatangan. 

“Kamu ada apa di sini?” tanya Evelyn. 

“Kenapa kamu harus bertanya tentangku, bukannya kamu harus bertanya tentang dirimu sendiri? Apa kamu sudah baikan?” tanya Juan. 

Evelyn merasakan bahwa kepalanya masih cukup berat, tetapi ia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya dan duduk dengan perlahan. 

“Hati-hati, kalau kondisimu masih tidak enakan, lebih baik istirahat lagi,” sarannya. 

“Tidak, aku baik-baik saja,” ujarnya seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. 

“Tadi saat di pesta sempat terjadi gempa dan aku lihat kamu pingsan begitu saja saat orang lain berusaha menyelamatkan diri. Kalau boleh tahu kamu kenapa? Maksudku, itu cukup aneh. Seharusnya kamu juga menyelamatkan diri seperti yang lain. Kalau bangunan roboh dan tidak ada orang di sana, itu akan membahayakan nyawamu.” Juan berkata seraya mendudukkan dirinya di dekat ranjang tidur Evelyn. 

“Apa kamu yang sudah menolongku?” tanya Evelyn memastikan. 

Juan mengangguk. “Tidak usah dipikirkan.”

“Terima kasih, lagi-lagi aku merepotkan kamu,” ucap Evelyn dengan perasaan yang tidak enakan. 

Bagaimana pun ia sudah merepotkan pria itu berkali-kali. Benar menurutnya bahwa pria di depannya tersebut bak malaikat yang selalu menolongnya. Andai tidak ada Juan, mungkin Evelyn akan tersadar di bawah bangunan yang sekitarnya sudah berantakan tak tertolong. Setiap kali kejadian tentang bencana alam memenuhi pikirannya, selalu saja kepalanya mulai berat begitu pun tadi malam. Ia sangat syok dan tidak bisa berpikir jernih. 

“Ada kenangan buruk di masa lalu?” tanya Juan seakan mengerti. 

Evelyn mengangguk. Kedua matanya yang semula sayu sekarang tampak kosong seperti sedang berkelana jauh ke belakang. “Aku selalu takut dengan bencana alam, khususnya gempa. Menurutku itu adalah hal yang mengerikan. Aku memiliki trauma yang besar tentang kenangan buruk ini. Kedua orang tuaku meninggal tertimpa reruntuhan dan aku masih bisa mengingat bagaimana saat itu Ayah berteriak padaku untuk segera berlari, padahal aku tidak ingin melakukannya,” ucap Evelyn pelan-pelan. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya meluncur juga bagai bah yang mengalir deras membashi kedua pipinya yang putih. 

“Begitupun dengan Ibu, mereka memintaku untuk pergi agar aku selamat sementara mereka memasrahkan hidupnya pada semesta. Maka dari itu aku tidak pernah bersahabat dengan bencana alam dan selalu takut karena gempa telah menewaskan kedua orang yang aku sayang. Lihatlah, sekarang aku tidak bisa menatap wajab Ayah dan Ibu lagi. Aku benar-benar tidak punya kesempatan untuk mengabdi pada mereka lagi.” Kali ini wanita itu mulai terisak mengingat masa lalunya yang sangat suram. 

Juan merasa iba melihat wanita di depannya. Perlahan, ia bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Evelyn. Terlihat ia mulai mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Evelyn dengan ragu, tetapi akhirnya ia mengusapnya juga dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya. 

Evelyn membalas pelukan pria itu. Kedua tangannya melingkar di pinggang Juan, dan tangisnya mulai mengencang saat telah menemukan sandaran di dada Juan yang menurutnya sangat nyaman. Evelyn tak peduli jika air matanya membasahi kaus yang Juan kenakan, karena yang ada di pikirannya saat ini hanya ingin mencari ketenangan. 

“Tidak usah takut lagi, sekarang ada aku di sini. Semua orang memiliki ketakutannya sendiri, masa lalu terkadang memang menakutkan tetapi kamu harus bisa untuk melawannya,” hibur Juan dengan tulus. 

Evelyn masih terisak di pelukannya, terlampau merasa nyaman dengan apa yang Juan lakukan. Satu tangannya yang mengusap kepala Evelyn membuat wanita itu ingin berlama-lama dipeluk oleh pria tak dikenal itu. Namun sepertinya bukan hanya Evelyn yang merasa nyaman, Juan pun merasa bahwa sekarang tubuhnya terasa hangat dan kepalanya tidak sumpek seperti biasanya. Aneh, keduanya merasakan hal sama yang tak diketahui apa namanya. 

Sekitar sepuluh menit saat Evelyn mulai tenang, wanita itu melepaskan pelukannya. Juan menatap Evelyn dengan pandangan yang lembut. “Aku akan ambil makanan di depan, lebih baik kita makan dulu, bagaimana?” tanyanya. 

Evelyn mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya. 

Juan mengangguk, berbalik lalu keluar untuk mengambil makanan sementara Evelyn masih duduk di ranjangnya dengan perasaan yang sudah lebih baik. Meski bayangan orang tuanya masih betah menguasai memori, tetapi saat bersama pria itu memori tersebut tidak terlalu menyakitkan. 

“Nah, ini makanannya. Hanya tinggal cumi sambal matah dan nasi. Tapi katanya ini sangat enak, aku belum mencobanya tapi temanku sangat suka makanan dari resto depan,” ujar Juan seraya masuk membawa nampan berisi dua piring makanan dan dua gelas air putih. 

Evelyn tersenyum. Juan menaruh nampan di atas nakas, lalu mengambil satu piring untuk diberikan pada Evelyn dan piring lainnya adalah bagian miliknya. “Coba kamu makan, menurutmu enak tidak?” kata Juan. 

Evelyn mengangguk. Ia mulai menyuapkan satu sendok nasi dan cumi matah ke dalam mulutnya dan mengunyahnya perlahan. “Ehm, ini enak. Ini masakan yang sangat enak,” pujinya dengan mata yang berbinar. 

Juan yang sedang mengunyah makanan miliknya pun tersenyum. “Temanku memang punya selera yang bagus untuk memilih restoran,” balasnya. 

Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit, Evelyn dan Juan sudah menghabiskan makanannya hingga bersih. “Ehm, ngomong-ngomong siapa namamu? Aku lupa belum menanyakan ini, padahal kamu udah menolongku cukup sering,” tanya Evelyn seraya menaruh piring kotornya di nampan. 

“Namaku Juan. Kalau kamu?” Juan berbalik tanya. 

“Wah nama yang bagus, Juan. Kalau aku, namaku Clarisa Evelyn, kamu bisa memanggilku dengan sebutan Evelyn,” jawab Evelyn. 

Juan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Evelyn,” lirihnya. 

“Ah, kalau gitu aku pamit pulang. Terima kasih untuk hari ini.” Evelyn langsung turun dari ranjang tidurnya karena ia merasa sudah lama sekali meninggalkan tempat tinggalnya. 

Terpopuler

Comments

Bunda dinna

Bunda dinna

Evelyn ketemu Juan berkali2 sebagai penolong

2023-03-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!