Bab 5. Ajakan Sahabat

Lembar-lembar kertas nampak berserakan di atas meja. Laptop yang dibiarkan menyala entah sudah berapa jam lamanya seakan menegaskan bahwa pemilik ruangan ini sedang sibuk tiada terkira. Sampai-sampai ia melewatkan jadwal makan siangnya.

Titik fokus Kirana tertuju pada layar empat belas inchi yang berada di depan mata. Deretan-deretan angka dan juga statistika neraca seakan membuat wanita itu semakin pusing saja. Tak heran jika sesekali, ia terlihat memijit-mijit pelipisnya.

Cekleekk.... 

Pintu ruangan dibuka. Tak selang lama muncul seseorang yang membawa sesuatu di tangannya. Siapa lagi jika bukan Mira, sahabat karib Kirana?

Netra yang sebelumnya fokus ke arah laptop kini diarahkan Kirana ke arah Mira yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Sahabatnya itu hanya tersenyum manis sembari mendaratkan bokong di atas kursi ergonomis yang tersedia.

"Sibuk sekali Ran? Sampai tidak sempat makan siang?"

Kirana hanya terkekeh pelan. Entah benar-benar sibuk atau hanya pura-pura sibuk, nyatanya wanita itu tidak mau beranjak dari tempatnya terduduk.

"Aku sedang malas ke mana-mana Mir."

"Oh seperti itu." Mira mengulurkan kantong plastik bening ke arah Kirana. "Ini untukmu. Dari mang Asep!"

Jemari tangan Kirana yang sebelumnya intens menjamah papan keyboard, kini ia hentikan aktivitasnya. Ia raih kantong plastik yang diberikan oleh Mira dengan kernyitan di dahinya.

"Dari mang Asep? Memang ini apa Mir?"

"Biasa Ran, seblak. Bukankah mang Asep berjualan seblak?"

Kirana membuka bungkusan yang dibawa oleh Mira. Seketika, aroma nikmat seblak menguar memenuhi indera penciumnya. Mendesak para penghuni perut  meronta untuk segera menikmatinya. Dan juga mendesak lidah ingin segera mengecapnya. Warna merah menyala di dalam kuah seblak ini semakin membuat Kirana tidak sabar untuk bisa segera memakannya.

Kirana mendesis kala kenikmatan seblak ini mulai memanjakan indera perasa. Jika sudah berhadapan dengan seblak, seakan tidak ada makanan yang jauh lebih nikmat. Bagi Kirana makanan-makanan mahal di luar sana kalah telak dengan makanan yang di jual oleh mang Asep yang berada di seberang kantornya.

"Enak ya Ran?" tanya Mira yang cairan salivanya juga ikut memenuhi rongga mulut melihat ekspresi kepedasan sahabatnya ini.

"Hhhmmmm  ... ini enak sekali Mir. Aku merasa bumbu seblak mang Asep hari ini jauh lebih nikmat dari hari-hari sebelumnya," ujar Kirana sembari mengusap peluh yang menetes di dahinya.

"Itu karena cinta yang mang Asep miliki untuk kamu Ran!"

Kedua netra Kirana terbelalak saat hampir tersedak. Buru-buru ia meraih botol air mineral dan meneguknya. Ia pun melotot ke arah Mira yang terlihat cekikikan.

"Kamu bilang apa Mir? Cinta? Cinta? Cinta apa?"

Mira semakin mengeraskan tawanya. Perutnya seakan dikocok habis-habisan jika teringat bagaimana Asep menitipkan salam rindu untuk Kirana. Bahkan tanpa malu-malu, si penjual seblak itu mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta kepada salah satu pelanggan setianya.

"Mang Asep naksir dan jatuh cinta ke kamu, Ran. Katanya, dia ingin menjadi kekasihmu dan kalau boleh langsung menjadikanmu istri."

Kirana hanya melongo mendengar ucapan Mira. Namun sejenak kemudian ia ikut tertawa. Berita yang disampaikan oleh Mira sungguh terasa menggelitik telinga.

"Ahahaha  .... astaga Mira. Kamu sedang bercanda?"

Mira menggelengkan kepala. "Tidak Ran. Aku benar-benar serius. Tadi mang Asep mengatakan hal itu kepadaku. Katanya, dia ingin mempersuntingmu."

Air mata Kirana sampai lolos dari bingkainya. Akibat sensasi rasa pedas seblak dan sekarang ditambah dengan cerita yang disampaikan oleh Mira. Bahkan ia memegangi perutnya karena tawa.

"Meski saat ini aku masih setia dalam kesendirian dan belum ada satupun lelaki yang datang kepadaku, namun aku masih memiliki hak untuk memilih bukan?"

Mira juga hanya bisa terkikik geli sembari menganggukkan kepala. "Itu sudah pasti Ran. Namun tugasku di sini hanya untuk menyampaikan amanah yang dititipkan oleh mang Asep."

Kirana berupaya untuk menghentikan tawa di saat kram perut sudah mulai terasa. "Sampaikan ke mang Asep kalau aku tidak bisa menerima cintanya Mir. Katakan saja aku sudah memiliki calon suami."

"Ckckckck  ... Tidak boleh berbohong Ran. Kamu memang belum memiliki calon suami kan?"

Lagi-lagi Kirana hanya tersenyum simpul. Sembari ia bereskan styrofoam pembungkus seblak yang isinya sudah tandas tanpa bekas.

"Aku anggap, itu adalah doa Mir. Barangkali, sebentar lagi aku akan bertemu dengan jodohku."

"Aamiin...," tutur Mira mengaamiinkan ucapan sahabatnya ini.

Mira kembali menatap lekat wajah cantik Kirana. Sebagai seorang sahabat, ia sampai keheranan sampai saat ini Kirana belum pernah menjalin hubungan kasih. Padahal fisik Kirana nyaris sempurna namun belum ada seorang laki-laki yang datang mendekati.

"Kamu mengapa menatapku seperti itu Mir? Kalau kamu mau, kamu saja yang menggantikan aku untuk dipersunting oleh mang Asep."

Mira terhenyak. Buru-buru ia membelalakkan kedua netranya. "Tidak, tidak, tidak. Terima kasih untuk penawarannya Ran. Namun, aku tidak mau. Karena aku sudah memiliki seorang laki-laki yang aku cintai."

Kini, giliran Kirana yang terkejut setengah mati. "Apa? Kamu sudah memiliki lelaki yang kamu cintai? Siapa Mir? Siapa?"

"Rahasia!" jawab gadis berhijab biru itu dengan diselipi tawa.

"Hemmmm  ... kamu ini, masa main rahasia-rahasiaan dengan sahabatmu sendiri?"

Mira hanya tersenyum tipis. Menyembunyikan sesuatu dari Kirana bukanlah menjadi keahliannya. Maka dari itu bibirnya mulai terbuka untuk sedikit bercerita.

"Dia merupakan anak dari seorang ustadz di daerah asalku Ran. Sudah sejak kecil kami bersahabat dan terpisah sejak aku mulai kuliah di Jakarta. Dan selama ini, ia tidak tahu dengan perasaan yang aku simpan untuknya."

Mendengar sang sahabat telah memiliki pujaan hati, turut membuat hati Kirana berbahagia. Kendati masih tersimpan rapi di dalam hati sahabatnya ini.

"Semoga kamu bisa segera dipersatukan dengan lelaki itu ya Mir. Aku pasti akan sangat senang jika sahabatku ini bisa segera melepaskan masa lajangnya."

"Aamiin," ucap Mira, "Oh iya, dua hari lagi ramadan tiba, apakah kamu ikut berpuasa Ran?"

Kirana menggelengkan kepala. "Tidak Mir, aku tidak terbiasa berpuasa. Bahkan papa dan mama tidak pernah mengajakku berpuasa."

"Jadi, sampai usia kamu menginjak dua puluh lima tahun ini, kamu sama sekali belum pernah berpuasa Ran?" tanya Mira dengan dipenuhi oleh rasa penasaran

Pandangan mata Kirana nampak menerawang seperti mengenang waktu-waktu yang telah berlalu.

"Aku pernah melakukan puasa Mir. Tapi itu hanya beberapa kali saja. Dulu sewaktu sekolah, aku hanya berpuasa pada saat ada pelajaran agama. Namun nanti ketika pulang, pasti aku batalkan. Aku tidak terbiasa, maka dari itu tidak aku lanjutkan."

Mira hanya memandang iba wajah sahabatnya ini. Ternyata peran kedua orang tua memang penting dalam membentuk kebiasaan sang anak. Orang tua Kirana memang hidup berkecukupan bahkan semua fasilitas bisa diberikan untuk sang putri semata wayang. Namun sayang, perkara ilmu agama tidak mereka ajarkan. Semestinya Kirana bisa menjadi wanita dengan paket sempurna. Namun, lagi-lagi sayang, ia yang jauh dari agama menjadi satu kekurangan yang ada dalam dirinya.

"Bagaimana kalau ramadan tahun ini, kamu mulai berpuasa Ran? Kita tarawih sama-sama, kita tadarus alquran sama-sama dan memanfaatkan momentum ramadhan tahun ini dengan kebaikan yang bisa menjadi pahala?"

Kirana terdiam sejenak, menimbang-nimbang apa yang diucapkan oleh Mira. Namun, tak selang lama ia menggelengkan kepala. "Sepertinya aku belum minat Mir."

.

.

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!