Denting suara sendok yang beradu dengan piring, memecah keheningan yang tercipta di ruang makan kediaman Santi. Beraneka rupa hidangan berjajar rapi di atas meja di ruang makan ini. Tiga orang yang tengah duduk di kursi masing-masing nampak begitu lahap menikmati.
"Pa, mengapa semalam Papa tidak pulang? Memang Papa menginap di mana?"
Uhukkkk .... uhukkk .... uhukkk
Pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari bibir Santi, sukses membuat Arman yang sebelumnya fokus menikmati rendang tersedak. Lelaki itu terbatuk-batuk seperti seseorang yang tengah mengalami batuk berdahak. Kirana yang melihat itu semua, gegas mengulurkan satu gelas air putih ke arah sang papa.
"Pelan-pelan Pa!" ucap Kirana sembari memberikan satu gelas air putih.
Arman bergegas meneguk air putih yang diberikan oleh sang anak dan mulai mengatur napasnya. "Terima kasih Sayang."
Santi yang melihat Arman tiba-tiba tersedak, hanya bisa menatap wajah sang suami dengan tatapan penuh tanya. Lelaki yang telah menjadi pendamping hidupnya selama dua puluh tujuh tahun ini nampak seperti seseorang yang ketahuan menyembunyikan sebuah rahasia.
"Memang Papa semalam tidur di mana?" ulang Santi perihal pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya.
"E... itu Ma, semalam Papa tidur di kantor. Iya, tidur di kantor. Papa baru pulang bertemu dengan relasi pukul dua dini hari, setelah itu Papa bermalam di kantor."
Gugup, itulah ekspresi yang ditampakkan oleh Arman ketika menjawab pertanyaan sang istri. Jantungnya mendadak berdegup kencang seperti tengah menyembunyikan sesuatu di dasar hati. Tidak ingin siapapun mengetahui, termasuk anak dan istri.
Kedua netra Santi menatap intens ekspresi Arman yang nampak tidak seperti biasa. Hal inilah yang menghadirkan sebuah prasangka yang bergelayut manja di dalam dada. Sebuah prasangka yang hampir satu bulan belakangan ia redam, namun pagi ini kembali muncul ke permukaan. Gestur sang suami benar-benar menegaskan bahwa ada sesuatu yang sedang ia simpan.
"Papa bertemu dengan relasi hingga larut malam? Memang apa yang Papa bahas?"
Sembari mengupas buah jeruk, Kirana juga ikut menginterogasi sang papa. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu seperti ingin sekali tahu apa yang di bahas sang papa dengan rekan kerja hingga membuatnya lupa untuk pulang.
Arman tersenyum simpul meski di dalam dada terasa gugup sekali. "Banyak Sayang. Banyak sekali yang kami bahas. Terlebih di saat pandemi seperti sekarang ini. Di mana kita harus tetap bertahan meski di tengah-tengah pandemi."
"Benarkah seperti itu? Setahu Kirana tidak ada seorang pimpinan perusahaan yang bertemu dengan relasi sampai larut malam hanya untuk membahas pekerjaan. Kecuali jika itu merupakan acara di luar kantor. Seperti acara party, atau segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan."
Lagi-lagi ucapan Kirana semakin membuat Arman tersudut. Dahinya tiba-tiba berkerut. Memikirkan jawaban dari sang anak yang semakin menuntut. Pertanyaan Kirana sudah seperti pertanyaan dari seorang Jaksa penuntut.
"Begini Sayang, perihal pekerjaan memang tidak dibahas sampai larut namun obrolan kami di luar pekerjaan yang sampai membuat kami lupa waktu."
Kirana tersenyum miring. Jawaban Arman sungguh terdengar tidak masuk akal. "Oh seperti itu ya Pa? Ternyata rekan bisnis Papa itu hebat ya. Bisa membuat seorang Arman Adiguna lupa pulang dan lupa dengan keluarganya yang menunggu di rumah."
"Eh Sayang bukan ...."
Drrtt .... Drrttt .... Drrrtttt ....
Getaran ponsel yang teronggok di dekat piring Arman, memangkas ucapan lelaki paruh baya itu. Ia raih ponsel miliknya dan melihat siapakah gerangan yang menghubunginya di saat-saat seperti ini. Kedua netranya terbelalak dan membulat sempurna saat dalam hati mengeja salah satu nama yang sangat ia kenal namun tidak ada seorang pun yang tahu.
"Kok tidak diangkat Pa? Memang telepon dari siapa?"
Arman terkesiap. Pertanyaan sang istri benar-benar membuatnya tergagap. "E .... ini rekan kerja Ma. Iya rekan kerja. Sebentar, Papa angkat terlebih dahulu ya."
Arman beranjak dari posisinya. Dengan langkah kaki lebar, lelaki paruh baya itu menjauh dari keberadaan Santi dan juga Kirana. Menuju ke sudut tempat yang mungkin terasa jauh lebih privasi untuk berbicara.
Sebenarnya ada apa denganmu Pa? Mengapa sikapmu ini benar-benar berubah. Kamu yang biasanya berani mengangkat telepon di depanku dan juga di depan Raina, sekarang mengapa seperti ada yang kamu sembunyikan? Kamu bahkan seperti seseorang yang berbuat kecurangan.
Santi bermonolog di dalam hati. Manik matanya tidak lepas membidik bayang tubuh sang suami yang sudah menghilang di balik dinding. Perubahan sikap sang suami inilah yang semakin menjebaknya di dalam labirin prasangka yang sulit untuk terurai.
Papa benar-benar terlihat aneh. Ia yang selalu menjawab pertanyaan dengan tegas dan lugas, pagi ini seperti seseorang yang tengah dilanda oleh kegugupan. Sebenarnya apa yang sedang papa sembunyikan? Apakah benar Papa telah berselingkuh di belakang mama?
Tidak jauh berbeda dari Santi, Kirana pun turut bermonolog di dalam hati. Perubahan sikap sang papa benar-benar telah memunculkan tunas-tunas prasangka buruk yang ingin sekali ia temukan kebenarannya.
Santi yang sebelumnya larut dalam pikirannya sendiri, kini ia tautkan pandangannya ke arah Kirana. Wanita paruh baya itu tersenyum simpul melihat ekspresi sang anak yang juga seperti dipenuhi oleh tanda tanya.
"Jangan dipikirkan, Ran. Papa hanya sedang mengangkat telepon dari rekan bisnisnya saja. Bukan siapa-siapa."
"Tapi Ma ...."
"Sssstttt .... sudah ya Sayang. Ini sudah siang. Bersiap-siaplah untuk segera berangkat kerja. Mama sebentar lagi juga akan berangkat ke butik."
Kirana mengangguk patuh. Ia beranjak dari tempat duduknya. "Baik Ma. Kalau begitu Kiran sekalian pamit ya. Nanti tolong sampaikan ke Papa kalau Kiran sudah berangkat."
"Iya Sayang. Kamu hati-hati ya."
Kirana mencium punggung tangan Santi. Tidak lupa dikecupnya pipi kanan dan pipi kiri wanita paruh baya yang telah melahirkannya ini. Kemudian ia ayunkan tungkai kaki untuk segera mengawali aktivitasnya di pagi hari.
Santi ikut beranjak meninggalkan meja makan. Ia langkahkan kakinya, menyusul sang suami yang nampaknya sedang menepi di halaman belakang. Menjauh dari keramaian untuk berkomunikasi dengan seseorang.
Santi menghentikan pijakan kakinya yang tidak jauh dari posisi Arman yang saat ini memunggunginya. Dari tempat Santi berdiri saat ini, lelaki itu nampak asyik sekali dalam obrolannya dengan seseorang yang menjadi lawan bicaranya di balik telepon. Bahkan laki-laki itu nampak tertawa lepas, seperti bahagia sekali. Hal itulah yang semakin membuat jantung Santi kian berdenyut nyeri.
Sebenarnya kamu sedang berbicara dengan siapa Pa? Mengapa kamu terlihat begitu bahagia? Siapa yang dapat membuatmu tertawa lepas seperti itu selain aku dan juga Raina? Apakah mungkin, orang itu adalah wanita simpananmu?
Bulir-bulir bening dari sudut mata Santi semakin deras berjatuhan. Sebagai bias rasa sesak yang tertahan. Dengan kepala yang sudah diselimuti oleh berjuta-juta pertanyaan. Melihat sang suami tertawa lepas bersama orang lain membuat hatinya dipenuhi oleh ketidakrelaan.
Santi berbalik badan. Ia berjalan gontai seperti sedang membawa sebuah beban perasaan. Serpihan-serpihan prasangka yang bisa saja akan menjadi serpihan luka yang akan ia rasakan.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Arthi Yuniar
Raina apa Kirana kak?
2023-04-02
0
Fumiko Sora
nah kan, gelagat Arman sudah mencurigakan... 😒😒😒
2023-03-28
1