Mobil sedan putih mendarat sempurna di depan halaman luas sebuah rumah mewah bergaya klasik eropa. Tak selang lama muncul dari balik kemudi seorang wanita muda dengan menenteng tas di lengan tangan kirinya. Sedang di tangan kanannya, ia menenteng kantong plastik bening yang berisi martabak manis yang tercium aroma nikmatnya. Empat puluh lima menit berada di jalan, pada akhirnya ia tiba di rumah tercinta.
Sepasang telapak kaki berbalut flat shoes itu menyusuri lantai berlapis marmer yang menghiasi. Di sisi kanan kiri nampak pilar-pilar kokoh yang menjulang tinggi. Seakan menjadi tempat yang sangat nyaman untuk ditinggali. Di depan teras, sudah ada seorang wanita yang menyambut kepulangan Kirana ini.
"Papa dan mama sudah pulang Bik?"
Kirana menyapa Sumi yang merupakan asisten rumah tangga di kediamannya. Wanita berusia setengah abad yang sudah sejak puluhan tahun lalu menjadi orang kepercayaan sang mama. Bahkan, Sumi merupakan seseorang yang sejak dulu ikut merawat dan mengasuh Kirana. Tak heran, jika Sumi sudah Kirana anggap seperti ibu kedua.
"Sudah Non. Bapak dan ibu juga belum lama tiba di rumah."
Kirana menyunggingkan sedikit senyumnya. Ia ulurkan kantong plastik bening yang ia bawa ke arah Sumi. "Ini untuk Bibik dan pak Dirman."
"Apa ini Non?" tanya Sumi dengan dahi sedikit mengernyit.
"Ini martabak manis rasa cokelat kacang kesukaan Bik Sumi dan pak Dirman. Lekas dimakan ya Bik, mumpung masih hangat!"
Hati Sumi menghangat. Selalu mendapatkan perlakuan baik dari majikannya, membuat wanita itu merasa betah mengabdikan diri bertahun-tahun bekerja di rumah ini. Dengan penuh rasa syukur, Sumi menerima pemberian Kirana.
"Terima kasih banyak ya Non."
"Sama-sama Bik. Kalau begitu, aku masuk dulu ya."
"Baik Non."
Kirana kembali mengayunkan tungkai kaki. Memasuki area ruang tamu dengan sofa-sofa mewah yang mendominasi. Sofa dengan kualitas terbaik, langsung di datangkan dari Timur Tengah yang pastinya memiliki harga fantastis sekali. Guci-guci porselen yang didatangkan langsung dari Tiongkok, juga semakin mempertegas kesan mewah rumah ini. Tidak keketinggalan, sebuah pigura besar dengan foto keluarga juga dipajang di salah satu sisi.
"Hai Sayang, baru pulang?"
Santi, yang tak lain adalah sang mama menyambut kepulangan putri semata wayangnya ini. Ia letakkan ponsel yang ia bawa di atas meja dan menyambut sang putri dengan wajah berseri. Merentangkan tangan untuk dapat memeluk tubuh sang putri.
Senyum manis merekah di bibir Kirana. Gegas, wanita itu mendekap erat tubuh sang mama. Mencurahkan segala rasa cinta yang ia punya. Seketika, rasa hangat mengaliri aliran darahnya.
"Iya Ma. Seharusnya sudah dari tadi, namun Kirana singgah terlebih dahulu di kafe yang berada di dekat kantor."
Wanita paruh baya itu mengusap lembut punggung Kirana. Tidak tidak terasa jika putrinya ini benar-benar telah memasuki usia dewasa. Fase usia yang sudah pantas membina sebuah keluarga.
"Mama merasa kalau kamu sering sekali nongkrong di kafe itu. Memang di sana ada apa saja Sayang? Yang membuatmu begitu betah singgah di sana?"
Masih berada di dalam dekapan sang mama, Kirana terkekeh pelan. "Ada beraneka rupa sajian kopi, Ma. Ada espresso, macchiato, latte, cappucino, americano, mocha, affogato, dan masih banyak lagi."
Dahi Santi sedikit mengernyit, tidak terlalu paham dengan minuman anak muda zaman milenial seperti ini. "Memang, di sana kamu tidak bertemu dengan laki-laki gitu ya Sayang?"
Kirana sedikit terkesiap. Buru-buru ia urai pelukannya dari tubuh sang mama. Ia menatap lekat netra Santi dengan dipenuhi oleh tanda tanya.
"Laki-laki? Jelas pengunjung di kafe itu ada yang laki-laki, Ma. Tapi apa hubungannya dengan Kirana?"
"Apa diantara pengunjung laki-laki itu tidak ada yang mengajakmu berkenalan Sayang?"
Bibir Kirana semakin lebar menganga. Bahkan kedua bola matanya pun juga turut membulat sempurna. Tiba-tiba saja bulu kuduk wanita itu meremang seketika. Ia merasa sang mama akan kembali membahas perihal calon pendamping hidup yang sampai saat ini tak kunjung tiba.
"Memang kenapa Ma kalau tidak ada yang mengajak Kiran berkenalan? Kiran rasa bukanlah menjadi suatu kewajiban ketika kita nongkrong di kafe harus ada yang berkenalan dengan kita."
Senyum tipis membingkai bibir Santi. Netra dengan manik berwarna cokelat itu juga turut menatap intens wajah sang putri. Dengan lembut, ia usap pipi putrinya ini.
"Kamu itu cantik loh Sayang, tapi mengapa sampai sekarang tidak ada laki-laki yang mendekatimu ya? Ataukah mungkin kamu ini merupakan salah satu tipe perempuan pemilih? Sehingga sampai saat ini kamu masih sendiri?"
Pertanyaan sang mama membuat hati Kirana sedikit tertampar. Ia sadar bahwa sampai saat ini ia masih fokus dengan karier yang ingin ia kejar. Sehingga, perihal kekasih bukanlah menjadi salah satu prioritas yang harus ia upayakan.
"Kiran bukan tipe pemilih Ma. Kiran memang masih belum berminat untuk memikirkan perihal jodoh. Karena bagi Kiran, pernikahan itu tidak boleh jika dipikir asal-asalan. Harus ada pandangan bagaimana ke depan dan harus direncanakan secara matang. Bukan hanya sekedar dijalani saja tanpa adanya sebuah perencanaan."
"Memang perihal apa yang saat ini kamu pikirkan secara matang Sayang?"
"Tentang pelakor Ma. Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang pelakor. Entah itu dari asisten rumah tangga yang menjadi selingkuhan sang majikan. Baby sitter yang juga bermain serong dengan majikannya. Dan juga berasal dari godaan yang ada di luar sana. Semua itu membuat Kiran takut untuk menikah Ma. Takut jika suami Kiran nantinya menjadi salah satu lelaki yang seperti itu."
Mendengar berita akhir-akhir ini yang beredar luas perihal pelakor, membuat Kirana paranoid sendiri. Tidak dapat ia bayangkan bagaimana hancurnya makhluk bergelar istri saat dicurangi oleh sang suami. Bahkan mungkin bukan hatinya saja yang terluka. Dunianya pun pasti porak poranda dalam satu kedipan mata.
Santi sedikit shock mendengar penuturan Kirana. Ternyata perihal potret perselingkuhan yang merajalela di akhir-akhir ini yang membuat putri semata wayangnya ini masih belum bersedia untuk mengakhiri masa kesendiriannya.
"Kamu jangan...."
"Sedang membahas apa sih? Kok sepertinya serius sekali?"
Ucapan Santi terpangkas di kala suara bariton dari arah tangga sedikit menggema. Terlihat, Arman mengayunkan tungkai kakinya untuk ikut berkumpul dengan istri dan juga anaknya.
Kehadiran Arman disambut dengan rekahan senyum di bibir Santi dan Kirana. Jika sang kepala rumah tangga sudah ikut berkumpul seperti ini suasana hangat akan semakin terasa. Biasanya mereka bisa saling bercengkrama dan berbagi cerita hingga larut malam tiba.
Lelaki paruh baya yang masih nampak gurat-gurat ketampanannya itupun ikut duduk di sofa yang sama dengan istri dan anaknya. Kini posisi Kirana diapit oleh kedua orang tuanya.
"Ini lho Pa, putri semata wayang kita ini ternyata takut untuk menikah."
"Benarkah seperti itu Sayang? Memang apa yang membuatmu takut untuk menikah?" tanya Arman yang begitu ingin tahu.
Kirana menganggukkan kepala. "Itu benar Pa. Kiran takut jika pada saat Kiran menikah nanti, suami Kiran bermain api dengan berselingkuh. Kiran benar-benar takut dihianati Pa."
Arman seperti kesusahan menelan cairan salivanya. Mendengar sang anak mengutarakan ketakutannya untuk menikah, benar-benar membuat sendi-sendi dalam tubuh Arman melemas semua. Entah apa yang sedang bergelayut manja di dalam pikirannya. Yang pasti ucapan polos putrinya ini sungguh bisa melumpuhkan saraf-sarafnya.
"Bukankah hal itu sangat lucu Pa? Karena menurut Mama tidak semua laki-laki yang bergelar suami akan tergoda oleh pesona wanita di luar sana. Nyatanya, sampai saat ini Papa masih setia kepada Mama kan? Mama yakin jika Kiran juga akan menemukan sosok seorang suami seperti Papa. Iya kan Pa?"
Arman yang sebelumnya berada dalam mode hening, seketika tubuhnya terperanjat. Ia pun mencoba untuk menguasai segala pikiran yang berkecamuk di dalam kepala.
"Ehemmmm ... Itu benar sekali, Ran. Kamu tidak perlu khawatir akan hal itu. Masih banyak laki-laki yang setia di luar sana. Yang hanya setia pada pasangan hidupnya."
Kirana tersenyum penuh arti. Melihat keharmonisan dan keromantisan kedua orang tuanya, membuat Kirana ingin sekali mencari sosok seorang suami seperti ayahnya ini. Suami yang selalu memperlakukan istrinya dengan baik dan tidak pernah sekalipun melakukan sesuatu yang menyakiti hati. Tidak heran jika keduanya masih terlihat mesra di usia pernikahan mereka yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun ini.
"Ya, Kiran berharap semoga kelak suami Kiran seperti Papa. Yang hanya setia kepada satu orang wanita dan tidak pernah melukai hati mama. Kiran benar-benar bangga kepada Papa."
Arman tersenyum tipis dengan raut wajah yang sulit terbaca. Ia rengkuh tubuh putri semata wayangnya ini untuk ia bawa ke dalam dekapan. Sama seperti yang dilakukan oleh Santi, ia pun mengusap dan mengecup pucuk kepala sang anak dengan penuh kelembutan.
"Kiran ingin selalu seperti ini. Berada di dalam dekapan keluarga yang sempurna yang juga turut menyempurnakan kebahagiaan Kiran."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Viviana Chan
mampir baca novelku dong kak, sekalian kasih saran .
#pernikahan_termahal
2023-04-03
0
Arthi Yuniar
Gak tahu aja Kirana jika di belakang mereka papahnya sudah berkhianat
2023-04-02
0
⏳⃟⃝㉉❤️⃟Wᵃfᴹᵉᶦᵈᵃ☠ᵏᵋᶜᶟ 🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️
mungkin papah nya Kiran cuma baik di depan tapi di belakang istrinya bermain api🤔punya selingkuhan ya pa kamu,,kok kayak aneh gitu😁
Hai hai Assalamualaikum kak Rasti ku datang dikarya mu yg baru ini😅
2023-03-28
1