Bab 3. Sedikit Berubah

Mentari pagi menampakkan wajah. Sinar keemasannya terbias di butiran embun yang bergelayut manja di permukaan dedaunan, nampak indah. Kuncup-kuncup bunga mawar juga turut merekah. Sebagai bukti kasih sayang dari Sang Maha pemberi anugerah.

Tubuh Kirana sedikit bergeliat kala rasa hangat mulai memeluk tubuhnya. Netranya sedikit memincing saat sinar matahari terasa begitu menusuk kornea. Ia geser tubuhnya dan bersandar di head board ranjang. Sesekali ia regangkang otot-otot tubuhnya yang terasa kaku tiada terkira.

"Hari Minggu  ... papa punya rencana mau kemana ya? Ini sudah minggu ketiga papa tidak mengajak aku dan mama refreshing."

Perhatian Kirana tertuju ke arah kenop pintu yang bergerak seperti dibuka dari luar. Benar saja, tak selang lama kepala Sumi menyembul. Wanita itu tersenyum simpul.

"Bibik ingin mengambil pakaian kotor non Kiran."

"Masuk saja Bik. Pakaian kotorku sudah ada di keranjang semua kok."

Wanita paruh baya itu berjalan ke sudut kamar di mana keranjang pakaian Kiran berada. Dengan telaten, Sumi memilah-milah pakaian berwarna dan putih agar tidak tercampur. Sembari merogoh kantong baju ataupun celana yang barangkali terselip lembaran uang di sana. Jika memang hal itu yang terjadi, maka bergegas akan ia kembalikan kepada Kiran. Meski setelah ia kembalikan akan diberikan oleh si pemilik, namun Sumi mencoba untuk bekerja secara jujur.

"Bik, papa dan mama apa sudah turun?"

Sembari mengikat rambutnya asal, Kiran bertanya perihal kedua orang tuanya. Sejatinya ia teramat heran karena beberapa hari terakhir ini, sang papa seringkali pulang larut. Entah apa yang sesungguhnya terjadi.

"Tuan besar sudah sejak tadi pergi Non. Kira-kira dua jam yang lalu."

Hati Kiran semakin diliputi oleh tanda tanya. Setiap orang yang biasanya bersantai ria di hari libur, sang ayah justru sebaliknya. Ia justru pagi-pagi sekali meninggalkan rumah.

"Lalu, Mama?"

"Nyonya ada di taman Non. Tadi Bibi lihat sedang menyiram tanaman."

Kirana bangkit dari tempat tidur. Masih mengenakan  piyama berwarna biru dongker ia bermaksud untuk menyusul sang mama. Ia pikir, akan mengasyikkan jika pagi ini ia juga ikut menghabiskan waktu di taman.

"Aku menyusul mama dulu ya Bik. Tirainya lupa belum aku buka, nanti tolong dibuka sekalian ya Bik."

"Baik Non."

Kaki jenjang Kiran, ia bawa untuk keluar dari kamar pribadinya. Ia menuruni anak tangga dan mulai menyusuri setiap sudut ruangan yang ada di dalam rumah. Dan saat tiba di teras, nampak sang mama sedang duduk di bangku taman berwarna putih dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu nampak terdiam, terpaku, dan membeku seakan larut dalam pikirannya sendiri.

"Mama? Mama sedang apa?"

Gelombang suara yang merembet masuk ke dalam indera pendengaran, sukses membuat tubuh Santi sedikit terperanjat. Kesadarannya seakan ditarik paksa untuk kembali setelah berkelana entah ke mana. Santi menggiring manik matanya untuk menatap keberadaan sang putri yang sudah berdiri di sampingnya.

"Ran? Sejak kapan kamu di sini Nak?" tanya Santi dengan bingkai wajah yang dipenuhi oleh keterkejutan.

"Sejak Kiran melihat Mama melamun sendiri di sini," seloroh Kiran sembari mendaratkan bokongnya di samping samping sang mama.

Santi tersenyum simpul. Netra yang sebelumnya terpaut pada wajah cantik sang putri, kini ia arahkan kembali ke arah depan di mana nampak pohon cemara yang berjajar rapi di sana. Sesekali terdengar helaan napas keluar dari mulut Santi, seakan mengisyaratkan bahwa ada satu beban berat yang menggelayut di hati.

"Apakah kamu merasakan hal yang sama dengan apa yang Mama rasakan, Sayang?"

Seperti sudah tidak mampu untuk membendung segala kerisauan di hati, Santi mencoba untuk mencurahkannya kepada sang putri. Tentang perubahan sikap sang suami yang nampak di akhir-akhir ini.

Sejenak, Kiran menoleh ke arah Santi yang masih intens menatap barisan bonsai cemara yang ada di depan sana. Pahatan rasa cemas benar-benar terlihat membingkai wajah sang mama.

"Maksud Mama tentang papa?"

Santi mengangguk pelan sebagai pembenaran apa yang Kiran utarakan. "Ya, ini semua tentang papa, Ran."

"Yang Kuran lihat perubahan kebiasaan papa, Ma. Setiap weekend, papa yang sering mengajak kita refreshing dengan jalan-jalan ataupun staycation, namun sudah hampir satu bulan ini tidak pernah ia lakukan lagi. Selain kebiasaan papa yang berubah, apakah ada hal lain lagi yang berubah dari papa?"

Kiran masih mencoba untuk berpikir jernih tentang Arya. Ia berpikir kebiasaan sang papa yang sedikit berubah karena mungkin memang pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Sehingga membuat sang papa sedikit lupa dengan keluarganya.

Santi mengangguk pelan. "Mama merasa selain dari kebiasaan, sikap papa juga berubah Ran."

Kirana sedikit terhenyak. "Apa Ma? Apa lagi yang berubah dari papa?"

Lagi-lagi Santi membuang napas sedikit kasar saat melihat perubahan sikap sang suami akhir-akhir ini. Lelaki yang telah menjadi pendamping hidupnya selama dua puluh tujuh tahun ini, kini mulai sibuk dengan dunianya sendiri. Ada sesuatu yang terkesan ditutup-tutupi.

"Papamu akhir-akhir ini sering sibuk dengan ponselnya sendiri, Ran. Ketika kami sedang bercengkerama, sering sekali dering ponsel papamu berbunyi dan setelah itu papa bergegas menjauh dari mama untuk mengangkat panggilan telepon itu."

"Mungkin itu dari rekan kerja papa, Ma. Dan papa memilih untuk menjauh agar Mama tidak merasa terganggu. Barangkali papa sedang menghadapi hal yang sangat serius di kantor dan tidak ingin membebani Mama."

Meski Kiran merasakan ada sedikit keganjalan dari sikap sang papa, namun ia masih tetap berbaik sangka. Sang papa tidak mungkin melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan keluarganya. Karena sejatinya sang papa merupakan sosok suami dan ayah terbaik yang dapat dipercaya.

Santi tersenyum tipis mendengar ucapan Kirana. Sejatinya, ia ingin tetap berbaik sangka terhadap perubahan sikap Arya. Namun di dalam sudut hati terdalamnya, perasaan cemas dan khawatir itu tetaplah ada. Ia khawatir jika sang suami menyimpan rahasia besar yang bisa menjadi bom waktu dan meledak kapan saja.

Santi kembali menautkan kedua netranya ke arah sang putri. Dalam kegundahan hati seperti ini, hanya Kirana lah yang dapat kembali menguatkan hati. Meski tidak dapat diingkari jika pikiran-pikiran buruk itu tetaplah merajai.

Santi tersenyum simpul. Ia usap pipi Kirana dengan lembut. "Jika kamu masih percaya bahwa perubahan sikap papa ini hanyalah sementara, Mama pun juga akan mencoba untuk selalu berpikir yang sama, Ran."

Kirana juga ikut menyunggingkan senyum di bibirnya. Berupaya untuk meredam segala keresahan yang dirasakan oleh sang mama. Seperti seseorang yang memiliki ikatan batin, ia benar-benar bisa merasakan bahwa batin Santi sedang tidak baik-baik saja.

"Kirana percaya bahwa papa adalah orang baik, Ma. Tidak mungkin papa melakukan sesuatu yang akan mengecewakan kita. Bagi Kiran, papa merupakan sosok lelaki sempurna yang bisa selalu menjaga keutuhan keluarga."

Santi menarik lengan tangan Kirana. Ia peluk tubuh putrinya ini dengan erat dan menenggelamkan kepalanya di atas pundak sang putri tercinta. Tanpa sadar, kristal bening dari pelupuk matanya menetes perlahan. Sebagai pertanda jika seonggok daging bernyawa di dalam dada sedang dilanda oleh kekhawatiran.

Dua orang berbeda generasi itu saling berpeluk dan saling menguatkan. Memupus segala pikiran buruk yang masih saja datang membayang. Selalu percaya bahwa sosok lelaki yang menjadi pemimpin di dalam keluarga tidak akan pernah mengecewakan dengan goresan luka yang ditinggalkan.

.

.

.

 

 

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

Fumiko Sora

Fumiko Sora

sepertinya firasat mereka benar... 😌😌

2023-03-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!