Kampung Halaman

Panji tiba di depan sebuah rumah sederhana, rumah yang tidak terlalu luas namun begitu banyak menyimpan kenangan didalamnya. Setelah mengunjungi kedua orangtuanya, ia langsung menuju rumah dimana ia dan keluarganya tinggal bersama hanya untuk melepaskan kerinduannya. Pamannya telah memberitahu Panji bahwa rumahnya sudah dijual sejak bapaknya dipenjara. Rumah itu sangat sepi tidak ada tanda-tanda ada orang yang tinggal disana, namun kondisinya terawat rapi, ia melihat gerbangnya tidak terkunci, rasa penasaran membuat ia melangkah masuk melalui gerbang.

Sudah berkali-kali ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam namun tak ada jawaban. Matanya tertuju kepada pot bunga yang biasa menjadi tempat persembunyian kunci cadangan. Panji mengharapkan kejaiban dan ternyata kunci cadangan masih tersimpan disana. Ia membuka pintu dan langsung masuk.

Ketika masuk ke dalam rumah rasa herannya makin bertambah, semua perabotan dan isi rumahnya masih tetap sama seperti dulu, bahkan foto-foto keluarga yang menempel didinding juga masih berada pada tempatnya. Semuanya bahkan terlihat lebih bersih dan rapi. Panji memasuki setiap kamar, bahkan kamarnya masih persis sama semua posisi barangnya, begitu juga kamar adiknya dan kedua orangtuanya.

"Apakah benar rumah ini sudah terjual? Kalau memang terjual kenapa yang beli malah merawat barang-barang keluarga kami? Apakah paman sendiri yang membeli rumah ini? Apakah paman punya uang sebanyak itu?" Pertanyaan bertubi-tubi terus keluar dari batin Panji. Ia pernah ditunjukan uang hasil penjualan rumah ini oleh pamannya yang semuanya ditabungkan dalam bentuk deposito atas nama Panji dan adiknya. Sayangnya saat itu Panji tidak bertanya siapa yang membelinya karena ia merasa sudah tak perduli lagi dengan rumah ini.

Rasa penyesalannya kembali muncul, seketika ia sadar bahwa ia sudah memasuki hak milik orang lain tanpa izin, ia buru-buru keluar rumah untuk menghindari masalah.

Baru saja ia mengunci pintu ia disergap oleh dua orang, yang satu memiting lehernya dan satu orang lagi mengunci tangannya kebelakang, Panji termegap-megap kehabisan napas.

"Akhirnya kau muncul juga! Masih ingat aku Panji? Nih kau rasakan ucapan selamat datang dariku!" Suara laki-laki didepannya ternyta Gilang yang langsung mengayunkan balok yang ada ditangannya mengarahkan kekepala Panji. Menyadari bahaya Panji segera bergerak cepat menggunakan kakinya untuk menendang perut Gilang. Walaupun balok masih tetap mengenai kepalanya namun efeknya tidak terlalu membahayakan karena kekuatan Gilang sudah berkurang akibat terkena tendangan Panji. Gerakan Gilang yang membabi buta juga membuat pegangan kedua temannya mengendur karena takut terkena pukulan Gilang. Kesempatan ini tak disia siakan Panji, ia langsung memberi sikutan keras kepada yang tadi memegang tangannya, membuat hidungnya langsung mengucur darah. Panji melakukan teknik bantingan kepada yang mencekal lehernya, Panji mengarahkan jatuhnya bantingan kedepan Gilang untuk membuat serangan Gilang selanjutnya menjadi tertahan.

"Kau tak akan selamat kali ini Panji! Kau harus mati di tanganku sekarang!"

Panji bergerak mundur mengambil jarak aman dari jangkauan balok Gilang, ia merasakan pelipisnya sakit dan mengeluarkan darah.

"Ayolah! Tuntaskan dendammu kepadaku! Aku tak akan lari sekarang! Mari kita selesaikan sampai salah satu dari kita ada yang mati!" Panji berteriak tak kalah garang. "Sudah terlanjur basah, biarlah selesai semua masalah hari ini!" Panji membatin.

Gilang yang sudah diliputi dendam membara makin terbakar emosi mendengar tantangan Panji. Ia langsung mengangkat baloknya siap dipukulkan kembali. Kedua temannya juga sudah siap menyerbu Panji,

"GILANG! HENTIKAN! APA KAU GILA!" Suara wanita berteriak dari depan gerbang rumah Panji, teriakannya membuat serangan mereka terhenti. Panji menoleh dan secara tiba-tiba ia merasa sakit yang sangat menyiksa di bagian perutnya. Sakit yang sama ketika ia memukul Prasetyo, dan kedua atasannya.

"Ini sakit yang sama, polanya sama, sakitnya sangat menusuk seperti ditusuk ribuan jarum, ditambah keinginan untuk memukul wanita itu semakin kuat, semakin dipandang semakin kuat emosinya semakin sakit perutnya!" Panji membatin sambil terus mengusap perutnya yang sangat sakit.

"Astaga! ini korbanku selanjutnya? Ya Tuhan apakah aku juga harus memukul perempuan? Panji bimbang, tapi iaa sekarang yakin bahwa wanita ini adalah korban yang harus disembuhkannya. Seketika ia teringat pesan bapaknya untuk menerima tugasnya ini dengan hati. Panji melangkah mendekati wanita tadi, ia mencoba tersenyum kepada wanita itu yang dibalas olehnya dengan pandangan heran.

"Maafkan saya, Kak!" ia langsung memukul perut wanita tadi dengan keras, seketika darah muncrat keluar dari mulut wanita tadi mengenai baju Panji. Wanita itu langsung ambruk tak sadarkan diri. Panji langsung berlari sekencang mungkin diikuti teriakan teriakan Gilang dan kedua temannya. Panji terus saja berlari tak menyadari bahwa ternyata ketiganya tidak mengejar. Setelah ia sadar tak dikejar ia baru berhenti dan bersandar di batang pohon, napasnya masih tersenggal.

"Anda ikut kami" Panji yang masih bersandar di batang pohon mengatur napasnya terlonjak kaget begitu kedua orang berbadan tegap yang entah dari mana datangnya menghampirinya dari kanan dan kiri. Panji melihat didalam jaket kulit yang dikenakan keduanya ada seragam warna coklat dan ia melihat dikedua pinggangnya ada senjata yang tersimpan ditempatnya.

"Habislah aku sekarang!" Panji membatin pasrah, ia hanya menurut ketika kedua polisi tadi mencekalnya dan memaksa ia berjalan sampai akhirnya ketiganya masuk kedalam mobil. Mobil yang dinaiki Panji kembali melewati depan rumahnya, ia melihat sudah tak ada Gilang dan kedua temannya, juga wanita tadi. Panji berpikir mungkin Gilang dan kedua temannya memilih untuk menyelamatkan wanita tadi, mereka pasti saling mengenal karena akibat teriakan wanita tadi mereka urung meneruskan serangannya.

Perjalanan sampai kekantor polisi seperti seabad. lamanya Panji yakin otaknya sudah koslet. Otaknya sudah tak mau lagi diajak berpikir, ia mencoba menutup matanya merebahkan punggung dan kepalanya di jok belakang mobil polisi, kursinya ternyata cukup empuk dan mungkin ini terakhir kalinya ia merasakan naik mobil, mobil polisi pula, Panji tersenyum kecut, ia sedang mentertawakan nasibnya yang jelek.

Sampai di kantor polisi ia digiring masuk keruang pengobatan. Salah seorang petugas polisi dengan sigap membersihkan luka dikepala Panji dan menutupnya dengan perban. Setelah tugasnya selesai ia pergi negitu saja dan kedua orang yang tadi mebawa Panji ke ruangan lain. Ruangan ini hanya ada dua kursi dan satu meja, ruang interogasi,

Kedua polisi tadi meninggalkan Panji lalu berjalan keluar ruangan dan mengunci ruangan dari luar tanpa mengucap satu patah kata. Panji baru menyadari sejak ketiganya masuk mobil sepanjang perjalanan mereka juga tak berbicara. Kedua polisi itu hanya diam mengamati Panji dari spion tengah mobil mereka. Tak ada ancaman, tak ada pertanyaan, semuanya malah membuat Panji semakin kebingungan.

Detik demi detik yang dilalui Panji dikantor polisi membuat jiwanya semakin bergolak, antara pasrah dan meratapi nasib juga tak di mampu lagi ia bedakan. Luka yang mengering dipelipisnya masih menimbulkan sakit namun tak mampu memecah gelombang keresahan dalam jiwanya.

"Inilah akhirnya! Nasibku lebih tragis dari bapak! Berakhir di penjara! Tapi setidaknya bapak lebih beruntung kondisinya sekarang. Aku bahkan belum menikah, pacaran saja belum!" Suara Batin Panji keluar memberontak, tak sadar ia tersenyum kecut, senyum mentertawakan dirinya sendiri. Ia langsung teringat sosok Ratna, sosok wanita itu tiba-tiba muncul dibenak Panji, senyumnya sangat menawan di mata Panji, tertawanya begitu lepas. Tentu saja ia pasti hebat dan pintar dalam mengerjakan tugas-tugasnya, bahkan diusia semuda itu ia begitu dihormati karyawan lainnya. Membayangkan Ratna akan bersanding menjadi kekasihnya membuat Panji kembali tetsenyum kecut, apalah dirinya saat ini, hanya seorang petugas kebersihan yang tak jelas nasibnya. Keinginannya untuk kuliahpun masih tertunda karena ia harus membayar biaya sekolah adik dan orang tuanya, apalagi disaat sekarang, diujung akhir nasibnya berakhir dikantor polisi.

Setelah lebih dari satu jam ia dibiarkan sendirian tanpa ada tanda-tanda pintu akan terbuka, ia hanya mendengar beberaoa orang bercakap-cakap dibalik pintu lalu pergi begitu saja. Panji berjalan mondar mandir didalam ruangan untuk mengurangi kegelisahannya. Sesekali ia memandang pintu yang tak juga terbuka untuk kejelasan nasibnya. Ingin rasanya ia menggedor pintu namun apalah daya, dikawasan pemilik hukum, salah-salah malah menjadi bencana buatnya. Ia kembali duduk dikursi merebahkan badannya, kepalanya mendongak langit-langit ruangan, matanya terpejam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!