Menguak Takdir

Panji tercengang ketika ia sampai dihalaman sebuah gedung yang besar dan megah. Didalamnya tampak beberapa orang perawat laki-laki dan perempuan sedang lalu-lalang sibuk mengerjakan sesuatu, ada yang sedang menuntun orang tua dengan kursi roda, ada juga yang sedang membawa baki makanan dan sebagainya. Halamannya ditata sangat rapi, terlihat rumputnya dipotong secara berkala sehingga sama rata dan disana-sini tanaman bunga tumbuh subur menyenangkan mata. Panji masih tak percaya dengan alamat yang diberikan pamannya kemarin.

"Ini bukan panti kaleng-kaleng! Dari mana paman bisa punya uang untuk merawat ibuku disini?" Pertanyaan muncul di kepala Panji, ia memang mengirimkan uang hasil kerjanya tiap bulan kepada pamannya untuk biaya sekolah dan perawatan ibunya. Panji menaksir tak cukup satu juta perbulan untuk biaya perawatan ibunya disini.

Dengan langkah bimbang Panji masuk menuju meja resepsionis, semua pertanyaan masih menggantung di kepalanya.

Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya kepada petugas di meja depan ia dipersilahkan menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian datang seorang perawat mendorong sebuah kursi roda yang berisi ibunya. Panji memandang sosok ibunya, ia terlihat terawat dengan baik, badannya bersih dan sehat, namun sorot matanya kosong menatap kedepqn dengan hampa. Panji mengurungkan niatnya untuk bertanya kepada ibunya, ia mencium tangan ibunya dan duduk bersimpuh dihadapannya.

"Apa kabar Ibu, maafkan Panji baru hari ini bisa menjenguk Ibu," Panji menatap ibunya, matanya masih menatap Panji namun seolah tak mengenali Panji lagi.

"Berilah ibumu waktu, kami masih akan terus mengupayakan kesembuhan ibumu, sementara ini perkembangannya sudah cukup menjanjikan, dia sudah lebih tenang dan mau aktivitas disini, bawalah ibumu jalan-jalan dihalaman!" Perawat wanita yang tadi mengantar ibunya berkata dengan ramah kepada Panji, Panji mengannguk dan mengucapkan terima kasih sebelum ia mengambil alih kursi roda dari tamgan perawat tadi.

Panji mendorong kursi roda ibunya berjalan kehalaman dan terus menuju taman yang cukup luas, disana terlihat beberapa orang anggota keluarga yang sama-sama menjenguk orang tuanya. Panji mencari kursi taman dan duduk menghadapi ibunya sambil terus memegang tangannya, ia bercerita hal-hal yang baik saja tentang dirinya selama ini, ibunya tetap diam namun Panji melihat mata ibunya mulai berkaca-kaca. Setelah dirasa cukup melepas kerinduannya Panji kembali mengantar ibunya masuk, ia memanggil salah seorang perawat untuk mengembalikan ibunya, sebelum perawat membawa ibunya ia mencium tangan ibunya hendak berpamitan, tiba-tiba Ibunya berkata dengan suara bergetar.

"Panji, Bapakmu tak bersalah, sampaikan permohonan maaf ibu buat Bapakmu!" Tangannya tiba-tiba mengelus kepala Panji lalu mulai menangis. Panji seolah tak percaya dengan apa yang barusan ia alami, ia ingin bertanya lebih lanjut tapi perawat yang tadi menahannya dengan isyarat untuk tidak terlalu menekan ibunya saat ini. Panji memahami dan membiarkan ibunya dibawa kembali ke kamar.

Panji berjalan keluar dengan sejuta pertanyaan yang ada dikepalanya. Rencananya hari ini ia akan menemui bapaknya dipenjara yang letaknya satu kota dengan tempat ibunya dirawat. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dan peristiwa yang dialaminya terus menerus berputar seperti gasing dikepalanya, Ia tak berhenti berpikir sampai tak sadar kalau taksi yang ditumpanginya sudah sampai didepan pintu penjara tempat bapaknya ditahan. Setelah membayar taksi ia menuju pos di depan gerbang penjara.

Panji menyampaikan maksud dan tujuannya. Tak lama setelah penjaga penjara berkoordinasi, ia diantar ke ruangan dimana keluarga bisa bertemu dengan para tahanan. Tidak terlalu lama menunggu bapaknya datang dengan diantar salah satu sipir penjara, ia terlihat sehat dan segar, namun banyak bekas-bekas luka dimuka dan ditangannya, begitu melihat anak lelakinya ada dihadapannya ia langsung memeluk erat Panji.

"Apa kabarmu Nak? Aku tak menyangka engkau sudah sebesar ini, gagah dan tampan!" Bapaknya berkata dengan suka cita, Panji hanya tersenyum.

"Maafkan aku Pak, aku baru datang kali ini untuk menjenguk Bapak."

"Tak perlu minta maaf, aku tahu kamu berjuang diluar sana sendirian, akulah yang harus minta maaf karena membuat anak-anakku harus menderita." Suara Bapaknya berganti menjadi berat penuh penyesalan. Panji hanya menunduk, kerisauan diwajah Panji tertangkap oleh Bapaknya.

"Wajahmu terlihat sangat risau Nak? Ada yang ingin kau sampaikan padaku? ceritalah!"

Panji bimbang, namun akhirnya ia memutuskan untuk bicara pada bapaknya.

"Aku memang sengaja datang untuk menemuimu, beberapa bulan terakhir aku mengalami peristiwa aneh yang membuatku sekarang dalam kesulitan dan harus berhenti bekerja." Panji mulai bercerita tapi kemudian berhenti karena tak tahu harus bagaimana mulai bercerita kepada bapaknya, bia hanya *******-***** kedua tangannya, hatinya gelisah. Bapaknya terus mengamati Panji dari atas sampai bawah, terlihat juga olehnya beberapa bekas luka di tangan Panji. Melihat Panji yang sedang kesulitan menyusun kata-kata membuatnya langsung mengambil kedua tangan Panji.

"Biar kutebak! Kamu tiba-punya nafsu untuk menghajar orang dan itu tak berhenti sampai kamu betul-betul menghajarnya, betul begitu Nak?" Panji langsung tersentak mendengar penuturan Bapaknya, Bapaknya cuma tersenyum.

"Apakah kau tahu kekuatan itu bisa menyembuhkan penyakit orang yang kau hajar Nak?"

Panji bingung harus berkata apa, akhirnya ia mengangguk,

"Tapi belum pasti, aku baru menduganya begitu."

"Aku sudah menduga engkau punya kekuatan itu ketika Pamanmu bercerita engkau terlibat masalah dengan atasanmu di Kebumen dan akhirnya kamu harus lari ke Jakarta. Aku sama sekali tak menyangka kamu juga mewarisi kekuatan itu. Kekuatan yang sama yang aku dapat secara tiba-tiba saat kamu masih sekolah Nak."

"Jadi Bapak juga memiliki kekuatan itu?" Bagaimana bisa kekuatan itu Bapak miliki?" Panji bertanya dengan gusar seolah menyalahkan Bapaknya yang telah memberinya kekuatan itu.

"Aku tak tahu Nak, Aku tak pernah menuntut ilmu seperti itu, ibadah yang kulakukan juga sama saja seperti orang lain pada umumnya. Sama sepertimu hal itu juga datang tiba -tiba kepadaku." Panji masih menatap Bapaknya dengan gusar, ia masih tak percaya dengan jawaban Bapaknya, memandang Panji yang terlihat jelas tidak percaya kepadanya, ia hanya menghela nafas dengan tenang.

"Awalnya aku mengira sakit biasa, tapi sakit itu hanya muncul saat aku bertemu korban, darahku mendidih ingin memukulnya. Setelah kejadian pemukulan pertama di pasar, aku baru menyadarinya ketika orang yang aku pukul datang kepasar dan berterima kasih padaku karena penyakitnya sembuh karena pukulannku. Sejak itu aku dikenal sebagai tukang cari masalah di pasar, siapa saja, entah pedagang, tukang parkir, bahkan pengunjung pasar tak luput kena pukulanku, sebagian yang menyadarinya berterima kasih, sebagian yang lain menjadi masalah buatku, itulah sebabnya aku dan ibumu cekcok setiap hari, aku tak bisa fokus lagi berdagang, sementara aku juga tak bisa menceritalan hal yang sebenarnya pada ibumu."

Panji merebahkan badannya kekursi, ia sudah menduga bapaknya pasti memiliki kekuatan yang sama, namun ia tak menyangka dia juga mendapatkannya cuma-cuma.

"Apakah Bapak lepas kendali sehingga ada yang terbunuh?" Ibu bilang kalau Bapak tak bersalah!" Mendengar pertanyaan Panji ia terperanjat, namun ia segera tersenyum untuk menetralisir suasana.

"Bagaimana kabar Ibumu Nak? Apakah ia sudah sembuh? Kapan kau bertemu dengannya?" Bapaknya balik bertanya dengan sabar.

"Aku baru saja bertemu dengannya, perawat bilang ibu akan segera sembuh, bagaimana Bapak bisa masuk penjara?" Panji terus menekan bapaknya untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Bapaknya hanya menghela napas dan merebahkan badannya ke belakang, kepalanya mendongak menatap langit-langit. Setelah sekian lama menunggu akhirnya ia bicara.

"Maaf Panji, aku tak bisa menceritakan hal itu kepadamu!" Suaranya datar tapi sorot matanya yang tajam sudah menegaskan kalau hal itu sudah final dan tak bisa diganggu gugat. Panji yang sudah mengenal sorot mata seperti itu hanya bisa pasrah menahan kekecewaannya. Lama keduanya terdiam, akhirnya Panji kembali bertanya.

"Apakah Bapak masih memiliki kekuatan itu disini?"

"Sudah jarang muncul, mungkin sudah semua aku sembuhkan disini," Ia tertawa, tapi aku mengalami kesulitan yang lebih besar awalnya, kau lihat begitu banyak bekas luka akibat kena pukulan orang-orang yang menghajarku beramai- ramai. Kau bisa membayangkan yang aku pukul adalah kepala gembong narkoba yang anak buahnya disini puluhan, pembunuh sadis, perampok nekad dan sebagainya, tak ada tempat lari dan sembunyi, aku bahkan tak bisa tidur karena menahan sakit bahkan kasurku penuh dengan darah." Panji tercekat, lidahnya langsung kelu. Ia merasa bersalah karena awalnya ia ingin menyalahkan bapaknya akibat penderitaan yang ia alami. Ia mungkin lebih beruntung karena masih bisa lari, tapi bapaknya tak mungkin lari jauh dan sembunyi, Kehidupan penjara yang diisi oleh orang-orang keras dan kasar tentu semakin membuat bapaknya sangat menderita.

"Tapi aku beruntung, setelah sekian kali, akhirnya kepala penjara disini yang jadi korbanku, tentu saja awalnya aku lebih disiksa oleh para sipir penjara. Aku hampir mati dan memang aku memilih mati saat itu setelah berhari-hari disiksa, dihajar habis -habisan dengan berbagai macam alat penyiksaan. sebelum aku mati ternyata kepala penjara menyadari bahwa ia telah disembuhkan olehku." Ia terdiam menghela napasnya beberapa kali.

"Disinilah aku sekarang, aku dilindungi oleh kepala penjara, aku tinggal memberitahu targetku kepada beliau, ia langsung mengamankan aku ketika aku sudah mengeksekusi, membawa korban kerumah sakit penjara, dan ia sendiri yang menjelaskan kepada korban bagaimana aku telah menyembuhkan penyakitnya. Beginilah aku sekarang, aku jadi orang paling dihormati disini sekarang, hahahaha! " Bapaknya kembali tertawa namun bukan tertawa karena puas atau bangga, Panji merasakan beban berat yang terpikul dalam tertawanya.

"Apakah ini kutukan buat keluarga kita?"

"Aku tak tahu Panji, dulu aku merasa begitu, hidupku sulit, usahaku yang sudah kurintis dari nol hancur, hubunganku dengan ibumu jadi seperti anjing dan kucing, tapi disini aku memandangnya sebagai anugerah. Semua tergantung dari cara kita memandangnya Panji. buatku ini suatu anugerah karena aku bisa membantu orang-orang yang sakit disini. Mungkin ini takdirku dari Tuhan untuk berada disini.

"Apakah kekuatan ini bisa hilang atau berakhir?" Panji bertanya dengan cemas.

"Lagi-lagi aku juga tak tahu Nak!" Ia hanya tersenyum saat melihat kecemasan Panji.

Waktu kunjungan telah berakhir, seorang sipir memberi tanda dengan sopan kepada bapaknya untuk mengakhiri kunjungannya. Ia memeluk Panji seolah tak mau dilepas lagi, sambil berkara di kupingnya.

"Jagalah dirimu Nak! Aku yakin kamu bisa mengatasinya dengan kepandaianmu, gunakan hatimu untuk menerima Anugerah ini!" Panji hanya bisa tersenyum samar, sebelum Bapaknya beranjak pergi ia mencium tangannya. Ia melihat beberapa sipir penjara sangat akrab dan hormat kepada bapaknya. Panji berjalan dikawal sipir yang juga sangat ramah kepadanya, begitu sampai di gerbang depan disambut dengan jabat tangan erat beberapa sipir yang bertugas didepan.

"Suatu kehormatan buat kami bisa bertemu dengan anak Pak Sudibyo," Salah seorang sipir berbadan tegap menjabat tangan Panji dengan erat.

Panji memandang sekeliling, semua mata memandang hormat kepadanya,

"ini pasti akibat Bapaknya yang telah menanam kebajikan disini, Bapak benar, bagaimana kita memandang anugerah ini maka begitulah hasilnya, kita pandang positip hasilnya positip, kita pandang negatip hasilnya juga negatip!" Panji membatin, tapi ia tahu walaupun ia sudah menerima anugerah ini tapi pasti dalam perjalanannya masih akan penuh duri dan berbatu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!