5

Sudah seminggu sejak pertemuan pertama Henry dan tujuh. Pemuda itu banyak mengajari pangeran kecil mereka keterampilan dasar berperang dan pengobatan. Tujuh juga rutin melaporkan semua hal pada kaisar mereka tentang perkembangan Henry setiap dua hari sekali. Senyum tak lepas dari kaisar mereka setiap mendengar laporan apa pun tentang pangeran kesayangannya yang harus dia abaikan demi keselamatan anaknya itu.

"Kamu sudah bekerja keras! Lanjutkan seperti ini saja, jangan terlalu membebani dia," kata sang kaisar.

"Baik, yang mulia!" kata tujuh patuh.

Tujuh selalu menghadap saat malam hari, dia menghindar dari mata orang-orang yang mungkin mengawasi kaisar mereka.

"Kalau begitu, hamba akan kembali sekarang, yang mulia!" kata tujuh pamit untuk kembali. Dia sekarang tinggal di istana yang sama dengan Henry, sebagai guru dia mendapatkan kamar di sana. Terkadang mereka juga menghabiskan waktu di luar waktu berlatih dan belajar, seperti saat waktu makan atau minum teh, atau hanya jalan-jalan di sekitar taman.

"Guru, apa saya sudah sedikit lebih berkembang?" tanya Henry dengan wajah polos.

Tujuh terdiam, bingung harus menjawab seperti apa. Pangeran kecil mereka terlalu lema, tapi kemauannya serta usahanya sangat luar biasa. "Anda baru mulai belajar beberapa hari ini, tuan kecil. Jadi,mari kita lihat setelah lewat beberapa bulan," kata tujuh menata kata-katanya agar tujuh bisa paham.

"Baik, guru!" tukas Henry bersemangat.

Tujuh tersenyum melihat semangat pangeran kecil mereka. Andai saja tuannya tak menghindari mata dari permainan jahat yang baru, tuannya tak akan menjaga jarak dengan majikan kecilnya. Mereka pasti bisa lebih dekat, bahagia, dan banyak menghabiskan waktu bersama. Sayang sang kaisar tak bisa melakukan itu meskipun beliau sangat menginginkannya. Dia raja, dia penguasa negeri ini. Tapi dia juga harus berhati-hati agar tak mengalami hal yang sama, yaitu kehilangan orang yang disayanginya sekali lagi.

"Mari kita beristirahat untuk sekarang, tuan kecil," kata tujuh terdengar ramah meski memasang tampang datar dan suara tegas.

"Biarkan saya melakukannya sedikit lebih lama, guru!" kata Henry terus mengayunkan pedangnya.

Tujuh menganggukkan kepalanya. "Tapi jangan terlalu memaksakan diri, tuan kecil!" katanya mengingatkan.

"Baik, guru!" kata Henry tersenyum lebar. Baru kali ini ada yang mau mengobrol dengan dirinya. Biasanya dia dijauhi atau malah dibentak kalau meminta sesuatu. Tapi ini, Henry bisa mengatakan apa pun yang dia inginkan, gurunya selalu mendengarkan dan juga menimpali saat Henry berbicara atau menyampaikan pendapat.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Jauh dari istana, di tempat Leo dikirim dengan dalih tugas sebagai pangeran. Anak laki-laki itu memasang tampang kusam, dia bosan terus menatap tumpukan salju yang tak ada habisnya. Tak ada teman sebaya, tak ada yang bisa dia ganggu, bahkan pamannya sudah melarang dia untuk mengganggu anak-anak desa yang sering ikut dengan ibu mereka bekerja. Semakin bosan lah dirinya di setiap waktu yang dia lewati tanpa bisa melakukan apa pun yang menurutnya seru.

Kesal dengan semua hal yang menurutnya membosankan, Leo kembali mendatangi ruang kerja pamannya. Pintu dibuka lebar dengan kasar, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Sang paman terlihat geram, apa lagi dia sedang menerima laporan penting saat ini. "Kalian pergi dulu, nanti lanjutkan lagi saat aku panggil!" kata sang paman pada dua orang bawahannya.

"Baik, tuan!" kata mereka berdua menunduk patuh. Keduanya menunduk hormat saat di depan Leo, sedangkan Leo tak membalas dan hanya menatap tak peduli ke arah keduanya.

"Tak bisakah anda bersikap layaknya seorang pangeran, yang mulia?" tukas si paman saat memastikan mereka hanya tinggal berdua saja.

Leo berdecak kesal. Dia sudah bosan, dia tak ingin mendengar ceramah sang paman yang akan membuatnya semakin jengkel. "Ck, ayolah paman. Jangan cerewet seperti kakek tua!" dengus Leo tak sopan. "Aku bosan dan aku tak mau bertambah kesal karena mendengar omelan paman!" katanya lagi.

"Kalau begitu, tolong bersikaplah lebih sopan saat masuk ke ruangan saya, yang mulia?!" balas si paman tetap menjaga formalitas.

"Aku ingin bermain di luar!" kata Leo tak menanggapi permintaan pamannya.

Si paman tahu, itu bukan pertanyaan untuk meminta izin. Tapi Leo sedang membuat pernyataan agar diizinkan ke luar dari kastil ini. "Sayangnya saat ini bukan jadwal anda berkeliling," kata sang paman terlihat acuh.

"Aku bosan dan aku butuh udara segar, paman!" kata Leo ketus.

"Pergi ke taman! Udara di sana cukup baik," balas pamannya.

"Bukan itu maksudku!" kata Leo kesal.

"Pangeran Leo!" panggil sang paman sambil menatap keponakannya itu. "Tolong jangan buat masalah yang bisa menambah tugas yang diberikan kaisar padamu!" lanjut pria itu mengingatkan.

"Lalu aku harus apa?" tanya Leo kesal. "Lama-lama aku bisa mati kebosanan kalau terus di sini!" lanjutnya mendengus kesal.

"Baca buku di perpustakaan, belajar pedang dengan para prajurit dengan cara latih tanding, pergi ke dokter dan belajar beberapa hal tentang pengobatan yang mudah! Atau apa pun itu yang bisa mengisi waktu anda yang anda habiskan dengan mengeluh kata BOSAN kepada saya setiap saatnya!" si paman yang kesal mengatakan semua itu hanya dalam satu tarikan napas.

"Buat apa?" Leo memutar bola matanya panas. "Aku pangeran! Calon kaisar yang akan menggantikan ayahanda! Bukan tugasku untuk melakukan hal kecil seperti itu?!" tukas Leo congkak. Itu semua merupakan tugas dari para bawahannya. Buat apa dia belajar hal-hal remeh seperti itu kalau dia bisa menyuruh orang lain untuk melakukannya.

"Terserah, tapi tolong jangan pergi ke luar karena saya tak bisa memberikan izin pada anda!" putus sang paman menyampaikan keputusannya. Berbicara terlalu lama dengan keponakannya itu tak akan mengubah apa pun, yang ada dia hanya akan mendapat sakit kepala di akhir.

"Aku benci paman!" hardik Leo berbalik pergi. "Aku akan mengatakan ini pada ibunda!" katanya berubah menjadi bocah pengadu.

"Silakan saja!" balas si paman yang tak peduli dengan ancaman keponakannya.

"Kapan dia bisa bersikap dewasa?" keluh pria itu menghela napas panjang. "Jadi apa negara ini kalau kaisarnya seperti dia?!" lanjutnya lagi yang sepertinya tak setuju negaranya memiliki kaisar seperti keponakannya di masa depan.

"Kuharap raja tak cukup gila dan berani memberikan negara pada keponakan ku yang terlalu kekanak-kanakan itu?!" gumamnya lagi lalu membenamkan diri dalam berbagai laporan yang dia kerjakan. Nanti saja dia memanggil dua orang tadi yang tak menyelesaikan laporannya karena kedatangan keponakannya yang tak ada sopan-sopannya itu.

Di kamarnya, Leo segera meminta pena dan kertas. Dia menulis surat untuk ibunya. Leo benar-benar melakukan apa yang dia katakan, dia mengadukan sikap pamannya yang sangat menjengkelkan pada ibunya. Berharap ibunya mau memarahi pamannya dengan kekuasaan yang dimiliki sang ibu. Biar saja pamannya kapok dan nantinya akan menuruti semua yang dia minta tanpa pikir panjang dan mengomel lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!