Sudah seminggu berlalu, Leo mengeluh hampir setiap hari. Meminta pamannya melakukan sesuatu yang besar agar dirinya bisa cepat pulang kembali. Dia bosan, dia muak, dia merasa jijik harus tinggal di tempat kumuh yang tak ada apa-apanya dengan istana mereka yang berada di ibukota kekaisaran.
Si paman yang sebenarnya merasa jengah dengan keluhan yang keponakannya lakukan hanya bisa membalas dengan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Pria itu mengatakan kalau keponakannya harus bersabar sampai kaisar sendiri yang memanggil dirinya kembali ke istana. Mau tak mau, Leo pun memilih diam. Tak ada yang bisa dia lakukan untuk sekarang. Oh, berapa dia merindukan kehangatan ibukota yang tak bisa dia dapatkan di sini.
Begitu Leo meninggalkan ruangan pamannya, sang paman pun menghela napas panjang. "Semoga nanti sore dia tak datang dan mengeluhkan hal yang sama lagi!" gumam pria itu penuh harap.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Di istana terbuang, meski Pangeran Henry mendengar beberapa pelayan yang datang mengatai dirinya, pangeran kecil itu tak terlalu memedulikannya sama sekali. Bocah itu terus mengasah kemampuannya, dia sudah memilih untuk menjadi seorang ahli pedang. Kalau gagal, dia juga belajar tentang herbal sebagai cadangan.
"Pangeran, ada ada lagi yang anda butuhkan?" tanya si kepala pelayan dengan ramah. Dia sudah bekerja di istana semenjak Ibu Pangeran Henry masih menjadi calon putri mahkota, bisa dibilang kepala pelayan adalah salah satu orang yang berada di pihak Henry meski tak bisa banyak membantu karena statusnya yang tak terlalu tinggi.
"Bisakah tolong sampaikan pada kaisar kalau saya ingin belajar berpedang dan pengobatan jika memungkinkan?" tanya Henry sopan.
"Tentu, akan hamba sampaikan, yang mulia," balasnya membungkuk.
"Anda tak perlu membungkuk seperti itu, madam!" kata Henry tak terbiasa menerima sikap seperti itu.
"Ini yang seharusnya bawahan yang rendah ini lakukan, yang mulia," kata kepala pelayan itu lagi. Dia tersenyum tipis, merasa kalau nyonyanya pasti akan sangat senang mengetahui anak yang dia lahirkan telah tumbuh dengan baik dan memiliki sopan santun yang tinggi pada orang yang lebih tua. Sayang nyonyanya tak bisa melihat pangeran mereka tumbuh dan menjadi dewasa. Dewa lebih menyayangi wanita itu dan membawanya kembali dengan cepat ke tempat yang lebih baik.
"Kalau begitu hamba permisi, yang mulia. Jaga kesehatan anda," katanya sebelum pergi. Henry mengangguk, tak tahu harus menanggapi seperti apa. Dia sudah terbiasa diabaikan, jadi kalau ada yang bersikap baik, dirinya akan merasa canggung.
Permintaan Henry, disampaikan langsung begitu sang kaisar mengizinkan kepala pelayan tadi menghadap kepadanya. "Jadi anak itu butuh seorang guru?" kata sang kaisar sedikit berpikir, siapa yang kira-kira bisa dia tempatkan dan percayai untuk menjadi guru pedang anaknya.
"Kembalilah, biar aku putuskan saat aku sudah selesai memikirkannya dengan baik!" kata sang kaisar melambaikan tangannya, mengusir si kepala pelayan tadi begitu urusan mereka selesai.
"Hamba pamit undur diri, yang mulia kaisar," kata pelayan itu mundur beberapa langkah kemudian segera pergi. Membiarkan kaisar mereka memikirkan siapa yang akan menjadi guru untuk pangeran mereka.
"Satu, bagaimana menurutmu?" gumam sang kaisar.
Sekelebat bayangan terlihat, lalu seorang pria berlutut menekuk satu kakinya di hadapan kaisar yang tadi bergumam. Sepertinya dia yang tadi dimaksud satu oleh kaisar ini. "Menurut saya, lebih baik memberikan pangeran kecil kita guru dari kalangan rakyat biasa, tuanku!" katanya dengan wajah tetap menunduk ke lantai.
"Rakyat biasa?" gumam sang kaisar sambil berpikir. "Mereka memang tak berani melawan, tapi bisa saja mereka digunakan sebagai senjata untuk mengganggunya. Aku tak bisa mengambil resiko dengan menempatkan orang yang tak bisa aku percaya sama sekali," lanjutnya mengutarakan keresahan hatinya sebagai seorang ayah. Dia tak bisa memperlihatkan secara langsung kalau dia menyayangi anaknya, setidaknya dia harus bisa melindungi anaknya meski dari jauh.
"Kalau begitu, anda pasti sudah memiliki pertimbangan sendiri, tuanku!" kata si satu
"Panggilkan tujuh, aku punya tugas lain untuk dia!" kata sang kaisar setelah berpikir dengan matang.
"Hamba melaksanakan titah anda, tuanku!" kata si satu segera menghilang dengan cepatnya.
Tak lama kemudian, tujuh menghadap pada sang kaisar. Pria itu berlutut dan menyapa tuannya dengan segala hormat dan penuh kesopanan. "Dengarkan titahku untukmu, tujuh!" kata sang kaisar setelah beliau menerima salam dari tujuh.
"Hamba siap menerima titah anda, tuanku!" kata tujuh dengan patuh.
"Masuk ke istana terbuang, jadilah guru bagi anak itu! Lindungi dia bukan sebagai penjaga bayangan lagi, tapi sebagai guru yang akan tetap berada di sisinya apa pun keadaan atau yang dia hadapi nantinya!" tukas si kaisar menyampaikan titahnya yang baru untuk tujuh.
"Hamba menerima titah anda, yang mulia!" kata tujuh bersikap hormat.
"Kamu bisa kembali," kata sang kaisar. Pria paruh baya itu meneruskan pekerjaannya, membubuhkan stempel di dokumen-dokumen yang dia setujui.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Keesokan harinya, begitu matahari menyingkap sinar menerangi bumi. Tujuh sudah bersiap menuju istana majikan mudanya, dia tak perlu lagi bersembunyi di balik bayangan untuk melindungi pangeran kecil mereka. Pemuda itu bisa melindungi pangeran kecil itu secara langsung dengan statusnya sebagai guru. Meski tak terlalu banyak yang bisa dia lakukan karena dia bukan dari kalangan bangsawan, tapi dia tetap bisa menantang mereka yang mengganggu majikannya dan mengalahkan mereka semua lewat pertarungan. Setidaknya itu lah yang dia pikirkan.
"Salam kepada matahari kecil, semoga cahaya keabadian selalu menerangi setiap langkah yang anda pilih!" kata tujuh menyapa tuan kecilnya.
Pipi Henry bersemu tipis, dia tak pernah menerima salam seperti itu dari siapa pun. Dia terbuang di sini, dia terkurung dan hanya ada pelayan yang sibuk bergosip tentang dirinya. Tak pernah ada yang memberinya salam seperti itu dan menerima salam untuk pertama kalinya tak buruk juga.
"Ini guru yang akan mengajari anda ilmu pedang dan pengobatan, yang mulia," kata kepala pelayan yang berada di sisi Henry mengenalkan tujuh.
"Mohon bimbingan anda, guru! Jaga saya untuk ke depannya!" kata pangeran kecil kita bersikap tegas padahal terlihat jelas kalau bocah kecil itu gugup dan juga malu bertemu orang asing yang merupakan gurunya untuk pertama kalinya.
"Saya harap anda tidak akan menyerah di tengah jalan, tuan kecil!" kata tujuh memasang tampang tegas.
"Tidak akan pernah, guru!" kata Henry menjawab dengan cepat. Pangeran kecil itu menutup mulutnya setelah sadar kalau dia berteriak saking bersemangatnya dirinya. "Maaf sudah berteriak, guru," katanya meminta maaf.
"Anda tak perlu meminta maaf kepada saya, tuan kecil," balas tujuh tersenyum diam-diam. Senang melihat tingkah polos majikan kecilnya dari jarak sedekat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments