Awan mendung pagi itu seolah ikut bersedih dengan takdir Alona. Seperti awan pun tahu jika hatinya sedang kelabu melihat jenazah kedua orang tuanya di masukan ke liang lahat. Tatapan Alona begitu dingin, tak lagi bisa menangis, mulutnya seperti terkunci, tatapan kosong itu membuat adiknya semakin sedih.
"Ayo, kak. Sudah saatnya kita pulang. Sepertinya pagi ini mau hujan," ajak Lita.
"Kak, ayo!" kembali Lita mengajak Alona pulang.
Langkah demi langkah terasa sangat berat meninggalkan makam. Hati Alona sangat hancur.
Sampai di rumah, peziarah mulai berdatangan berbela sungkawa. Para guru dan teman-teman sekolah Alona datang. Tak ketinggalan juga teman dan guru dari sekolah Lita. Saling ganti bergantian, datang dan pergi para peziarah. Semua orang tahu jika Alona adalah anak yang sangat di banggakan oleh kedua orang tuanya. Kepergian mereka pasti membuatnya terpukul.
"Kasihan Alona dan Lita," ucap salah satu dari tetangganya.
"Yang sangat aku khawatirkan adalah Alona. Dia sangat dekat dengan kedua orang tuanya. Belum lagi dia sekarang akan jadi kepala rumah tangga. Tak bisa kubayangkan betapa beratnya jadi dia."
Bumi pun ikut menangis menemani Alona, hujan deras mengguyur kota saat itu.
***
Satu minggu berlalu, kesedihan Alona dan Lita juga belum reda begitu saja. Mereka masih berdiam diri ketika melakukan aktivitasnya masing-masing. Sekalipun bicara, pasti hanya satu dua kata yang mereka ucapkan. Rumah terasa sepi, tidak ada lagi yang ribut membangunkan mereka sekolah, tidak ada lagi yang membuatkan sarapan untuk mereka.
"Kak, aku kayaknya nanti pulang lebih awal deh, kunci aku bawa aja ya" Kata Lisa.
"Iya," jawab Alona singkat.
Lita tetap mengajak kakaknya bicara. “Ini sudah siang, apa kakak tidak sekolah?" tanyanya.
Helaan nafas panjang terdengar samar-samar. "Aku sekolah, ini sedang bersiap mau mandi. Kamu tolong buat sarapan dulu, ya. Aku sudah masak nasi tadi. Kamu ceplok telur saja, simple,"
"Oke, kak!"
Alona masuk ke kamar mandi. Lalu Lita membuat sarapan sesuai perintah kakaknya. Tidak banyak kata yang terucap, mereka juga sarapan dengan senyap, yang terdengar hanyalah suara perpaduan antara sendok dan piring.
"Aku selesai," Alona membawa piring kotor ke dapur kecilnya. Tak langsung dicuci karena waktu sudah mepet. "Aku berangkat dulu," lanjutnya ketika kembali sambil meraih gitar kecil yang tak lagi ia sembunyikan.
Perilaku kakaknya itu membuat Lita semakin sedih. Ketakutannya tentang kakaknya yang pasti akan membolos untuk mengamen lagi membuat Lita was-was.
Beberapa kali ketika Lita pulang pergi sekolah, ia melihat kakaknya sedang mencari pundi-pundi rupiah dengan suara merdunya di pinggir jalan ataupun di lampu merah.
"Beberapa hari ini aku melihat kakak ngamen di jam sekolah. Apakah dia membolos? Huft, aku tidak bisa membiarkannya!" gumam Lita.
"Kenapa kakak jadi begini? Aku menyayangimu, kak. Kumohon jangan mengecewakan aku," Lita sedih jika kakaknya tidak belajar dengan sungguh-sungguh.
Lita sendiri tidak tahu saja jika Alona baru menyelesaikan hukuman dari sekolah. Makanya dia tidak sekolah dan pergi bekerja.
Sementara itu di pagi hari menuju kantornya, ketika mobil Kenzie berhenti lampu merah, dia merasa seperti kehilangan sosok Alona selama seminggu terakhir. Ia sudah tidak melihat gadis bergitar itu sejak malam mereka bertemu di dekat gang rumah Alona.
"Tuan, dua menit lagi meeting sudah akan dimulai. Sampai kapan kita bolak balik? Sudah enam kali dalam lagi ini kita bolak balik ke lampu merah ini?" tanya Adi, supir pribadi sekaligus asisten lamanya.
"Pak Adi, tolong kamu cari tahu tentang keberadaan seseorang. Sudah seminggu ini aku tidak melihat gadis pengamen di lampu merah ini. Aku akan memberikan waktu sampai nanti siang," perintah Kenzie.
"Si-siap, Tuan!" jawab Adi.
'Rupanya Tuan Kenzie sejak tadi memikirkan gadis itu. Ya Tuhan, sampai segitunya beliau memikirkannya?' batin Adi.
Dalam hati gelisahnya Kenzie, dia terus bertanya tentang Alona yang menghilang. Pikirannya terus tidak tenang karena memikirkan gadis itu.
***
Di sekolah.
Ketika di sekolah, Alona yang biasanya riang, ceria, suka jahil dan suka bernyanyi, kini gadis itu menjadi lebih tenang. Bahkan Alona juga menjauh dari Leon, sahabatnya sendiri ketika mereka berpapasan pun Alona sama sekali tidak menegurnya.
'Alona kenapa, ya? Apa karena aku tidak melayat ke rumahnya waktu orang tuanya meninggal, jadi dia merajuk?' Leon bertanya-tanya dalam hati.
Ingin sekali Leon menegurnya. Akan tetapi, kekasihnya terus saja menempel padanya. Sang kekasih juga seperti enggan melepas rangkulan tangannya di lengan. Saat duduk sebangku saja Alona sama sekali tidak menoleh padanya. Hal itu membuat Leon semakin bersalah.
'Fiks, dia benar-benar marah padaku.' batin Leon.
Tak ada yang berubah dari waktu ke waktu di sekolah. Meski jam kosong sekalipun, Alona tidak membolos lagi dan menggunakan jam kosong tersebut untuk tidur.
Ingin sekali Leon menegur sahabatnya itu. Jiwa Leon juga sudah meronta tak bisa menjauhi Alona, apalagi sampai mendiamkannya. Kebimbangan Leon semakin besar ketika mengingat dua sepupunya.
'Ahh, aku tak tahan lagi!' Leon memberanikan diri untuk bertanya. "Lona, kamu ngantuk, kah?" tanyanya lirih.
Mata yang sebelumnya tertutup, kembali terbuka begitu mendengar ucapan sahabatnya. Alona menegakkan cara duduknya, kemudian menjawab pertanyaan Leon. "Hm, aku bosan saja."
Sebelumnya terlihat lesu ketika Alona tak kunjung menjawab. Tapi ketika dapat jawaban darinya, membuat Leon senang. "Iya, ini jam kosong," sahutnya lirih.
"Eh, apa kamu mau bernyanyi?" Leon mencoba menghibur Alona.
"Hmm, aku sedang badmood, musik pun tak ada. Mana seru bernyanyi," Alona merebahkan kepalanya lagi ke atas meja.
"Siapa bilang tidak ada musik? Nih, aku membawa gitar untukmu," Leon menyodorkan gitar pada sahabatnya tanpa ragu lagi.
Keberadaan gitar itu membuat Alona heran pada sahabatnya. Terlihat jika gitar itu tidak asing di matanya. "Hei, kamu ambil dari mana gitar ini? Ruang musik sekolah?" tanyanya.
Leon mengangguk semangat. "Ayo, bernyanyilah. Aku dan teman yang lain pasti akan menikmati petikan gitarmu yang lembut dan saudaramu yang merdu itu, hm?" kembali Leon menyodorkan gitar yang belum Alona terima.
Ragu-ragu Alona menerima gitar tersebut. Tapi bukan Alona jika sudah menggenggam gitar tidak bernyanyi.
Alona pun mulai bernyanyi~~
Petikan gitar dan suara Alona yang merdu membuat semua kelas ikut bernyanyi dengannya. Lagu-lagu yang Alona nyanyikan memang lagu yang sedang populer. Jadi beberapa teman kelasnya tentu saja hafal lagu tersebut.
Jam belajar telah selesai, kini Alona memulai untuk mencari uang sendiri lagi. Kali itu mencari nafkah bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk biaya hidup dirinya dan adiknya. Juga untuk sekolah mereka berdua.
"Aku harus mengamen lagi. Astaga, tapi gitarku ada di rumah. Akan membuang banyak waktu jika aku pulang lebih dulu," gumam. Alona, di depan gerbang sekolah.
"Haih, tapi jika aku tidak mengambilnya, maka aku tidak bisa kerja,"
"Aghhrrrr! Ini membuatku kesal saja. Sudah jelas tadi gitar aku genggam, kenapa juga aku letakkan di meja depan. Semoga saja gitar kesayanganku itu tidak hilang!"
Bekerja juga membutuhkan modal, dan modal Alona adalah gitar kecilnya. Ia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu mengambil gitarnya.
"Alona!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments