Masa Sekolah

'Wajah tajam dari gadis itu sangat berbeda. Entah mengapa aku malah ingin bertemu dengannya lagi,' batin Kenzie.

***

Sesampainya di depan kelas, ruangannya sudah kosong. Semua siswa sudah pulang karena jam kosong itu memang jam pelajaran terakhir.

"Sial, sudah sepi?" gumam Alona. "Sebaiknya aku segera mengambil tasku, atau aku akan kena hukuman lagi."

Gitar yang sebelumnya ia bawa, sudah berada di posisi semula. Di balik semak-semak dan terbungkus rapi disana. Meski hujan sekalipun, tak bisa membuat gitar kecilnya rusak.

"Apa yang kamu cari?"

Tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.

Bruk!

"Aduh, sialan!" umpat Alona.

Gadis itu menegakkan punggungnya. "Aku mencari tasku. Apa kau melihat Leon?" tanyanya, pada seseorang itu.

Bertanya dimana tasnya, tapi siswi yang menyapa Alona tidak menjawabnya. Siswi itu berjalan melangkah ke arah Alona.

"Apa kamu tidak memiliki rasa malu?" tanya siswi itu.

Tentu saja Alona menjadi bingung dengan pertanyaan itu. "Umm, maksud kamu apa?" tanyanya.

Siswi itu kembali melangkah, sampai kini mereka bisa saling bertatapan sejauh 1 meter saja. "Akan jauh lebih baik kalau kamu menjauhi Leon mulai saat ini!" tegasnya.

"Lah, kenapa? Apa salahnya?" tanya Alona tidak mengerti.

Siswi itu melempar tas milik Alona pada pemiliknya. Amarah yang terpancar di matanya membuat Alona semakin yakin jika siswi itu sedang marah padanya. Namun Alona tidak tahu juga alasan siswi itu marah padanya.

"Hei! Apa masalahmu? Mengapa harus sampai melempar tas seperti ini?" tanya Alona, dia juga ikut menyulut.

"Kau!" siswi itu sampai menunjuknya. "Semuanya gara-gara dirimu. Andai saja kau tidak bolos sekolah, Leon tidak akan di skorsing oleh guru bimbingan!" hardiknya.

Pernyataan itu tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. "Mengapa harus dia? Aku yang membolos, mengapa dia yang di skors?" tanyanya.

"Aku harus mencari guru bimbingan itu," gumam Alona.

Sayangnya, langkah Alona terhenti oleh siswi yang sejak tadi mengganggunya. "Kau tidak akan menemukan guru bimbingan, Alona. Mereka pasti sudah pulang," ucapnya.

"Akan jauh lebih baik jika kau menjauh dari Leon mulai saat itu. Kau hanya akan membuatnya menderita saja!" hardik siswi itu.

Siswi itu menatap tajam Alona, ia menghampiri Alona dan menegaskan jika dirinya adalah orang yang jauh lebih berhak dekat dengan Leon dibandingkan dengan Alona.

"Aku adalah kekasihnya. Jadi aku yang lebih berhak menentukan apa yang terbaik bagi Leon. Kau bukan siapapun baginya, jadi sadarlah, Alona!" desis siswi itu, kemudian pergi begitu saja.

Di perjalanan pulang, Alona nampak sangat sedih. Leon sama sekali tidak menjawab telepon darinya. Ia sangat menyesal jika sahabatnya sejak kecil itu diskors karena dirinya. Bagaimanapun pun juga, Leon ini adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Selalu membantunya di saat ia susah.

'Apa dia marah padaku? Tak seperti biasanya bisa mengabaikan telpon dariku,' gumamnya dalam hati.

'Hmm, untuk apa aku bertanya? Bodohnya diriku tak ini, mana mungkin dia tidak marah padaku. Aku sudah sangat keterlaluan melibatkan dia dalam urusan kenakalanku,'

'Sebaiknya aku minta maaf padanya.'

Sekalinya Leon akan pasang badan ketika apapun hal buruk yang terjadi menimpanya. Jadi Alona berinisiatif akan mengatakan kebenarannya besok pagi ke guru bimbingan supaya mau mencabut hukuman untuk sahabatnya itu dan dirinya juga siap menerima apapun hukuman dari guru bimbingan.

Sore itu, Alona duduk di bawah rindangnya pohon rambutan, menghitung uang hasil bernyanyinya siang tadi dan tiba-tiba teringat akan Bos sombong waktu itu.

"Hufft! Rasanya aku ingin menaikkan dasinya hingga tercekik tadi. Aku sangat berharap dia mendapat pacar pengamen sepertiku biar tau rasa! Hish, menyebalkan!" keluh Alona selesai menghitung uang di sakunya.

Kemudian gadis manis itu memutar lagu menggunakan earphone-nya. Baginya, hanya musik yang mampu menenangkan pikirannya sudah sulit jernihkan.

"Hmmm tenangnya ...." Ujar gadis itu, menyandarkan kepalanya di pohon samping rumahnya.

Bagi seorang Alona, sampai saat ini belum ada hal yang mampu menenangkan dirinya ketika sedang tidak baik-baik saja kecuali sebuah musik. Meski pulang ke keluarga adalah rumah, tetap saja bagi Alona, musik adalah bagian dari kedamaian hidupnya.

***

Pagi hari.

Sang surya menyambut pagi indahnya Alona. Tanpa sarapan, ia berangkat pagi-pagi sekali hanya untuk bisa bertemu dengan guru bimbingannya. Yah, meskipun Alona itu siswi yang cerdas, tetap saja absennya sangat buruk karena ia sering terlambat dan tak pernah absen sering membuat masalah, serta suka membolos.

Tok tok tok...

Suara pintu terketuk. Pintu yang terbuka hanya separuh itu menandakan jika guru bimbingan sudah hadir.

"Selamat pagi," salam Alona.

Beruntung sekali saat itu memang guru bimbingan sudah hadir. Beliau selalu hadir lebih awal daripada guru yang lainnya.

"Iya, masuk!" jawab guru bimbingan.

Klek~

Pintu terbuka sepenuhnya.

"Oh, kamu. Mimpi apa saya semalam, ya? Ada siswi istimewa ternyata yang berkunjung hari ini," ucapnya.

Alona merasa tersentak. Tapi masih pura-pura tenang supaya tidak salah bicara. "Wah ... saya bahkan tidak menyangka saja, ternyata ibu mengistimewakan saya di sekolah ini, hmmm luar biasa, Bu," sahut Alona sambil menyeringai.

Guru bimbingan memberikan waktu untuk Alona menyampaikan apa yang ingin ia katakan sampai datang ke ruang guru bimbingan.

"Kenapa anda memberikan skor pada Leon, Bu? Apa kesalahannya?" tanya Alona. "Apa kesalahannya?" tanyanya lagi.

"Karena membantumu bolos sekolah, apalagi?" jawab guru bimbingan.

Alona menghela napas. "Leon tidak pernah membantu saya bolos sekolah, Bu. Saya yang tidak mendengarkan ucapannya, bahkan Leon juga yang mencegah saya membolos, Bu!" ungkap Alona, mengakui.

"Lalu, kenapa kamu tetap bolos jika temanmu saja sudah melarangmu?" guru bimbingan ini tidak bisa galak atau marah pada Alona.

"Ada hal yang tidak bisa saya katakan sekarang pada anda, Bu," sahut Alona lirih. "Tapi tolong. Tolong anda cabut saja hukuman Leon, saya yang akan terima hukuman itu, Bu," Alona sampai memohon.

Setelah berpikir sejenak, guru bimbingan akan mencabut hukumannya Leon jika Alona mau mengakui kesalahannya di depan para guru dan kepala sekolah. Lalu meminta maaf secara terbuka juga pada Leon di depan seluruh siswa.

"Baik, saya akan melakukan apa yang sesuai dengan anda katakan ini, Bu. Saya akan mengakui kesalahan dan meminta maaf secara terbuka pada guru dan teman-teman sekolah," tanpa pikir panjang lagi, Alona menyetujuinya. "Selamat pagi, saya permisi dulu." pamitnya.

"Alona, kamu ini sebetulnya anak yang cerdas. Tapi kenapa sifat dan tingkah lakumu seperti ini. Ibu harap kamu berubah menjadi lebih baik." gumam guru bimbingan ketika Alona sudah pergi.

Benar, Alona hari itu tetap berada di sekolah karena dalam dua hari kedepannya, dia akan menjalani hukumannya. Alona terlahir sebagai gadis miskin, sekolah mendapatkan bantuan dari pemerintah dan dia juga sering bolos karena harus mencari nafkah. Padahal Alona juga akan bolos sekolah ketika jam pelajaran kosong saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!