Skorsing Pembuat Masalah

Setelah menerima skorsing dari sekolah, Alona berencana menghabiskan waktunya di rumah. Namun ia memikirkan ulang semuanya, sebab tak mungkin ia lakukan bersantai di rumah karena kedua orang tuanya pasti akan sedih jika anaknya di sampai di skors dari sekolah.

Malam hari di rumah.

"Alona~" suara lembut panggilan ayahnya Alona itu membuat hati putrinya tenang.

"Iya, ayah," sahut Alona. "Tunggu sebentar, aku akan datang ke situ," katanya.

Sampai di depan ayahnya, "Apa ayah membutuhkan sesuatu? Aku akan ambilkan untukmu, ayah," tanyanya.

"Ah tidak. Hmm, ayah hanya ingin ngobrol sebentar dengan kamu, kemarilah. Sudah lama sekali kita tidak ngobrol berdua seperti ini, ya ...." Jawab ayahnya.

Alona duduk di samping ayahnya. Gadis itu merangkul lengan ayahnya dan menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah. "Ada apa, ayah?" tanyanya lirih.

"Ayah merasa tidak enak perasaanya ini. Hmm, apa kamu baik-baik saja di sekolah?" ternyata ayahnya merasakannya.

"Eemm ... iya, ayah. Aku baik-baik saja di sekolah," jawab Alona, berusaha untuk tidak gugup. "Um, tumben sekali ayah menanyakan sekolahku. Memangnya, ada apa, ayah?" lanjut bertanyanya.

"Syukurlah kalau begitu. Eh, memangnya ayah tidak boleh menanyakan sekolahku, ya?" perasaan seorang ayah sangat peka jika terjadi sesuatu pada putri kesayangannya.

"Boleh, dong!" Alona memeluk lengan ayahnya dengan erat.

Helaan nafas pelan terdengar ketika Alona memeluk ayahnya. Sepertinya ayahnya sedang tidak baik-baik saja, tapi Alona takut untuk menanyakannya.

"Alona," sebut sang ayah dengan lembut.

"Iya, ayah?" sahut gadis manis itu.

"Anda saja ayah lebih dulu tiada nanti, kamu harus tetap mengejar cita-citamu. Jangan sampai kamu gagal menjalani pendidikan. Pendidikan itu sangat penting, Nak," kaya sang ayah.

Deg!

Seketika jantung Alona seperti berhenti sedetik, ia melepaskan pelukannya. Menatap ayahnya dengan tatapan heran. "Apa-apaan ini, ayah?" tanyanya.

"Aku akan menjadi putri ayah yang bisa ayah banggakan. Aku berjanji, aku pasti bisa mengangkat derajat ayah dan ibu. Ketika aku lulus nanti, Aku yang akan sepenuhnya menanggung biaya hidup kalian dan juga sekolahnya Lita," ucap Alona, menggenggam erat tangan ayahnya.

"Alona, ayah hanya ingin melihat kamu sukses di kemudian hari. Takutnya ayah tidak bisa menyaksikan kesuksesanmu, ma—"

"Ayah ini ngomong apa?" Alona menyela ucapan ayahnya. "Ayah pasti akan menemaniku sampai aku sukses nanti. Ayah sehat-sehat saja, jika ayah lelah ... Ayah tak perlu bekerja lagi."

Seperti biasa Alona memang sangat dekat dengan ayahnya. Bahkan untuk ngobrol berjam-jam pun mereka berdua bisa betah sampai pagi lagi. Alona juga dekat dengan ibunya, tapi tidak sedekat dia dengan ayahnya.

Malam itu Alona meminta izin kepada ayah dan ibunya untuk pergi membelikan adiknya nasi goreng.

"Jangan pulang malam-malam, begitu sudah kebeli langsung pulang, ya!" seru ayahnya.

"Iya, aku sudah sangat lapar sekali. Jika kakak mampir mampir dulu, takutnya cacing di perutku sudah tidak bisa sabar lagi," Lita pun tak ingin rugi.

Alona mengangkat jempol tangannya, dengan senyuman ia pergi berjalan di keramaian hiruk-pikuk di jalanan kota. Sekitar 5 menitan, barulah Alona sampai di gerobak tukang nasi gorengnya.

"Bang! Biasa, satu porsi yee ...." pesannya.

Menunggu sedikit lama karena saat itu Abang penjual nasi gorengnya memiliki pelanggan cukup banyak. Alona harus mengantri sampai setengah jam kurang sedikit nasi gorengnya baru selesai.

Saat perjalanan pulang, Alona tak sengaja bertemu kembali dengan pria yang membuatnya kesal siang kemarin. Namun pada saat berjalan, Alona belum melihat keberadaan pria itu.

Dari dalam mobil, pria itu melihat Alona dan berniat menjahilinya. Kenzie, nama pria itu selalu memandang rendah orang yang berada di bawahnya. Namun ia memiliki ketulusan yang luar biasa jika sudah menyangkut perasaan.

"Itu gadis yang kemarin, bukan?" gumamnya. "Hm, benar saja. Dialah gadis kemarin itu,"

Sengaja Kenzie melempar botol bekas minumnya begitu Alona melewati mobilnya. Kesengajaan itu membuat Alona kesakitan, sebab di dalamnya masih ada isi air sekitar setengah dari botolnya.

"Aduh!" jerit Alona, sambil mengusap kepalanya.

Langkah Alona terhenti. "Botol mineral? Sialan!" umpatnya. "Siapa yang buang sampah sembarangan, woy!" teriaknya menoleh ke kanan kiri.

"Kurang ajar memang, berani-beraninya membuang sampah tepat di kepala orang begini,'

Alona terus mengomel seperti ibu kos yang anak kosnya nunggak membayarnya. Padahal, dari dalam mobil sana Kenzie sedang tertawa jahat melihat ekspresi kesal Alona.

"Rasakan pembalasanku. Itu hanya botol mineral saja, bagaimana jika aku serius membuatmu menyesal dengan kelancanganmu itu?" desis pria berusia 30 tahun itu.

Seperti cukup melihat Alona terus kesal dan hendak pergi, barulah Kenzie membuka kaca mobilnya. "Hei!" teriaknya.

Tahu ada yang berteriak, Alona langsung menoleh ke sumber suara. Tak menyangka apa yang ia lihat di depan matanya. "Kamu?" Alona menganga.

Kenzie turun dari mobilnya. Kaki jenjangnya terlihat begitu menarik, sehingga membuat pria tampan itu terlihat tinggi nan gagah.

"Hai," sapa Kenzie dengan senyum liciknya.

"Dih!" Alona memalingkan wajahnya.

"Apa kamu mau menangis?" ledek Kenzie.

Alona kembali menatap Kenzie sengit, "Memangnya, siapa aku? Anak kecil yang dilempar botol seperti aja nangis? Sorry!" elaknya.

"Masa?" Kenzie kembali meledek.

Jika saja Alona sedang dalam mood baik, ia akan meladeni pria yang baginya menyebalkan itu. Namun Alona baru saja mendapatkan masalah di sekolah, jadi ia tak bisa membalas perbuatan Kenzie padanya.

"Huft, menyebalkan!" cecar Alona, pergi begitu saja.

"Eh, kenapa dia tidak melawanku?" gumam Kenzie.

Kenzie terus menatap kepergian Alona, berharap banyak jika gadis itu mau menoleh dan kembali berdebat dengannya. Sayangnya, harapan itu tak terjadi, pria ini mulai tertarik dengan Alona.

"Halo, apa kau mendengarku?" pria itu merogoh ponsel di sakunya. "Cari tahu tentang gadis itu, segalanya." perintahnya melalui telepon. Kemudian mematikan teleponnya setelah selesai memerintah.

Kenzie masih saja membuntuti Alona. Melihat tingkah lucu Alona yang saat itu berjalan seperti anak kecil yang sedang melakukan tugas ibu untuk berbelanja dan mendapatkan uang sisa. Bernyanyi seraya montang mantingkan nasi gorengnya dengan riang.

Ketika Alona melewati sebuah gang, dia mendengar suara minta tolong yang amat lirih. Alona si tukang penasaran itu pun langsung berlari mengejar suara tersebut.

"Hm, dimana suaranya tadi, ya? Kenapa tiba-tiba hilang?" gumamnya.

Ketika suara itu semakin jelas, akhirnya Alona menemukan sumber suara. Rupanya suara itu adalah suaranya Leon. Dia sedang bersama dengan dua orang dewasa yang raut wajahnya menunjukan sedang dipenuhi dengan amarah.

Segera Alona berlari ke arahnya, tanpa pikir panjang lagi, ia memukul dan menendang dua orang itu dari belakang. Sangat brutal sekali ketika memukul dan menekuk lengan salah satu dari dua orang itu.

"Loh, Alona?" Leon terkejut. "Alona, lepaskan mereka!" serunya.

Alona menyeritkan alisnya. "Lah, mereka kan sudah berbuat jahat padamu, Leon. Masa dilepaskan begitu saja. Tidak, aku tidak mau," katanya.

"Alona, lepaskan mereka!" Leon kembali memerintah, dengan berteriak.

Mendengar teriakan Leon, terpaksa Alona melepaskan keduanya. Leon juga memberikan penjelasan bahwa kedua orang itu adalah kakak sepupunya yang sedang memberinya pelajaran karena dia di skors dari sekolah.

"Kalau begitu, seharusnya kalian memarahiku. Leon tidak bersalah, dia di skors juga gara-gara melindungiku, maafkan aku ...." ucap Alona lirih.

Alona belum melihat kedua pria itu, tapi dia sanggup meminta maaf karena memang itu kesalahannya. Namun apa yang ia dapatkan?

Plak!!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!