“Kenapa kamu tidak pulang saat libur?” Tanya ibuku.
Aku memindahkan ponsel ke telinga sebelah dan menarik kunci apartemen dari tas.
“Yah, aku sibuk akhir-akhir ini.”
“Bagaimana pekerjaanmu? Apa semuanya baik-baik saja?”
“Ya, sejauh ini baik-baik saja. Ibu, sudah dulu ya. Bye.”
Aku memutuskan percakapan dan menyimpan ponsel ke saku seragam rumah sakit. Sejauh ini aku menyukai pekerjaanku.
Aku tersenyum akhirnya aku bisa istirahat setelah pekerjaan yang melelahkan. Aku menendang sepatuku hingga lepas dan menaruh tasku di konter. Aku mengganti seragam rumah sakitku dengan celana training dan juga hoodie. Aku baru saja menarik hoodieku melewati kepala ketika terdengar sebuah ketika dari pintu depan.
Aku segera membuka pintu apartemenku dan pria itu begitu jangkung. Aku tidak begitu menyadari betapa tingginya Alkins, tapi kini saat dia berdiri di ambang pintuku, memenuhinya dia tampak amat sangat tinggi. Kalau dia menarikku dalam pelukan. Bisa-bisa telingaku menempel di dadanya. Kemudian pipinya akan nyaman berada di puncak kepalaku.
Jika dia menciumku, aku bakal terpaksa mendongakkan kepala sambil berjinjit. Sesuatu telah terjadi padaku seperti dadaku berkepak-kepak. Aku tidak begitu menyukai karena itu berarti tubuhku mulai menyukai Alkins. Sesuatu yang jarang terjadi padaku.
Untuk pertama kalinya selama dua puluh tujuh tahun aku menyukai pria. Biasanya aku hanya mengangguminya saja lalu aku lupa. Namun kali ini sepertinya rasa ini tidak biasa. Kehadiran Alkins begitu kuat pengaruhnya terhadapku.
Aku hanya berharap otakku tidak menyusul menyukainya juga.
“Ryan butuh bantuanmu,” kata Alkins.
Aku meringis melihat wajah Alkins. Sama seperti biasa dingin namun tampan. Aku tetap diam karena bibirku seketika tidak bisa menjawab.
“Ada kegemparan di dapurnya,” ucapnya lagi yang membuatku mengekori ya dari belakang.
Aku menghembuskan napas lelah. Aku belum mandi dan aku belum makan malam namun aku digiring oleh tetanggaku untuk membereskan kekacauannya.
Aku seharusnya tidak berpikir apartemen Ryan akan memberiku gambaran sekilas tentang sikapnya. Namun kekacauan di dapur yang seperti kapal pecah membuatku yakin bahwa Ryan bukanlah sosok yang selalu berbenah.
“Alkins, kamu membawa Luna. Bagus, jadi bisakah kamu membantuku. Aku tidak mau apartemenku terbakar.”
Aku melihat kobaran api sekitar wajan, Ryan yang tampak panik dan Alkins yang tampak tenang sungguh kontras yang luar biasa.
Melihat kepanikan Ryan aku segera membantunya memadamkan api. Setelah padam api, Ryan mengucapkan terima kasih dan memujiku. Aku hanya tersenyum. Aku mengamati banyak bahan makanan yang tergeletak naas di konter. Aku langsung membersihkannya.
“Biar aku saja,” ucap Ryan. “Kami berencana ingin memasak tapi mala petaka yang kami dapatkan.”
“Aku bisa memasak untuk kalian itu juga kalau kalau kamu mengizinkan,” ucapku yang begitu saja keluar dari bibirku.
Tentu saja Ryan sangat bersemangat, aku juga merasa senang bisa mendapatkan makanan gratis. Aku, Ryan dan Alkins langsung membereskan sisa-sisa kekacauan.
Setelah itu aku mulai memasak capcai. Ryan membantu untuk memotong wortel sedangkan aku berusaha membuka kornet kemasan. Ah, itu sungguh sangat sulit. Lalu tanpa kata Alkins langsung menarik kornet yang aku pegang lalu membukanya dengan gampang.
Aku sempat terpesona. Hal biasa yang membuatku terkesan. Aku seperti orang linglung begitu ia menyerahkan kornet yang sudah dibuka itu.
“Terima kasih.”
Aku mulai memotong-momong bahan lainnya. Aku juga mencuri pandang tentang apartemen Ryan. Satu-satunya yang membuatku salah fokus adalah deretan rak buku. Buku-buku bertema penerbangan.
“Luna, apakah seperti ini cara memotongnya?” Tanya Ryan.
“Itu kebesaran,” ucap Alkins.
“Aku rasa tidak.”
Aku melihat pertengkaran lucu antara Alkins dan Ryan. Aku begitu terhibur sampai lupa bahwa aku sedang memotong sawi. Tiba-tiba aku merasakan perih di tanganku. Aku langsung meringis dan melihat jariku.
“Luna, kamu kenapa?” Tanya Ryan.
“Aku tidak…”
Alkins langsung mengulurkan tangan dan menyambar tanganku yang tergores pisau. Dengan satu gerakan tangkas, ia menarikku ke arah wastafel lalu air mengalir ke ujung jariku. Darah yang keluar ikut mengalir ke bawah ke bawa air yang mengalir.
Aku begitu dekat dengan dadanya. Karena posisi Alkins di belakangku. Seluruh tubuhku berubah kaku. Aku bisa merasakan detak jantungnya. Ah,bukankah itu detak jantungku.
Kalau aku menoleh pasti bibirnya akan mengenai pipiku.
“Kamu tidak apa-apa, Luna?”
Suara Ryan membuat Alkins menjauh dariku dan kini giliran Ryan yang berada di dekatku, mengulurkan tangannya untuk menyentuh tanganku. Dengan sigap dia mengeringkan jariku yang terluka lalu ia memplester dengan hati-hati.
“Terima kasih,” ucapku.
Setelah acara masak yang penuh dengan drama akhirnya kami bisa menyajikan di ruang makan. Terlihat Ryan yang begitu antusias sedangkan Alkins seperti biasa. Aku izin ke kamar mandi terlebih dulu, menenangkan hatiku.
Begitu aku masuk ke kamar mandi, aku langsung mencuci wajahku. Hembusan Alkins masih terasa di pipiku. Aku yakin pria itu panik saat melihatnya ada darah di jariku itu terbukti dari sikapnya.
“Apakah aku harus berbahagia karena itu? Alkins mulai menyukaiku? Aku harus segera bergegas.”
Aku langsung merapikan rambutku dan keluar dari kamar mandi. Secara tidak sadar aku mendengar Ryan dan Alkins berbicara satu sama lain.
“Mengapa dengan capcainya? Kamu terus mengeluh betapa panasnya, tapi kamu begitu bersemangat memakannya,” ucap Ryan.
“Tidak tahu, ini sangat panas.”
“Apakah kamu minum malam tadi? Bilang saja ini sangat enak kenapa harus panas.”
Aku melihat Alkins langsung mematikan tombol putar yang ada di kipas begitu kipas yang berdiri di tengah-tengah mereka berhenti mengarah ke arah Alkins.
“Apa yang kamu lakukan?” Protes Ryan.
Ac di apartemen Ryan mati dan satu-satunya sumber penyejuk adalah kipas angin tentu saja pria itu marah ketika Alkins mengarahkan kipas itu hanya untuknya. Aku melihat Alkins tidak menjawab dan aku langsung berjalan ke arah mereka.
Mengambil tempat di samping Ryan. Itu akan jauh dari nyaman dari pada duduk di samping Alkins.
“Luna, masakanmu sungguh sangat enak.”
“Benarkah?”
“Itu benar, iyakan Alkins.” Melihat Alkins yang tetap bungkam membuat Ryan sedikit menggerutu. “Hei setidaknya katakan sesuatu.”
Ryan mengalihkan perhatian dari Alkins dan menatapku.
“Dia memang tidak banyak bicara.”
“Ya, aku bisa melihatnya.”
“Dia terlihat sangat di luar namun meskipun begitu dia sangat suka hal-hal lucu. Setiap kali dia melihat kucing, dia pasti…Argghhh.”
Aku melihat Ryan mengerang kesakitan. “Ah, tidak-tidak. Luna, kamu harus makan.”
Aku melihat wajah kesal Ryan lalu aku menuruti ucapan Ryan untuk segera makan dan segera pergi dari sini. Karena berada di dekat Alkins tidak baik untuk kesehatan jantung.
Capcai ini masih panas dan ditambah lagi udara panas Karen ac mati semakin lengkap lah.
“Ah, ini masih panas,” ucapku.
Lalu beberapa detik kemudian belaian rambutku bergoyang. Aku merasakan embusan angin yang sejuk.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu bilang panas,” ucap Ryan saat melihat Alkins mengarahkan kipasnya padaku.
“Aku kedinginan sekarang.”
Aku langsung menatap Alkins lalu menatap Ryan. Kami berdua merasa aneh dengan sikap Alkins.
“Ada apa dengannya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Quenby Unna
Aku bisa membayangkannya
2023-06-08
0
auliasiamatir
aku kok kadi baper bayangin aalkins ya
2023-06-03
1
Pink Blossom
alkins sprt'y suka bgt yaa atw ad cita² pngn jd pilot🤔🤔
2023-05-07
1