3. Sebelum Kamu dan Aku Menjadi Kita

Sekarang jam 8.30 pagi, aku baru saja turun dari tempat tidur dan berdiri di depan cermin. Aku mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Melihat apakah ada pesan di sana dan rupanya seperti biasa tidak ada satu pun pesan yang datang.

“Ah, apa yang aku harapkan.”

Aku menyetel musik kesukaanku. Menari adalah cara ampuh untuk mengusir pikiran-pikiran negatif. Aku terus bergerak menari sembil membereskan tempat tidurku. Setelah itu aku mengambil cucian kotor yang siap aku giling di mesin cuci. Ah, liburku kali ini aku buat untuk beres-beres apartemen.

Mencuci baju sudah, menyapu sudah, ah mandi yang belum. Aku mencium bauku sendiri dan aku harus benar-benar mandi. Namun suara ketukan dari pintu membuatku mengurungkan niat untuk mandi.

Aku segera berlari untuk membuka pintu.

“Hai, Luna.”

“Hai,” ucapku pada Ryan.

“Sepertinya kamu baru saja melakukan olahraga.”

“Apa?”

Ryan memberi kode pada dahiku dan refleks aku langsung menyentuh dahiku. Aku merasakan basah di sana. Ah, keringat itu membuatku malu.

“Aku ingin mengajakmu makan siang hari ini, jika kamu tidak keberatan.”

“Apa? Makan siang?” Tanyaku.

Apakah aku tidak salah dengar. Kami tidak terlalu akrab meskipun kami sering menyapa jika bertemu tapi bukanlah itu hanya etika jika bertemu tentangga.

“Ya, ada restoran dekat sini yang baru buka. Kebetulan aku mempunyai tiket gratis. Aku ingin mengajakmu sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau menampung Alkins yang sedang mabuk kemarin.”

Aku berdehem dengan gugup. “Baiklah.”

“Kita akan bertemu lagi sebelum makan siang.”

Aku mengangguk dan menutup pintu begitu Ryan pamit. Aku langsung berlari ke kamar mandi dan menatap diriku sendiri di cermin.

“Apa yang baru saja aku katakan. Aku bersdia makan siang bersama Ryan dan pastinya ada Alkins di sana. Aku pasti sudah gila,”

Jujur saja ini adalah makan siang pertamaku bersama seorang pria. Meskipun itu hanya dengan tetangga. Aku tidak pernah sekalipun makan siang di luar dengan orang lain. Aku sering makan luar sendirian.

Aku sangat bingung dan gugup. Bingung dengan apa yang aku pakai nanti dan gugup dengan apa yang harus aku lakukan nanti. Aku tidak mau dikatakan wanita aneh.

“Apa aku sebaiknya tidak ikut saja. Aku beri alasan saja kalau aku tidak bisa pergi karena ada perlu mendadak.”

Semakin aku memikirkan semakin aku menjadi gila.

“Ayo lah Luna itu hanya makan siang biasa tapi masalahnya pada Alkins. Pria itu, aku tidak bisa dekat-dekat dengannya. Pria itu terlalu berbahaya.”

Aku mengambil sikat gigi dan juga pasta gigi. Aku menggosokkan gigiku dengan lembut. Lalu sekelebat bayangan Alkins di depanmu membuatku merasakan hal samar dalam hatiku.

“Tatapan itu,” ucapku.

...…...

Aku celingukan saat berada di kafe. Aku mengamati sekeliling dan menemukan Ryan dan Alkins sedang membicarakan sesuatu. Aku berjalan ke arah mereka dengan pelan dan gugup. Ah, sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku yang berjalan ke arah mereka.

Aku dapat mendengar Ryan melemparkan pertanyaan pada Alkins.

“Jadi semuanya baik-baik saja. Bukan wanita kekanakan-kanakan ya, kamu lebih suka wanita yang lebih dewasa,” ucap Ryan.

Aku melihat ekspresi Alkins yang sepertinya tidak menyukai topik pembicaraan Ryan. Alkins dengan wajah datarnya dan juga dinginnya.

“Itu memang sifatnya,” ucapku lirih tanpa sadar.

“Huh? Hai Luna, kamu sudah datang.”

Aku mengangguk dan duduk di samping Ryan. Aku menatap Alkins sekilas. Pria itu hanya melirikku sekilas tanpa berminat menyapaku. Bahkan ketika Ryan memperkenalkanku.

“Baiklah karena kita semua sudah datang, mari kita bersulang.”

“Bersulang.”

Aku minum jus jeruk sementara Alkins dan Ryan minum cola.

“Luna, jangan sungkan-sungkan.”

“Baiklah,” ucapku.”

“Mari bersulang untuk itu.”

Aku menyuapkan pesanan yang sudah di pesan Ryan. Aku mencoba untuk bersikap biasa dan santai. Tapi memang dasar kau yang tidak pernah makan siang bersama orang asing dan lawan jenis tanpa sadar tanganku gemetaran.

Itu hal biasa yang aku alami ketika berada di tempat asing dan dengan orang asing.

“Ini sangat memalukan.”

“Aku akan ke kamar mandi dulu,” pamit Ryan.

Sepeninggal Ryan, suasana menjadi sunyi dan aku tidak menyukai itu. Aku memang tidak suka keramaian tapi aku lebih benci dengan kesunyian.

Aku sedikit melirik ke arah Alkins. Aku mengamatinya sampai mataku terjatuh pada tangannya yang sedikit memar. Ah, itu pasti karena ulahku. Aku menendang tangannya untuk melepaskan diri kemarin.

Aku merasa bersalah.

Aku mencoba mencari waktu yang tepat untuk meluruskan semuanya dan meminta maaf. Aku mencuri pandang-pandang dengan Alkins dan sialnya mata kami bertabrakan dan itu membuat suasana menjadi awrkdawrkd.

“Itu tanganmu…”

Aku mencoba menatap Alkins dan pria itu menatapku juga.

“KAmu pingsan di lorong apartemen semalam saat aku tiba. Aku tidak tahu siapa kamu tapi kamu mencoba menarik kakiku jadi aku berusaha melepaskannya. Tanganmu hanya memar jadi kompres saja dengan air es. Aku membantumu untuk masuk ke dalam apartemen bukan untuk niat jahat lalu ponselmu berbunyi dan itu dari Ryan jadi aku mengangkatnya dan memintanya untuk menjemputmu. Maaf jika aku kurang sopan.”

Rahang Alkins menegang.

“Mari kita berkenalan dengan cara yang benar,” ucapku.

“Siapa namamu?” Tanyanya.

“Luna,” ucapku. Aku benci suaraku. Kedengarannya terlalu lemah dan bergetar.

Dia mengangkat dagu sedikit.

Aku mendengar langkah kaki mendekat dari belakang. Aku bisa memastikan itu adalah Ryan tanpa harus menoleh.

“Apa yang kalian bicarakan tanpaku?” Tanya Ryan.

Aku tidak menjawab begitu pula dengan Alkins, pria itu malah memandangku. Benar-benar memandangku. Matanya menemui mataku dan terus menatap tajam.

“Tidak ada,” ucapnya singkat.

Setelah makan siang kami semua kembali ke apartemen. Kami masuk ke dalam lift. Cara Alkins mundur selangkah sambil mempertahankan kontak mata membuatku agak tidak nyaman.

Alkins akhirnya memutuskan kontak mata dan mengeluarkan ponsel dari saku. Aku memanfaatkan untuk pergi ke bagian dalam lift. Jadi posisi kami, aku berada di tengah-tengah mereka paling dalam. Sementara Alkins dan Ryan berada di depanku.

Dari posisiku aku dapat memperhatikan Alkins. Aku menyimpulkan bahwa penampilan Alkins benar-benar bertolak belakang. Rambutnya seolah tidak bisa memutuskan apakah ingin berwarna cokelat atau pirang.

Kepribadiannya membingungkan, acuh tak acuh sehingga tidak peka. Sangat dingin dan pendiam.

Sikap tubuh Alkins yang santai bertentangan dengan tatapan galak yang aku lihat. Matanya seolah tidak bisa memutuskan apakah ingin melihat ponsel atau menatapku, karena silih berganti menatapku dan ponsel beberapa kali sebelum pintu lift terbuka.

Aku berhenti menatap Alkins dan menjadi terakhir yang keluar dari lift.

“Kamu shift apa hari ini, Luna?” Tanya Ryan.

“Aku libur.”

“Sampai besok?”

“Ya.”

Dan sepanjang jalan ke lorong ke apartemen, aku dan Ryan terus berbicara sementara Alkins tidak berbicaera sepatakh kata pun,.

Terpopuler

Comments

Quenby Unna

Quenby Unna

Wah2

2023-06-08

0

Rosee

Rosee

semangat thoor, jangan lupa mampir ya makasih

2023-05-05

0

Han Sung hwa

Han Sung hwa

Diam2 bae tu orang

2023-04-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!