When We First Met

When We First Met

1. Pria Aneh

Aku terbiasa sendiri, melakukan hal sendiri. Mandiri? Ya, orang menyebutku perempuan mandiri dan beberapa orang menyebutku menyedihkan. Mungkin kata menyedihkan lebih cocok denganku.

Tinggal di kota orang lain, tidak punya sanak saudara dan tidak ada sandaran. Aku hanya berdiri di atas kakiku sendiri. Itu lah aku, Luna namaku. Anak rantauan yang bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta.

Segera seusai shift sore, seperti biasa aku pulang dengan berjalan kaki. Udara malam ini benar-benar dingin. Sampai aku harus merapatkan jaketku. Jarak antara rumah sakit tempatku bekerja dan apartemenku tidaklah jauh, namun malam ini begitu terasa sangat jauh karena harus menghadapi badai. Anggap aku terlalu lebai.

Ah, aku harus segera mandi air hangat malam ini. Aku berhenti di depan apartemenku dan ada orang pingsan bersandar di pintu apartemenku.

Pria itu pingsan dengan kaki terkangkang, punggungnya tersandar pada pintu dan kepalanya menunduk.

Aku berjongkok di depannya. Mengamatinya lamat-lamat. Sepertinya dia orang baru, karena aku tidak pernah bertemu dengannya.

“Permisi,” kataku.

Pria itu tidak bergeming. Aku melihat keadaan sekitar dan keadaan sepi. Aku menghembuskan napas panjang dan kembali melihat pria aneh itu.

Aku mengulurkan tangan untuk mengetuk bahunya. “Bisakah kamu bergeser? Aku ingin masuk ke apartemenku.”

Pria itu bergerak, perlahan membuka mata dan menatap langsung ke arah wajahku. Tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya dengan wajah yang berkerut. Dia mengangkat satu tangannya dan menusuk dahiku dengan jemarinya. Kemudian dia menurunkan tangan, memejamkan mata dan kembali tidur bersandar di pintu.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan langsung berdiri. Aku membuka tasku dan mengambil kunci apartemenku di sana. Kemasukan kunci itu ke lubang dan mulai membuka pintu. Perlahan pria itu ikut jatuh ke belakang. Aku tidak langsung membukanya secara lebar. Aku membukanya perlahan-lahan.

Setelah terbuka setengah, aku mencoba masuk ke dalam apartemenku sendiri. Tangan kiriku terus memegang knop pintu sambil menahan pintu setengah tertutup agar pria itu tidak terbanting ke dalam apartemen.

“Ya, ampun dia berat banget.”

Aku merasakan ada pergelangan kakiku dicengkeram. Aku langsung terkejut dan menurunkan tatapanku.

“Lepaskan aku,” seruku.

Pria itu mendongak menatapku, cengkeramanya yang kuat membuatku terjatuh dan pintu apartemenku terbuka.

“Lepaskan aku!” Aku menarik kembali kakiku sambil berjuang masuk.

Namun lagi-lagi pria itu menangkapku dan posisi kami sungguh tidak enak dipandang. Dia berada di atasku.

“Kamu bukan Ryan.”

“Bukan, memang bukan.”

Lalu pria itu kembali pingsan dan sialnya dia berada di atas tubuhku. Tubuhku langsung kaku. Jantungku berdebar tak karuan. Aku ketakutan. Tanganku gemetar. Butuh waktu beberapa menit agar aku bisa menguasai diriku sendiri dan berpikir jernih.

Aku menelan salivaku sendiri dan menggeser tubuh berat pria itu dari atasku. Ia terjatuh ke samping dengan posisi terlentang. Dengan samar aku mendengar suara orang lain dari lorong. Aku panik dan takut. Apa yang akan dipikirkan orang lain terhadapku.

Entah otakku bagaimana tapi yang jalas kupegang kedua tangannya dan kuseret ke dalam. Setelah tubuhnya cukup masuk jauh aku langsung menutup pintu apartemenku.

“Ya ampun, aku pasti sudah gila.”

Setelah pria itu tidur pulas di lantai, aku meninggalkan dia dan segera mandi. Aku benar-benar lelah malam ini dan butuh air hangat.

Setelah mandi, aku mengambil air botol dan meminumnya hingga tandas. Akun sedikit melirik pria itu. Biasanya aku akan gugup jika ada orang tidak dikenal berada di apartemenku namun kali ini aku tidak punya firasat khawatir kecuali pria itu tiba-tiba berada di dekatku.

Ketika aku baru saja ingin ke kamar langkahku terhenti. Pria itu bukan saja sudah bangkit dari lantai. Sekarang dia duduk di sofa. Ia menunduk. Aku tidak tahu apakah dia tertidur atau sedang memulihkan kesadarannya.

Aku berjalan perlahan kebetulan kamarku dekat dengan ruang tamu.

“Kamu,” ucapnya.

Saat pertama kali mendengarkan suaranya. Jantungku terasa berdetak sangat cepat. Suaranya seakan bertalu-talu di telingaku.

“Namaku Alkins,” katanya dengan suara melantur.

Aku langsung berlari ke kamarku namun sebuah tangan mencengkeram tanganku. Aku ditarik dengan kuat ke arahnya dan ambruk ke sofa bersamanya. Aku buru-buru berusaha melepaskan diri.

“Jangan bergerak,” katanya dengan suara memohon sambil memegang tanganku. Mencoba menarikku ke sofa bersamanya.

Aku berusaha membebaskan tangan dari cengkeraman kuatnya.

“Lepaskan aku!” Aku berhasil keluar dari cengkeremannya dan ia masih ambruk di sofa.

Lalu aku terpaku di tempatku saat mendengar seseorang itu menangi. Orang itu adalah pria itu. Aku tidak mengenal pria ini tapi keterpurukannya membuatku susah untuk berpaling. Aku menatap Alkins dan pikiranku seolah berperang. Sebaiknya kubiarkan saja dia sendirian dan memberinya privasi karena aku tidak ingin terlibat masalah dengan orang lain. Atau aku terus berada di sampingnya.

Tapi entah mengapa aku merasakan simpati yang ganjil pada Alkins. Aku berjongkok dan kuulurkan tanganku untuk menyentuh bahunya.

“Kamu tidak apa-apa?”

Lalu tangannya terulur dan menggapai tengkukku dan dia menarikku ke arahnya. Aku dapat merasakan benda kenyal telah menyentuh bibirku. Seketika mataku langsung membulat dengan sempurna. Dengan spontan aku langsung mendorong tubuh Alkins dan aku berlari ke kamarku. Menutup pintu dan menguncinya.

Aku langsung beringsut di balik selimut. Dadaku bergemuruh, jantungku berdetak tak karuan. Napasku tersengal. Tanpa sadar tanganku menyentuh bibirku sendiri. Rasa itu begitu asing, aku masih dapat merasakannya.

“Bibirku sudah tak suci lagi,” ucapku lirih.

Pertama kali dalam hidupku. Ciuman pertamaku diambil oleh pria asing yang tak aku kenal. Padahal ciuman pertamaku aku khusus untuk suamiku kelak.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Aku berguling-guling ke sana-ke sini layaknya anak kecil.

“Semoga ini mimpi. Semoga ini mimpi,” rapalku meyakinkan diriku sendiri.

Aku mencoba untuk menutup mata. Tapi entah kenapa rasanya sangat sulit sekali. Pikiranku berkeliaran ke mana-mana. Aku tidak suka dengan itu. Aku mengerutkan keningku berusaha untuk tidur. Bahkan aku menghitung domba-domba yang ada di benakku agar aku cepat terlelap.

“Aku ingin tidur.”

Dengan samar aku mendengarkan suara deringan dari luar. Suara itu jelas sekali.

“Apakah itu suara ponselnya?”

Jelas sekali bahwa sepertinya pria yang bernama Alkins itu enggan menjawab panggilan tersebut. Karena sedari tadi deringan ponsel itu masih terdengar.

Aku segera bangun dari ranjangku. Membuka pintu dan menyembulkan kepalaku. Mengawasi keadaan sekitar. Sepertinya bukan Alkins yang enggan menjawab pertanyaan itu namun pria itu rupanya sedang tertidur.

Perlahan aku mendekati Alkins guna untuk melihat siapa si penelepon, barangkali dia bisa membantuku untuk membawa Alkins pergi dari apartemenku.

Tak sengaja aku melihawa wajah Alkins. Meskipun tertidur, entah bagaimana dia masih tampak sedih. Alisnya bertaut, napasnya tidak teratur, tidak kunjung berganti dengan pola yang tenang.

Aku menggelengkan kepala guna agar aku bisa fokus pada tujuanku. Aku memperhatikan ponsel Alkins yang berada di sakunya. Aku segera mengambilnya dengan tenang dan rupanya si penelepon adalah Ryan.

Ryan adalah tetangga apartemenku.

“Ah, jadi kau teman mas Ryan.”

Terpopuler

Comments

Lusia

Lusia

bukannya lapor polisi dulu ada orang asing. malah mandi

2024-04-21

0

Septichan16_Canon

Septichan16_Canon

aku mampir thor, ayo kt saling dukung

2024-02-16

1

Quenby Unna

Quenby Unna

tetangga masa gitu

2023-06-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!