Eiwa berdiri di belakang jendela, menatap pemandangan luas kota Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung dan rumah. Satu tangan berada dalam saku celananya, ia menghela napas dalam-dalam memantapkan isi hatinya.
“Lo tau, kalau pernikahan ini bukan sekedar tanggung jawab, kan, Wa? Gue ini tahu, alasan kenapa selama ini lo nggak mau nikah. Karena Erlina alasannya, hati kamu terpaku sama satu cewek dan parahnya dia udah nggak ada di dunia ini.” Ernes—teman baik Eiwa menggeleng tidak habis pikir.
Memang hal yang Eiwa takutkan adalah tentang perasaan, Eiwa takut melukai perasaan Ellea, gadis lugu, pendiam dan masih polos tidak banyak bicara itu.
Sebab dari relung hati yang terdalam, Eiwa sama sekali tidak memiliki getaran apa-apa. Ellea gadis manja bertutur kata lembut saat menyapanya, bahkan ia anggap sebagai adik sendiri. Tapi apa yang terjadi? Bahkan takdir telah menyatukan mereka melalui tali pernikahan.
“Saya tidak bisa mengelak dari pernikahan ini, Nes. Karena karena ini adalah jalan satu-satunya buat mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Saya akan merasa semakin berdosa dan bersalah kalau sekarang memilih untuk tidak menikahinya.”
“Semoga samawa aja deh, Bro… apa pun yang mau kamu lakukan, yang penting yakin.” Ernes menepuk pundak Eiwa sebelum pergi meninggalkan Eiwa di pertemuan diam-diam mereka.
Eiwa telah memantapkan hatinya, memakai songkok silver ke kepalannya kemudian berjalan keluar kamar.
Keluarganya sama sekali belum ada yang tahu tentang pernikahannya kali ini. Mereka semua kini sedang pergi Umroh dan masih dalam perjalanan.
Ia tak tau bagaimana kecewanya keluarganya kalau sampai tau tentang rencana pernikahan ini.
Eiwa datang ke rumah ini dengan sebuah misi dari sang ayan. Bahkan ia sampai rela kembali dari Dubai, karena menjalankan perintah sang ayah.
Mama Renita akan syok atau bahkan akan senang, sebab punya menantu adalah impiannya sejak beberapa tahun terakhir.
***
Sedangkan Ellea yang sudah siap memakai kebaya putih dan hijab putih dihiasi oleh bunga Melati dan aksesoris lainnya duduk tegap di tepi ranjang kamarnya sendiri.
“Saya selalu memanjaatkan doa pada-Mu, YA Rab, supaya senantiasa engaku mendekatkan saya dengan kebaikan, suatu saat menjadi orang yang sukses dunia mau pun akhirat, tapi ternyata engkau telah menentukan takdir yang berbeda, jika pernikahan ini adalah garis yang engkau berikan, maka bismillah, saya terima ikhlas dengan sepenuh hati.”
“Elleeeeeaaa!” pekik Amora dari luar kamar sambil menggedor-gedor pintu. “Cepetan oiiii… pak penghulu sudah nungguin dari tadi!”
Ellea yang sudah selesai dirias setengah jam yang lalu, kini membuka pintu. kondisinya dengan mata sembab tak berani mengangkat wajahnya bahkan hanya sekedar menatap Amora.
Amora berdiri bersidekap menatapnya sinis sambil menyeringai, seperti mengejek. “Makannya, kalau mau berbuat apa-apa itu dipikir!! Jangan asal ah, ih uh ah aja kamu. Sekarang dinikahkan malah nangis. Muka aja polos, tapi kelakuannya amit-amit,” ucapnya sambil menyentak satu tangan Ellea.
“Aku bisa sendiri, Kak,” tolak Ellea melepaskan tangan Amora.
“Ya monggo….”
“Kakak seneng ya, sudah buat Ellea begini sekarang?”
Amora yang nyelonong pergi tiba-tiba berhenti. “Ngomong apa sih kamu? Nggak jelas!”
“Pasti ini rencana kakak, kan, malam itu yang sudah jebak aku sama Bang Eiwa? Realistis aja deh, nggak mungkinlah kami berdua tiba-tiba ada dalam satu kamar, kalau bukan kakak yang jebak.” Baru kali ini Ellea membuat Amora tak bisa bicara.
“Bagi kakak ini mungkin sekedar main-main, Cuma keisengan kakak semata. Tapi nggak buat aku, Kak. Ini hal serius, karena udah hancurin perasaanku.”
“Ya udah sih, lakuin aja. Kamu tinggal nikah aja sama abang Eiwa kamu itu, dan menikmati menjadi istri bodyguard, kan lumayan kamu ke mana-mana bisa ditemani kacung.”
“Kakak ini punya hati nggak sih, sebenarnya? Nggak mikirin masa depan aku?” tanya Ellea.
“Emang ay pikirin?” sewotnya nantang Ellea.
“Ya ampun… Ellea, dari tadi kami nunggu ternyata malah enak-enakkan ngobrol di sini! Tunggu apa lagi? Ayo cepetan turun, akad nikah mau dimulai, keburu siang, wartawan keburu sliweran di depan rumah!” Lusia datang di sela-sela perdebatan Ellea dan Amora.
Benar saja, saat Ellea semua orang merupakan saksi-saksi dan para pekerja di rumah ini sudah menunggu kedatangannya.
Termasuk Eiwa yang kini menatap lurus ke arah meja depan penghulu. Lelaki itu seperti sedang berpikir berat. Sangat terlihat jelas di wajahnya kini kalau ia sedang tidak bahagia.
“Mbak Yem, bagaimana penampilan saya?” tanya Ellea, sebab Eiwa sama sekali tak melihat ke arahnya.
“Bagus banget, Neng… cuantik kayak bidadari turun dari langit…” balas Mbak Pariyem sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Pengantin perempuan, silakan duduk. Kita akan mulai akad nikahnya,” ucap pak penghulu.
Ellea duduk di samping Eiwa yang hanya tersenyum tipis padannya. Kemudian menjabat tangan pak penghulu di atas meja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments