Menantu Tidak Dianggap

“Mau sampai kapan kamu mau marah sama papa, Ma?” tanya Alvin saat di meja makan Lusia masih tak mau menjawab pertanyaannya.

“Mama marah, karena papa sudah mengambil keputusan yang salah!”

Avin berdecak sambil memalingkan muka.

“Keputusan menikahkan Ellea dengan Eiwa harus dilakukan, Ma. Kalau tidak reputasi kita yang akan hancur. Kamu mau, kita dapat citra buruk di depan publik? Kalau aku sih nggak mau, lagian ini Cuma sementara,” ucap Alvin sambil melahap makanan di sendok.

“Jalan satu-satunya nggak harus nikah. Kan, bisa papa kirim Ellea ke luar negeri, ke mana kek yang penting keluar dari sini. Kalau nggak papanya yang memang sudah kebelet pengen punya mantu.”

Di ruangan makan itu, mereka bukannya menikmati makan yang sudah dihidangkan dengan berbagai macam menu. Tapi kini mereka justru ribut di depan makanan.

“Kamu jangan sampai kayak si Ellea ya, Amora. Salah sasaran pilih suami!” sindir Lusia sambil melirik Eiwa yang baru saja sampai memakai pakaian serba hitam dan rambut disisir rapi. Berdiri di pinggir Alvin.

“Assalamuailikum, Pak, Bu.”

“Waalaikumsalam,” jawab Lusia ketus.

Sedangkan Amora dan Alvin sibuk dengan makanannya tanpa menoleh atau menjawab.

“Kamu mending bersihin sepatu suamiku dulu deh, dari pada berdiri di sana, ganggu aja. Enek, bikin selera makan ilang tau, nggak?” ucap Lusia melihat Eiwa seolah jijik dengan menantunya itu.

Selama beberapa bulan ini, Eiwa sudah terbiasa dengan sikap mereka yang seperti ini, yang menganggap semua orang rendah di antara mereka. Kesetaraan begitu dijunjung tinggi di sini.

“Inget ya, Eiwa, walau pun kamu sudah jadi suami dari Ellea, tetap ingat, kalau ini Cuma sementara. Kami nggak akan pernah menganggapmu bagian dari keluarga kami. Seperti yang dibilang suamiku di awal, setelah gossip ini reda, kalian baiknya segera pisah. Karena nggak berguna punya menantu kayak kamu. Penghasilan dari kami, paling bisannya kalau ada apa-apa gerogoti aja.” Lusia menatap sinis Eiwa yang sedang memendam kekesalannya.

“Benar itu ma, pasti ada niat di balik perbuatan,” sahut Amora.

“Bukannya perbuatan saya, kamu yang memiliki niat, Nona Amora?” tanya Eiwa membuat Amora gugup.

“Enak aja! Ya udah, sana kamu pergi. Bikin makananku berasa hambar aja!”

Dengan wajah dingin misteriusnya kedua sudut bibir Eiwa tertarik, ia meninggalkan mereka keluar.

“Wes… gimana?” Satria tiba-tiba menepuk punggungnya dari belakang.

“Weh, udah balik kamu, Sat? gimana kabar ibumu di Surabaya?” tanya Eiwa sambil memakai sepatu fantoufel hitamnya sambil duduk di pinggiran teras rumah.

“Alhamdulilah, apik-apik ae… Wa. Kondisi ibu udah membaik, habis dirawat di rumah sakit kemarin. Makasih ya, Wa, kamu sudah bantu, walau itu uang tabungan kamu habis, kamu kasih ke aku. Sampai aku nggak tau gimana ngucapin terima kasihnya, karena jaman sekarang pinjem ke orang ratusan juta nggak gampang, kalau pun ada paling ke bank, sedangkan aku nggak ada jaminan apa-apa buat minjem ke sana,” ucap Satria.

“Santai aja Sat. Aman. Lagian saya nggak butuh-butuh amat.”

“Tapi kamu hebat banget lo, Bro, sampai punya tabungan ratusan juta begitu. Aku saja yang sudah bekerja sepuluh tahun sama sekali nggak ada tabungan. Bahkan lima ratus ribu aja nggak ada.”

Eiwa hanya tersenyum mendengar pujian Satria. Padahal uang yang dia berikan tidak ada apa-apanya dibandingkan yang masih tersisa. Eiwa bisa mendapatkan uang seratus lima juta dalam hitungan menit. Ia secara tidak sengaja mendengar Satria telepon dari keluargannya di kampung, kalau ibunya sedang butuh biaya karena sakit jantung.

“Kamu ndak ada kepengen pulang ke Aceh, Wa? Aku aja sudah bolak-balik pulang lho. Kamunya belum ada, kan jadinya nggak enak kalau gini,” ucap Satria.

Tujuan Eiwa hanya satu, yaitu menyelediki tentang Alvin. Memberikan informasi dengan siapa saja pria itu bertemu. Sebelum menyelesaikan tugasnya, pantang bagi kalau putrannya itu menginjak rumah.

“Udah saya bilang, Sat, kalau saya nggak akan pulang sebelum berhasil-“

“Berhasil dapatkan hati Nona Amora? Masih nggak mau nyerah, setelah apa yang terjadi sama kamu? Dia itu cewek sosialita le… yang mau kamu gapai itu terlalu tinggi, ibaratkan itu dia bintang yang ada paling tinggi, bahkan dilihat aja susah, ndak mungkin bisa kamu dapatkan. Sekarang malah nikah sama adiknya, haduh Wa, Wa…”

“Kalau masih bisa nyoba kenapa nggak, Sat? Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah sudah berkehendak. Kamu percaya kebesaran-Nya, nggak? Aku akan tempuh jalur langit.” Eiwa mendekati Satria.

Satria menganngguk paham. “Iya, iya, Bro. Lanjutin dah, kalau memang masih yakin. Tapi kalau kenapa-kenapa jangan ngadu sama aku ya. Aku sudah kasih tau kamu, berkali-kali kalau ndak didengarkan ya, monggo, ingat, istrimu itu Non Ellea,” ucapnya.

“Nggak ngadu, tapi mungkin sedikit curhat.”

“Terus apa bedanya, ******??”

Mereka berdua bercanda di teras rumah sambil menunggu Alvin keluar dari dalam. Tiba-tiba Pariyem datang membawa secangkir minuman diberikan pada Eiwa.

“Apa ini mbak Yem?” tanya Eiwa menaikkan satu alisnya bingung.

“Ini minuman penambah stamina Bang… aku tau, semalam abang Eiwa pasti habis ngik-ngikan kan sama non Ellea, pasti capek. Nah, makannya saya berinisiatif buatkan minuman ini. Cobain deh, biar seger, fresh jagain pak Alvinya,” ucap Pariyem.

Tanpa pikir panjang Eiwa langsung minuman berwarna putih butek itu sampai habis tak tersisa. Ia tidak tau minuman jenis apa yang sudah diberikan Pariyem yang konon katanya ramuan racikan turun temurun dari keluargannya di kampung.

Eiwa mengecap sebab ia merasakan hawa tidak enak pada tubuhnya, seperti ada yang aneh. Sebab bulu-bulu kuduknya meremang. Gelanyar aneh pun terasa mengalir dalam dirinya. Hingga membuat tubuhnya tiba-tiba bergidik ngeri.

“Saya lupa bilang, Mas Eiwa, kalau harusnya jangan dimunum sekaligus, tapi seperempatnya saja, kalau Cuma buat kembalikan stamina.”

Eiwa berdecak kesal. “Ada efeknya kalau aku minum satu gelas habis?”

Pariyem mengangguk-angguk takut. “Kalau Cuma seperempat itu buat menghilangkan capek-capek. Kalau setengah menambah stamina. Kalau diminum habis, itu biasannya… buat.” Pariyem saling mengetuk-ngetukkan kedua jari telunjuknya.

“Aduh!” Eiwa meremas rambutnya sendiri.

“Hahaha….” Satria tergelak melihat temannya itu seperti sedang tersiksa. Bahkan sampai gelisah. “Udah deh, mendingan kamu pulang aja, ke belakang, biar nanti aku bilang pak Alvin kalau kamu sakit,” ucapnya sambil terus saja tertawa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!