Dia adalah pria yang bernama Rangga Sendi Wijaya. Pria pemilik usaha yang bergerak di bidang batu bara. Dimana ia akan mendirikan pabrik di desa tempat Ayuna tinggal saat ini. Desa yang begitu asri dan sangat subur akan pertumbuhan buah di desa tersebut. Air yang keluar dari sumbernya pun nampak sangat jernih bahkan sudah di uji kelayakan untuk mengkonsumsinya. Sebab itu Ayuna yang lebih memiliki pemikiran ingin memajukan desa temaptnya tinggal sangat menolak adanya pendiri pabrik yang bisa menyebabkan lingkungan tercemar bahkan bisa membuat para warga terkena sakit akibat polusi yang di timbulkan.
"Ingat, kami menolak dan tidak menerima apa pun tawaran dari anda, Pak. Desa kami masih cukup mampu untuk menghidupi kami semua tanpa adanya bantuan dari anda." Setelah berkata demikian Ayuan menepis kasar tangan Rangga.
Kepergian wanita itu di ikuti oleh para warga yang sangat marah pada kepala desa mereka. Tak main-main, Ayuna bahkan membuat surat peengunduran diri dari desa lantaran tak suka dengan kepala desa itu. Kini ia tahu tidak semua wajah polos dan ramah di sekitarnya memiliki hati yang bersih dan tulus ingin perduli dengan desa. Contohnya kepala desa yang saat ini bekerja di desa mereka, ia bahkan dengan mudahnya memberi persetujuan untuk membangun pabrik tanpa berpikir dampak yang akan mereka alami.
"Tenang saja, Pak. Jangan khawatir. Kita akan tangani gadis itu." ucap Pak Kodir yang melihat Rangga nampak terdiam beberapa saat di ruangannya di dampingi asisten pribadi serta beberapa bodyguard berdiri di belakang bahkan di luar pun ada beberapa juga yang menjaga.
Semua tentu saja demi keselamatan Rangga, bukan perkara mudah menghadapi orang-orang desa bahkan tanpa adanya persetujuan mereka terlebih dahulu. Namun, siapa sangka jika diamnya Rangga saat ini bukanlah hal yang berat ia pikirkan untuk pabrik. Ada hal lain yang ingin ia pikirkan lebih jauh saat ini.
Sejenak bayangannya wajah cantik yang terjatuh di depannya dan tatapan kedua mata mereka nampak berputar terus di pikiran Rangga.
"Gadis itu...dia sangat menarik." gumamnya pelan.
Mungkin saat inilah untuk pertama kalinya seorang Rangga Sendi Wijaya percaya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Yah, dia jatuh cinta pada wanita cantik dan pemberani itu. Bahkan ia yang berdiri tegak berada di barisan paling depan memimpin demo tersebut.
"Dia memang sangat cerdas, Pak Rangga. Satu-satunya orang yang memiliki pikiran terbuka dan rasanya sulit untuk di hadapi hanya dia. Tapi, Pak Rangga tidak perlu khawatir. Kami pasti bisa menangani ini semua." ujarnya dengan yakin.
Rangga yang hanya diam terpaksa harus pergi saat sang asisten memberi bisikan tentang adanya meeting yang mengharuskan mereka ke luar negeri. Rangga pergi meninggalkan desa itu dengan beberapa mobil mewah mengiringinya. Selama di perjalanan matanya tak henti menatap sekeliling jalan berbeda dari biasanya jika ia akan sibuk dengan urusan tablet di hadapannya.
"Gadis itu..." gumamnya menatap sosok wanita cantik yang baru saja ia temui di kantor desa. Tidak, mereka bukanlah orang yang sama hanya saja mirip. Sendi tak tahu jika mereka adalah dua orang yang berbeda.
Senyuman di wajahnya tampak mengembang melihat sosok Ayana duduk di kursi depan rumah temannya dengan pakaian yang lebih mengikuti bentuk tubuhnya. Berbeda sekali dengan gadis yang ia lihat barusan. Ayuna memakai rok panjang serta pakaian yang lebih nyaman dengan ukuran sedikit longgar di tubuhnya.
"Wah siapa tuh?"
"Tampan sekali,"
"Ayana, dia lihatin kamu loh." ujar beberapa teman Ayana yang juga duduk bersamanya.
Ayana pun tersenyum saat melihat pria tersebut menatapnya dengan senyuman hangat di dalam mobil yang lewat dengan pelan. Rombongan mobil pun berlalu begitu saja tanpa adanya kecurigaan di benak Rangga.
Berbeda halnya dengan suasana di rumah. Lelah dan amarah masih menguasai Ayuna kala ia memutuskan pulang ke rumah. Namun, harapan untuk bisa istirahat justru urung ia dapatkan dan berbalik mendapat serangan dari sang ayah.
Plak!!
Tamparan pun mendarat kencang begitu Ayuna melangkah masuk ke rumah. Yah, tamparan itu ia dapatkan dari sang ayah yang sangat menampakkan wajah marahnya.
"Ayah, ada-"
"Jangan keluarkan suaramu, Ayuna. Berani kamu bikin ayah malu? Hah! Apa yang ada di otakmu ini?" tangan Fikram nampak menunjuk kuat kepala sang anak dengan emosi.
Ayuna masih tak mengerti apa yang terjadi? apakah sang kakak telah berkata hal-hal yang buruk lagi tentangnya pada sang ayah? Ayuna menahan diri untuk tidak menjawab dan lebih memilih menunggu sang ayah melanjutkan ucapannya.
"Untuk apa kamu ikut demo seperti itu hah? Kamu mau taruh muka ayah di mana? Malu, Ayuna. Malu. Mereka itu yang membantu kamu kerja di kantor desa. Dan sekarang kamu sombong sekali mengajukan pengunduran diri. Mau makan apa kita? Hah! Dimana pikiranmu itu!"
Setelah mendengar kini Ayuna pun paham dengan kemarahan sang ayah. Ternyata kali ini bukan sang kakak yang bicara hal buruk. Dan orang di kantorlah yang melapor. Tentu semua bukan tanpa ada maksud tujuan. Ayuna sangat paham. Mereka pasti ingin Ayuna menjadi penggerak di desa untuk membuat suasana tenang dan menerima pabrik itu masuk ke desa mereka. Tidak. Ayuna tidak akan menerima ini semua. Ia tak akan terima desanya di cemarkan seperti ini. Bahkan kebun yang menjadi ladang pencari nafkah mereka dengan hasil yang berlimpah harus di ganti dengan lingkungan pabrik. Ayuna tak rela. Peluang desa mereka begitu bagus untuk di majukan tanpa adanya pabrik tersebut.
"Ayah, pabrik mereka itu belum memiliki izin. Itu sudah pasti tidak baik untuk lingkungan, Ayah. Pokoknya kami tidak setuju. Bukankah ayah juga menikmati hasil panen yang kita dapatkan selama ini meski hanya dari upah buruh? Ayuna akan berusaha mencari jalan keluar untuk mengirim buah-buah di desa kita, Ayah. Dan juga air yang bisa di perjual belikan dari desa kita ini sangat baik kualitasnya." Ayuna menerangkan apa yang yang ada di pikirannya.
Namun, rasanya hal itu percuma untuk seorang Fikram yang tak memikirkan apa pun selain uang untuk biaya hidup. Pendidikan yang minim memang bukan serta merta menjadi acuan tolak pikir seseorang, namun pemahaman yang Fikram miliki nyatanya tak mampu membuatnya berpikir sejauh apa yang Ayuna pikirkan. Hanya dengan dua juta uang di tangannya ia begitu sangat senang saat ini dan meyakinkan pada pihak desa untuk tidak membiarkan sang anak menolak adanya pembangunan pabrik tersebut.
"Pokoknya ayah tidak mau tahu, kamu jangan ikut seperti itu lagi. Ini, uang segini apa masih kurang untuk membuat pikiran kamu terbuka, Ayuna? Lihat ayah mendapatkan uang ini sebagai dp. Kalau kamu setuju membuat warga desa setuju semua maka kita akan dapat lima juta lagi. Sekarang jangan bertingkah konyol kamu!" ujar Fikram.
"Wah, uang...Ini buat kuliah ku, Ayah?" tiba-tiba suara Ayana datang berseru sangat senang. Ia merebut uang itu dan melebarkan di depan wajahnya saat ini. Matanya berbinar melihat uang banyak dan Ayuna sangat malas melihat sikap sang kakak yang terlalu berlebihan dalam uang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Siti Sarfiah
sadarlah pak fikran , belum tentu anak yg kamu sayang memperhatikan keadaanmu bila sudah sukses , selain anak yg kamu benci
2023-04-04
0
Alessandra
kepintaran itu bukan hanya jenjang, tapi bagaimana caranya kau bisa menghubungkan semua impuls2 itu untuk bekerja secara simultan dan cerdasnya. You Go Thor 💪💪💪💪💪
2023-03-25
0