Tatapan mata dari Ayuna nampak berkaca-kaca saat menyaksikan kepergian sang kakak. Ayana berangkat dengan beberapa temannya menuju kota pagi ini juga. Mereka bersama-sama keluar dari desa dengan wajah yang begitu antusias untuk memulai kehidupan penuh perjuangan di kota orang. Sungguh rasanya Ayuna ingin berlari mengejar dan ikut berjuang dengan mereka dan juga sang kakak. Tapi apa daya, ijazah pun belum ada di tangannya sampai saat ini. Air mata pun jatuh seketika kala menyadari tak ada harapan lagi untuknya memiliki pendidikan yang tinggi. Hanya bisa bekerja dan bekerja yang bisa Ayuna lakukan saat ini.
"Makanya kalau orang tua kasih tahu di dengar baik-baik. Sudah sekarang masak sana buat ayah makan. Sebelum kerja." patuh Ayuna melankah masuk ke dapur.
Rumah yang sederhana ini penuh dengan kenangan sungguhh membuat Ayuna semakin sesak rasanya. Entah sampai kapan ia akan tetap di rumah ini tanpa ada tujuan.
Singkat waktu berlalu begitu cepat tak terasa waktu sudah berputar hingga dua tahun lamanya. Dimana usia Ayuna dan Ayana sudah berada di angka dua puluh tahun. Ayuna tampak kerja di kantor desa di bagian perbendaharaan. Hanya berbekal ijazah paket c saja membuatnya terbantu setidaknya itu bisa jauh lebih baik. Sehari-hari Ayuna sangat sibuk. Selain mengurus sang ayah ia bekerja di kantor desa belum lagi sore hari sampai malam ia mengajari anak-anak les.
Malam hari yang melelahkan bagi Ayuna, ia pulang dengan wajah lelah membuka pintu rumah namun kedatangannya di sambut dengan sang ayah. "Kakakmu besok pulang libur semester, jangan lupa siapkan uang taksinya." pintah sang ayah yang begitu tak memiliki perasaan berkata demikian pada sang anak.
"Iya, Ayah. Ini ada upah hari ini dan kemarin yang belum Ayuna belanjakan buat dapur. Ayah bayarkan saja buat biaya taksi Kak Ayana." ia memberikan uang di tasnya pada sang ayah dan masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri.
Lelah yang menyerang tubuh Ayuna membuat gadis itu tak sanggup lagi untuk mendebatkan soal sang kakak. Hanya bisa ikhlas bekerja sangat lelah namun tanpa merasakan hasil kerja dengan bebas.
"Besok Kakak datang. Aku harus bicara dengannya. Seharusnya Kakak bisa cari penghasilan di sana tanpa perlu membebankan ayah lagi apa lagi hanya untuk biaya taksi pulang seperti ini." ujar Ayuna berpikir akan menasihati sang kakak.
Malam pun berganti siang dengan cepat. Ayana datang di sambut dengan bahagia oleh sang ayah. Selama kuliah ini adalah liburan ketiga kalinya ia pulang ke desa tanpa membawa apa pun untuk orang di rumah. Sungguh begitu tak berperasaan Ayana tanpa perduli sedikit pun membelikan makan yang murah pun untuk sang ayah tidak ia lakukan.
"Kak, aku mau bicara." ujar Ayuna memasuki kamar sang kakak saat itu yang tengah berbaring tertawa dengan ponsel miliknya.
Jelas Ayuna melihat benda canggih itu sudah termasuk mahal untuk sang kakak. "Kakak ganti ponsel lagi?" tanyanya yang tertarik dengan ponsel yang di mainkan oleh Ayana.
"Apaan sih? kepo banget jadi orang. Iya ponsel baru memang kenapa? Sewot." mendengar nada tinggi dan tak suka dari sang kakak membuat Ayuna menghela napasnya kasar.
"Kak, apa tidak sebaiknya kakak cari kerja sampingan di sela kuliah dari pada kakak pulang ke sini tidak ada hal apa pun juga yang menghasilkan." lembut dan hati-hati Ayuna berucap agar tak mengundang marah sang kakak. Sayang, rasa tak suka Ayana pada sang adik membuatnya sangat mudah naik darah.
Tiba-tiba saja tubuh Ayuna terjingkat kaget kala Ayana melempar gelas yang ada di meja nakas samping tempat tidurnya. Keributan itu terjadi hingga terdengar keluar kamar. Sang ayah yang tengah memperbaiki motor di depan rumah langsung berlari.
"Ada apa ini, Ayuna? Ayana? Kenapa ribut-ribut?" tanya sang ayah menatap tajam bukan pada keduanya, sudah jelas tatapan marah itu ia tujukan pada Ayuna yang menunduk takut.
"Ini ayah, Ayuna minta aku tidak usah pulang ke desa nyuruh kerja di kota. Mentang-mentang dia kerja. Padahal aku kuliah juga kan buat ngangkat nama keluarga kita yang sangat susah. Setelah aku kuliah juga pasti bisa aku ganti kok uang yang kalian keluarkan." kesal Ayana bicara sembari berteriak-teriak.
"Bukan begitu, Kak. Aku hanya ngasih masukan saja. Itu kan bisa lumayan buat nambah biaya kuliah kakak kalau kerja di hari libur begini," Mata Ayana memutar malas mendengar ucapan sang adik.
Rasanya sudah lama rumah ini tampak tenang sejak kepergian Ayana ke kota. Namun, hari ini keributan pun terjadi kembali.
"Sudah keluar kamu dari sini, Ayuna. Bikin ribut saja, kakak mu pulang kan kangen sama ayah. Kamu mau ayah mati kakakmu tidak bisa melihat juga seperti ibumu yang kamu bunuh itu?" Air mata Ayuna pun jatuh.
Entah kenapa ia hanya bisa menerima saja tanpa melawan pada pria yang benar-benar menyakitinya ini. Sekali pun Fikram tak pernah menatapnya sebagai anak lagi sejak kejadian saat itu.
***
"Kami menolak keras adanya pembangunan pabrik di sini. Desa kami desa yang memiliki banyak penghasilan tanpa adanya pabrik yang bisa menyebabkan pencemaran di desa kami!"
"Betul, kami tidak setuju!"
Suara ribut-ribut saat itu terjadi di depan kantor desa. Bukan hanya warga namun salah seorang wanita yang justru bekerja di kantor desa itu sendiri yang menjadi pemimpin demo mereka siang itu. Teriknya matahari yang menembus kepala sama sekali tak menyurutkan semangat mereka semua. Wanita cantik yang begitu lembut terdengar meneriakkan suara lembutnya dengan lantang berdiri di barisan paling depan dengan suara yan di pakai pengeras suara.
Potensi di desa memang sangatlah menjanjikan jika di kelola dengan benar, air yang memiliki sumber di pegunungan bahkan begitu sangat memiliki kualitas yang begitu baik. Dan juga tanah yang sangat subur untuk di jadikan pertanian sangat mempengaruhi pendapatan warga desa selama ini.
Keributan terus terjadi di desa kala itu, namun satu yang menarik perhatian. Di dalam ruangan dengan tirai jendela yang ia singkapkan seorangg pria tersenyum kecil melihat wanita cantik di depan sana.
"Dia siapa?" tanya pria itu.
"Oh itu salah satu anak Pak Fikram, Tuan. Dia penggerak demo di desa ini. Entah apa yang membuatnya begitu berani melawan progres yang kita ajukan ini."
Di luar sana mereka yang berdemo tampak di paksa mundur. Beberapa pihak keamanan yang di tugaskan sudah mendorong paksa mereka bahkan ada yang menarik paksa warga untuk bubar. Keributan pun semakin tak terindahkan saat ini.
"Pak, kami hanya menyuarakan suara kami saja. Jangan seperti ini. Kami berhak mempertahankan desa kami untuk tetap asri!" teriak Ayuna tampak marah.
Jangan sampai kepolosan para warga desa membuat orang-orang jahat bisa memanfaatkan desa mereka dengan mudahnya. Tidak, Ayuna tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia akan memperjuangkan desa ini dengan sebaik mungkin.
Satu persatu para warga mulai mendapat kekerasan. Beberapa dari mereka tampak terjatuh di lapangan.
"Awh!!" pekik Ayuna terdorong kasar dan tersungkur ke tanah.
"Ayo berdiri," ujar sosok pria yang berdiri di tengah-tengah keributan saat itu. Ayuna yang terduduk di tanah kesulitan berdiri sebab banyak orang di sekelilingnya saling berdorongan. Tubuhnya terhimpit banyaknya orang.
Ayuna menatap tajam pria tampan yang berdiri di hadapannya dengan kokoh meski sekeliling nampak gaduh saat itu. Uluran tangan putih itu tepat di depan wajahnya saat ini. Bukannya meleleh melihat ketampanan pria tersebut, Ayuna justru menatapnya tak suka bahkan penuh kebencian. Yakin jika pria inilah dalang dari semua yang terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Alessandra
ayo tunjukkan otak pintarmu ayuna cemungud thor 👍💪💪💪💪💪
2023-03-24
0
Warijah Warijah
Nyesek Thor dengan nasibnya Yuna..😭
2023-03-24
0