Si Kembar Bunga Desa

Si Kembar Bunga Desa

Giliran menjaga Sang Ibu

Wanita paruh baya yang kini terbaring lemah di atas kasur tampak sangat pucat. Sudah satu minggu ia jatuh sakit dan tak bisa bangun, bahkan obat dokter sudah ia patuhi semua untuk di minum. Namun, masih saja tak ada perkembangan. Tak memiliki biaya untuk pergi ke kota, akhirnya hanya memilihi rawat di rumah dengan meminum obat saja. Fatim, ibu dari Ayuna menatap sedih sang anak. Seragam putih abu-abu yang Ayuna pakai saat ini membuatnya yakin jika sang anak tengah menghadapi kesulitan.

"Ayuna, pergilah Nak. Kemarin kakak mu sudah menjaga ibu, ini memang sudah jadwalnya kakak mu pergi sekolah. Bukankah hari ini kamu ada lomba cerdas cermat di seolahmu?" tanya Fatim mengusap punggung tangan sang anak.

Ayuna menggeleng mendengar ucapan sang ibu. "Tadinya Kakak bisa saja izin, Bu. Hari ini kelas kan tidak belajar karena ada lomat itu. Tapi kakak Ayana tidak mau. Pertandingan hari ini menentukan Ayuna mendapatkan sertifikat yang bisa membantu untuk kuliah nanti, Bu." curhat Ayuna  tampak sedih.

Ia tahu keluarganya tak memiliki biaya untuk sekolah berikutnya. Itu sebabnya ia ingin mendapatkan beasiswa dengan cara apa pun agar bisa sekolah tinggi dan menjadi orang sukses yang bisa merubah kehidupan keluarganya. Tak hanya itu saja, Ayuna bahkan bertekad untuk ikut memajukan desanya saat ini.

"Yuna...pergilah. Ibu baik-baik saja. Kejar cita-citamu, Nak. Pergilah ke sekolah ibu akan mendoakanmu menang, Yuna." ujar Fatim berharap sang anak mau menurutinya.

Sejenak Yuna terdiam menundukkan kepala sedih. Antara ingin pergi dan takut jika sang ibu kenapa-napa. Hingga Fatim kembali bertanya.

"Berapa lama waktunya berlomba?" tanyanya.

"Dua jam, Bu. Itu baru lombanya belum penilaiannya." jawab Ayuna lirih.

Fatim pun tersenyum. "Waktu yang sangat sebentar. Itu bisa kamu lewati dengan baik dan Ibu akan tidur menunggumu pulang. Sekarang siapkan makan siang ibu dan obat serta air. Nanti ibu akan makan sendiri lalu tidur menunggumu pulang." Ayuna mengangkat wajahnya menatap sang ibu tak yakin dengan apa yang ia dengarkan.

"Tidak, Bu." Lagi-lagi sang ibu pun membujuk anaknya hingga Ayuna pun patuh. Ia menyiapkan semua keperluan sang ibu dan bergegas berangkat ke sekolah untuk ikut bertanding. Ia memeluk dan mencium sang ibu penuh sayang. Rasanya sangat berat meninggalkan sang ibu sendirian di rumah namun berkat keyakinan dari sang ibu, Ayuna patuh. Ia bergegas menuju sekolah tak lupa meminta tetangga untuk mendengarkan sang ibu jika ada apa-apa.

Rasanya Ayuna tidak tenang selama di sekolah. Belum lagi ia melihat sang kakak yang justru tampak heboh di pinggir lapangan menjadi suporter sang kekasih yang bermain basket. Sungguh Ayuna tak habis pikir dimana rasa simpati Ayana padanya dan sang ibu. Menjadi suporter bukanlah hal yang sangat penting sehingga ia tak mau menggantikan Ayuna menjaga sang ibu. Sekali pun Ayuna memohon ia tak perduli. Baginya tugas menjaga ibu sudah ia penuhi kemarin.

"Heh, Ayuna! Kamu ngapain ke sekolah? Ibu siapa yang jaga?" sentak Ayana ketika ia melihat sang adik ke sekolah lantas Ayana menghampiri adiknya.

"Ibu menyuruhku mengikuti lomba dulu, Kak." jawab Ayuna menunduk.

"Aku tanya ibu sama siapa di rumah? sendiri kan? Awas yah kalau ada apa-apa aku yakin ayah pasti akan marah besar sama kamu." ia pun pergi meninggalkan sang adik yang ketakutan.

Ingin Ayuna kembali pulang, namun ia mengingat sang ibu yang juga tak mau ia jaga hari ini. Baginya perlombaan sang anak sangatlah penting untuk masa depannya. Hari itu di sekolah Ayuna memasuki ruangan perlombaan dengan doa yang terus ia panjatkan.

Semua pendukung tampak menyambutnya dengan heboh. Ayuna memang sudah di kenal dengan murid cerdas di desa itu. Banyak yang sangat menyukai sosok Ayuna terlebih para guru yang selalu mengikut sertakan Ayuna jika ada kegiatan di sekolah mau pun di luar sekolah. Bahkan jiwa sosial Ayuna yang begitu besar membuatnya sangat dekat dengan para warga desa tersebut meski usianya masih terbilang kecil. Berbeda dengan Ayana yang lebih suka bermain dengan temannya dan sibuk di dunia percintaan masa remaja.

***

"Bu! Ibu!" Di sini di rumah tampak suara teriakan Fikram menggema kala salah seorang tetangga yang Ayuna titipkan untuk melihat keadan sang ibu memanggil pria itu pulang. Ia panik kala melihat Fatim tertelungkup di kamar mandi dengan tubuh yang sudah dingin.

"Ibu!!!" teriaknya menangis melihat keadaan sang istri.

"Maaf, Pak. Tadi ibunya saya panggil-panggil tidak ada suara. Jadi saya buka pintu yang tidak tertutup rapat ternyata Bu Fatim sudah telungkup dan badannya dingin. Saya tidak berani memindahkannya." Mendengar itu Fikram menggendong sang istri menuju tempat tidur.

Matanya menatap ke sekeliling dimana makanan sepertinya sudah di makan oleh sang istri hingga tak bersisa. Obat bahkan juga sudah ia minum di sana, namun satu yang tidak ia temukan. Yaitu keberadaan Ayuna.

"Dimana Ayuna?" tanya Fikram yang mencari sang anak.

"Tadi Ayuna pamit ke sekolah katanya ada lomba, Pak." jawab tetangga.

Saat itu satu persatu tetangga sudah mulai berdatangan. Fikram yang mendengar sang anak pergi ke sekolah begitu tampak murka. Tatapannya sangat penuh amarah dan tangannya terkepal kuat.

"Ayuna, awas saja kau." geramnya melangkah meninggalkan rumah serta sang istri yang di temani banyak para tetangga. Entah mengapa saat ini ia tak bisa menahan amarahnya lagi melihat sang istri yang sudah pergi tanpa bisa kembali lagi.

Lelah di tubuhnya bahkan ia abaikan begitu saja. Fikram tiba di sekolah dan berteriak di depan ruangan kelas yang ramai saat itu.

"Ayuna!" panggilnya mencari di mana anak keduanya itu berada saat ini.

Ayana yang berkumpul dengan temannya pun berlari mendekati sang ayah. "Ayah, ada apa?" tanyanya heran.

Tanpa menjawab, Fikram justru bertanya lagi. "Dimana Ayuna? Cepat bawa ke sini." belum saja Ayana beranjak membawa sang adik, Ayuna sudah datang berlari sebab di beri tahu oleh sang guru.

"Ayah, ada ap-"

Plak! Plak! Plak

Tamparan bertubi-tubi membuat Ayuna tak bisa melanjutkan pertanyaannya. Tamparan terakhir bahkan sampai membuat tubuhnya terhempas ke dasar lantai. Anak remaja itu menjatuhkan air mata memegang pipinya yang sangat panas bahkan kepalanya sampai terasa kram mendapat pukulan kuat tangan sang ayah.

"Dasar anak pembunuh, Kau!" Teriakan yang Fikram lontarkan membuat Ayuna tercengang syok. Air matanya berjatuhan mendengar ucapan kasar itu. Apa maksud perkataan sang ayah? siapa yang terbunuh? Ibu...Ayuna menangis berlari keluar sekolah mengingat sang ibu satu-satunya orang yang bisa mengalami hal itu.

"Ibu...Ibu." Ayuna menangis berlari semakin kencang sepanjang jalan. Ia tak perduli dengan tatapan orang padanya. Hingga langkah Ayuna terhenti di halaman rumah dan melihat banyak tetangga yang sudah datang saat itu. Ayuna berjalan pelan dengan air mata yang semakin banjir ia keluarkan.

Terpopuler

Comments

Warijah Warijah

Warijah Warijah

Kasihan ya Ayuna..😭😭😭

2023-03-23

0

Diana Susanti

Diana Susanti

astaghfirullah 😭😭😭😭

2023-03-23

0

Azzahra Rara

Azzahra Rara

kasihan ayuna,,disalahkan jd pembunuh,,,😢😢

2023-03-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!