PoV Abu Miftah.
Tidak aku sangka ternyata ayah menyuruh aku pulang karena mau dijodohkan. Ayah sama Ibu ada-ada saja, di jaman sekarang masih ada perjodohan memang jaman nenek moyang?
Malam ini keluargaku mengajak silaturahmi ke rumah wanita yang katanya almara cantik. Waah... ternyata memang benar adanya, tidak hanya cantik, tetapi tutur katanya pun lembut, berhijab pula. Dan yang membuatku tercengang adalah dia dulu adik kelas aku.
Heee... bukan jelalatan sih... tapi masa iya... aku tidak boleh menatap calon istri.
Calon istri? Hehehe. Entahlah. Jodoh, rezeki, dan maut sudah Allah atur. Tidak aku sangka pula ternyata anaknya adalah Aisyah bocah kecil dan lucu yang aku temui ketika di bandara.
Nah nah, jika lihat anak yang lucu dan menggemaskan seperti ini siapapun pasti akan menyayanginya. Terlebih anak ini anak yatim. Jangan-jangan... dari anak naik ke Emak. Hehehe... percanda. "Maafkan aku Midah"
Seperti layaknya orang yang mau dijodohkan, malam ini kami berkenalan dan ayah menyampaikan maksudnya. Jujur aku belum siap jika harus menikah dengan wanita yang belum aku kenal. Tetapi wanita yang bernama Aslihah itu mengajak aku ta'aruf. Ide yang bagus tentu aku setujui.
Beberapa jam kemudian kami pamit pulang setelah ayah mengutarakan tujuanya.
"Om... Om, jangan pulang, disini saja," tangan mungil itu menahan lengan ku. Mata biru dan bening mendongak menatap wajahku penuh harap.
"Ya Allah..." mata itu.
"Ais... sekarang sudah malam, biarkan Om pulang," Aslihah mendekatinya. Hendak menggendong tetapi Ais menolak.
Pandanganku tertuju ke wajah Ayah, Ibu, dan juga bu Indah agar membantu aku bicara. Namun, seolah mereka semua mendukung Ais.
"Nggak mau... aku mau main sama Om..." rengek bocah menggemaskan itu sambil menghentak-hentakan kaki dan menggoyang lenganku. Jurus andalan kas anak-anak yang tak lain menangis membuatku tidak tega.
"Okay... Om main sama Ais, tapi jangan menangis," aku gendong bocah mungil itu langsung mengeratkan lengannya di tengkuku.
"Ayah sama Ibu pulang dulu," pamit Ibu sambil berlalu di ikuti ayah. Begitu juga dengan bu Indah. Beliau pun meninggalkan kami bertiga.
Kami saling diam melirik wanita yang berwajah putih kemerahan itu pun hanya menatap putrinya yang masih betah di gendongan aku.
"Duduk dulu" perintah Aslihah tidak mau menatap maupun menyebut namaku
"Terimakasih..." tentu aku duduk kembali, berdiri terus sambil mengendong teryata pegal juga.
"Ais belum mengantuk?" tanyaku pada bocah itu.
"Belum Om, aku mau main sama Om" tidak ku sangka secepatnya Ais bangun dari pangkuanku. Berlari ambil Alat Permainan Edukatif (APE).
"Om, Ais ajalin bikin keleta ya," ucapnya lucu sambil menyusun mainan tetapi bukan bikin kereta seperti yang dia katakan. Hanya menyusun kotak-kotak menjadi panjang.
Oh... ternyata ibu muda ini tahu juga permainan yang bagus untuk balita bukan di sodorkan handphone yang penting anak itu anteng. Salut juga aku cara dia mengajari anak.
Kok aku malah memujinya sih...
Aku menemani Ais menyusun mainan kurang lebih satu jam, namun Aslihah tidak juga keluar. Entah apa yang di lakukan wanita itu di dalam. Padahal Ais sudah angop sambil mengucek mata.
"Ais sudah mengantuk?" tanyaku.
"Ais mau bobo, tapi sama Om"
Wee... ladala! Mana bisa begitu? Bocah ini ada-ada saja.
"Sekarang Ais bobo di tikar saja ya"
"Iya... sama Om kan?"
"Iya..." tidak mau banyak bicara, aku membuka jaket untuk dia bantalan di tikar. Rupanya tidak susah menidurkan bocah ini hanya aku tepuk-tepuk bokongnya pelan rupanya tertidur.
Nggak apa-apa lah... menjadi pengasuh anak. Anak-anak memang senang bermain dengan aku. Contoh nya anak Rembulan pun demikian, tiap ikut Bulan mengunjungi apotek bersama Midah dan Tara suaminya anak nya selalu minta di ajari mengaji.
Aku mengedarkan pandangan. Kemana sih ini orang? Aku kan mau pamit, tetapi seolah lupa jika anaknya bersamaku. Jika aku culik bagaimana? Bagusnya aku tidak sejahat itu dan tidak punya pemikiran demikian.
Sambil menunggu aku merebahkan tubuhku di tikar. Namun baru saja rebahan suara yang awalnya lembut tadi menjadi berbeda.
"Sebaiknya Anda pulang, tidak baik tidur disisi! Apa kata orang nanti!" ketus wanita itu sembari mengangkat Ais.
Aku terkejut segitu ketusnya wanita itu, siapa juga yang mau tidur disini? Aku menggerutu dalam hati. Boro-boro mengucapkan terimakasih, walaupun sebenarnya aku tidak mengharapkan kata itu. Karena jujur aku menyayangi anaknya, tetapi setidaknya dia kan punya sopan santun.
"Baiklah saya permisi" aku ambil jaket yang tergeletak di tikar lalu menyampirkan di pundak. Kemudian tanganku hendak mendorong pintu kesamping.
"Tunggu dulu! Sebaiknya Anda menolak perjodohan ini! Saya bukan wanita yang harus dikasihani!"
Aku mendelik gusar, aku hanya manusia biasa yang punya rasa kesal. Tanpa bicara lagi aku balik badan, kemudian pulang ke rumah.
********
Tiga hari kemudian. Pagi hari matahari sudah bersinar terang, dengan semangat membawa cangkul selayaknya petani, Abu pergi ke sawah. Abu memang rajin, pekerjaan apapun ia lakukan. Sebenarnya sawahnya ada yang menggarap tanpa pria tampan itu turun tangan, tetapi tidak ada yang bisa Abu lakukan disini, lebih baik mencari kesibukan.
Crok, Crok.
"Jangan Ustadz... biar kami yang mengerjakan" cegah tiga pemuda yang akan mencangkul, suruhan pak Umar menghentikan Abu yang baru dua paculan.
"Saya hanya mencari keringat kok," Abu tersenyum.
"Ustadz, kenapa masih mau mencangkul? Bukankah di Jakarta sudah kaya?" cecar pria yang usianya lebih muda dari Abu bernama Ulum. Sambil menyeburkan kakinya ke lumpur meratakan tanah.
"Kamu ini bisa saja Lum... kaya itu bukan orang yang menilai, tetapi kita sendiri. Kriteria kaya bukan dilihat dari apa yang kita punya. Tetapi banyak orang yang tidak mempunyai harta benda, tetapi makan cukup, tidur cukup, untuk biaya anak sekolah ada. Itulah yang disebut kaya" tutur Abu panjang lebar sambil mencangkul.
Ulum mengangguk-angguk.
"Oh iya Ustadz... ternyata Aslihah sudah pulang ke kampung ini," Ulum mengganti topik pembicaraan.
"Lalu kenapa?" Abu menghentikan mencangkul, menatap Ulum. Semenjak tiga hari yang lalu, Abu tidak pernah bertemu Aslihah lagi.
"Begini Ustadz, memang Ustadz tidak ikut antri?" tanya Ulum.
"Antri apa?" Abu tidak mengerti.
"Begini Ustadz, para pemuda kampung kita ini pada antri melamar Aslihah, kalau saya orang punya duit seperti Ustadz pasti ikut antri juga," Ulum berdecak kagum.
"Kamu ini ada-ada saja Lum! Mau melamar wanita kok seperti antri sembako saja!" Abu geleng-geleng kepala.
"Ustadz malah percanda," ujar Ulum.
"Sudah Lum, orang seperti kita ini, tidak pantas untuk Aslihah. Sudahlah! Lanjutkan mencangkul, jangan bermimpi," sela Ali, salah satu pemuda yang sejak tadi fokus bekerja.
"Benar apa yang di katakan teman seprofesi kita ini Lum. Lebih baik fokus mencangkul seperti saya ini. Walaupun sebenarnya sejak tadi saya diam dan berdoa, semoga pria yang antri melamar Liha tidak memenuhi syarat, dan akhirnya memilih saya," tutur Amad percaya diri.
"Huuu..." Ulum dan Ali mencipratkan lumpur ke kaos Amad yang memang sudah basah kerena lumpur.
Abu berdiri memegang cangkul. Jika kamu mencintai pria lain dan ternyata lebih cocok. Aku doakan semoga kamu bahagia Liha.
...Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Yuyun Yuningsih
dih ketus,,,besok besok mesem mesem liat abu
2023-08-24
0
Senajudifa
betul itu
2023-06-07
0
Rahma AR
lanjut
2023-04-14
0