PoV Abu Miftah
"Midah... saya berangkat," aku berdiri di depan Sumidah, memandangi gadis itu, walaupun tomboy sebenarnya cantik dan baik pula. Hehe... lucu juga ya kalau di pikir, aku jadi terasa pamit kepada istri saja.
"Hati-hati Kak Abu..." ujarnya terasa berat melepas kepergianku. Aku tersenyum sebelum akhirnya dibonceng Udin.
"Midah... kamu nggak cium tangan Papa dulu," Udin nyengir maksud nya meledek kami. Langsung ku toyor kepalanya. Dasar Udin malah terbahak-bahak.
Aku akhirnya meninggalkan rumah dan Sumidah, yang masih tertegun di depan pagar,memandangi motor yang kami tumpangi.
************
Di depan gundukan tanah, seorang wanita berusia 24 tahun sedang komat kamit berdoa. Kendati usianya masih terlalu muda namun wanita yang bernama Aslihah itu bukan seorang gadis, melainkan sudah mempunyai satu anak.
Kebahagian bersama suami tercinta hanya bertahan selama 4 tahun, suaminya harus pergi meninggalkan dia dan putrinya satu tahun yang lalu karena virus yang sedang melanda dunia.
Aslihah usap air bening itu agar jangan sampai jatuh menimpa gundukan tanah. Bukan meratapi nasib buruk yang sudah menimpa dirinya karena kepergian suami. Namun menjalani hidup menjadi single parent, bukan perkara mudah. Segala beban yang awalnya dibagi, kini Aslihah harus tanggung sendiri.
Dari mulai urusan finansial, mencari sesuap nasi, tanggung jawab merawat, membesarkan putri kecilnya, mendidik, mau tak mau harus ia lakukan sendiri.
Berat pasti, karena Aslihah harus menjadi ayah sekaligus Ibu, untuk Aisyah. Di tinggal Amroni almarhum suami dengan mendadak menjadi pukulan berat baginya.
Berjualan kue menjunjung tampah sambil menggendong Aisyah di belakang tentu bukan hal mudah baginya. Tidak ada pilihan lain bagi Aslihah selain menuruti kata ibu di kampung. "Lebih baik kamu pulang saja Nak, di kampung kamu bisa berjualan kue tanpa harus menggendong Aisyah, Ibu yang akan mengasuh anakmu ketika kamu berjualan" Aslihah ingat nasehat ibunya.
Aslihah kembali menangis entah kapan lagi ia bisa ziarah ke makam ini. Mungkin jangka waktu yang cukup lama. Jarak daerah A dengan kota Jakarta di tempuh pesawat hingga 2 jam lebih tentu bukan hal mudah untuk membeli tiket bolak balik ke tempat ini bagi Aslihah. Untuk membeli tiket ini pun Aslihah harus menyisihkan hasil jualan kue selama kurang lebih satu tahun.
"Umma..." panggil anak kecil yang sedang bermain tanah di sebelahnya, rupanya anak imut itu lelah menunggu Aslihah lama termenung.
"Oh iya sayang... cape? Kita pulang yuk... tapi... Ais harus berdoa dulu untuk Abi" Aslihah mendudukkan Aisyah di pangkuan, sebelum akhirnya memegang kedua tangan putrinya. "Sekarang ikuti Umma berdoa"
Ya Allah... berikanlah ampunan, kasih sayang afiat, dan maaf untuk mereka. Ya Allah... turunkanlah rahmat, ampunan syafa'at bagi ahli kubur bagi penganut dua kalimat syahadat. Setelah membimbing putrinya berdoa Aslihah menggendongnya pulang.
Aslihah berjalan cepat ia sampai lupa jika saat ini harus berangkat pulang ke kampung halaman. Memang begitu kebiasaan Aslihah jika sudah ziarah ke makam almarhum suami kadang lupa waktu. Maklum selama ini nama Imron belum bergeser dari hati nya.
Aslihah tiba di rumah kontrakan yang ia tinggali bersama suami sebelum meninggal dunia. Ia buka pintu, memindai sekeliling, banyak kenangan yang indah bersama Imron di tempat ini. Sungguh berat bagi Aslihah untuk meningalkan kontrakan yang mereka huni selama tiga tahun. Namun ia harus melanjutkan hidup, kuat demi buah cinta nya dengan Imron yakni membesarkan Ais.
"Sekarang Ais bermain dulu ya... Umma mau siap-siap, kita pulang ke rumah Nenek," Aslihah menurunkan putrinya kemudian memberikan mainan.
"Pulang umah Nenek?" tanya Ais dengan bahasa cadel. Anak itu mendongak menatap Ibu nya. Aslihah mengangguk tersenyum, memberikan kecupan kecil di pipi putrinya, kemudian ke kamar. Di dalam kamar sempit ini bayangan indah bersama Imron kembali hadir. Ia menarik napas berat. Sunguh ini tidak benar berlarut-larut dalam duka. Aslihah sebenarnya tidak ingin seperti ini, ia sadar bahwa harus menerima takdir yang sudah di gariskan oleh Allah, tetapi mengapa sulit sekali bagi Aslihah.
"Umma... pulang kampung" Ais berdiri di depan pintu menggaruk kepalanya yang gatal karena berkeringat. Anak itu merasa umma nya dari tadi selalu mengabaikan. Padahal ia senang ketika umma berjanji mengajaknya pergi jalan-jalan, namun belum juga berangkat. Wajar, Aisyah tidak pernah merasakan itu.
"Iya sayang... sudah kok" Aslihah menarik koper yang sudah ia siapkan sejak tadi malam.
Tidak lupa memasukan bekal kedalam tas kecil, perjalanan membawa anak kecil harus menyiapkan susu, snek, dan juga nasi ke dalam tromol.
"Sekarang kita pamit Ibu Eli dulu yuk" Aslihah menuntun putrinya keluar dari kontrakan. Tentu menemui sang pemilik.
"Assalamualaikum..." Aslihah mengucap salam di depan rumah besar dibandingkan rumah sekitar.
"Waalaikumsalam..." Wanita paruh baya membuka pintu. "Aslihah..." sapa wanita yang Aslihah cari menyambutnya ramah.
"Bu Eli, terimakasih sudah memberikan tempat untuk keluarga kami berteduh. Saya minta maaf jika ada salah kata selama tinggal bersama Ibu" tulus Aslihah. Selama ini bu Eli sudah seperti orang tua sendiri.
"Sama-sama Nak, jam berapa kamu berangkat?" bu Eli mengusap pucuk kepala Ais lembut. Di gendongnya anak bertubuh mungil yang sudah bu Eli agap seperti cucu itu.
"Sekarang bu... saya sudah siap berangkat," Aslihah memandangi putrinya yang di hujani ciuman oleh bu Eli terharu.
"Lihah... biar saya antar," kata pemuda yang tak lain putra pemilik kost keluar dari kamar sudah siap kunci mobil.
"Terimakasih Bang, saya pesan taksi saja," tolak Aslihah halus, kepada pria yang sudah beberapa kali bermaksud melamar Lihah. Namun Lihah menolak dengan berbagai alasan.
"Benar kata Rezza, Liha... biar kamu diantar" bu Eli menambahkan. "Sayang kan uangnya, daripada untuk naik taksi mendingan buat jajan Ais," nasehat bu Eli.
Aslihah berpikir sebenarnya bu Eli ada benarnya, tetapi Leha seorang J tentu harus menjaga jarak kepada pria. Salah melangkah sedikit saja akan menjadi gosip.
"Terimakasih Bu... saya permisi..." Aslihah menggendong Ais.
"Tunggu sebentar Liha..." bu Eli masuk ke dalam, tidak lama kemudian kembali. "Liha... ini ada titipan dari Ibu pengajian untuk jajan Ais" bu Eli menyerahkan tiga amplop, selain santunan dari ibu pengajian, dari rt, dan yang terakhir bu Eli sendiri.
"Tetapi Bu..." Aslihah mengamati amplop selama ini walaupun susah tidak pernah minta belas kasihan.
"Jangan menolak Liha... ini bukan untuk kamu, tetapi untuk Ais" bu Eli memberikan kepada Ais.
"Telimakasih..." ucap Ais. Anak itu menggemaskan.
"Terimakasih Bu" tidak mau buang waktu lagi Aslihah kembali pulang di ikuti bu Eli. Ibu muda cantik itu mengeluarkan koper dan dua tas lainya, kemudian mengembalikan kunci kontrakan.
"Dada..." Ais melambaikan kepada bu Eli ketika hendak menunggu taksi, mobil Rezza sudah berhenti di depanya.
"Masuk Liha" tidak mau dibantah, Rezza memasukan tas dan koper ke bagasi. Aslihah menarik napas panjang. Apa boleh buat ia tidak ada waktu lagi untuk berdebat agar tidak ketinggalan pesawat.
Tidak banyak yang dibicarakan di dalam mobil 30 menit kemudian tiba di bandara. Rezza membantu mengeluarkan koper meletakan ke atas troli.
"Terimakasih Bang..."
"Sama-sama Liha..."
Telimakasih Om," bocah pintar itupun salim tangan Rezza sebelum akhirnya di gendong Aslihah masuk akan segera chek in.
...BERSAMBUNG....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Senajudifa
langsung kufavoritkan thor
2023-05-29
1
Dewi
lanjut
2023-04-11
1
mom mimu
jangan2 abu mau di jodohin sama aslihah lagi 😢
2023-04-05
1