Setelah menunjukan tiket pesawat ke petugas gerbang, Aslihah masuk ke konter Chek in. Ibu muda dan cantik itu antri di belakang membuka tas slempang kemudian ambil ktp. Ia menunjukan ktp setelah diminta oleh petugas, sebelum akhirnya menggendong Aisyah ke ruang tunggu.
"Umma... kok kita duduk disini? Katanya mau naik pesawat?" polos Aisyah.
"Iya... tapi kita harus menunggu dulu sayang..." Diciumnya pipi yang tidak montok dan tidak juga kurus itu sayang.
"Oh... kok nunggunya di dalam telus... pesawatnya nanti menjemput kita dimana Umma? Disini kan nggak ada lapangan?" cecar Ais.
"Hehehe... kamu lucu..." Aslihah tertawa kecil, anaknya ini memang selalu ingin tahu. Kadang ia bingung akan menjawab apa.
"Kok Umma malah tertawa?" Ais yang duduk di pangkuan Liha, mendongak menatap sang Ibu.
"Pesawatnya... nunggunya diluar sana, terus... nanti dikasih tau sama operator" Aslihah menunjuk pintu.
"Oh..." Ais hanya manggut-manggut saja.
"Umma, Ais main bental ya" pintanya.
"Eehh... mau main kemana? Nggak boleh, nanti kesasar," cegah Aslihah, mana mungkin mengijinkan anaknya main kalau sampai diculik? Astagfirrullah.... batin Aslihah tidak bisa membayangkan.
"Cuma disitu saja Umma... dalipada duduk telus, nggak betah," rengeknya.
"Ya sudah... Nggak boleh jauh-jauh ya, terus nggak boleh lama-lama," Aslihah menyerah juga walaupun akhirnya mewanti-wanti cemas.
"Iya Ma" begitu lolos dari pangkuan Aslihah, Aisyah tidak mau diam pindah kursi satu ke kursi yang lain. Kadang berjingkrak-jingkrak pegang ini itu Aisyah memang terlalu aktif kadang membuat Liha kewalahan.
Kadang bernyanyi-nyanyi kecil hingga akhirnya melewati seorang pemuda tampan yang sedang memainkan ponsel.
Prak!
Tidak sengaja tanganya menyenggol handphone milik pemuda. Hingga handphone pemuda itu mental ke lantai.
"Maaf Om, Ais nggak sengaja" Ais berdiri di depan pemuda yang sedang memungut benda pipih itu. Mengecek nya jika ada yang retak.
Pemuda itu menatap mata Ais berair tidak tega. "Jangan sedih cantik... hp ini nggak apa-apa kok" pemuda menunjukan hp memang tidak ada masalah.
"Telimakasih Om" ucap Ais tampak lega lalu tangan mungil itu menyusut air mata nya.
"Sama-sama... hati-hati jalanya, Om juga minta maaf, duduknya yang salah" hibur pemuda itu walaupun ucapanya hanya untuk menghibur bocah di depanya.
"Nggak Om, Ais nggak hati-hati," Aisyah menyalahkan diri sendiri takut pria itu marah.
"Oh... nama kamu Ais?" Pemuda gemas melihat bocah imut itu. "Sini, duduk disini." Pemuda menuntun Ais mengajak nya duduk.
"Nama saya Aisyah Om,"
"Wow... nama yang bagus, kenalkan... nama saya, Abu," ternyata pria itu adalah Abu Miftah.
"Nama Om juga bagus..." Aisyah tersenyum. "Om ada jenggok dikit" Ais menunjuk dagu Abu. Membuat sang pemilik tertawa.
"Kalau punya Abi Imlon banyak... segini" Ais menunjukan genggaman tangan sering lihat abi nya di foto. Saat Imron meninggal, usia Ais masih dua tahun tentu belum mengingat abi nya.
"Kamu kesini sama siapa?" Abu tidak habis pikir anak ini dibiarkan main sendiri.
"Sama Umma Om, tuh Umma" tunjuk Ais. Abu menatap dimana Ais menunjuk. Netranya menangkap dua orang wanita paruh baya dan masih muda tetapi tidak terlihat wajahnya dengan jelas. Keduanya sedang asik ngobrol. Namun, Abu tidak mau tahu yang mana ibu si anak ini.
"PESAWAT TUJUAN DAERAH A. NOMOR 0123 AKAN SEGERA LEPAS LANDAS"
"Om mau berangkat sekarang kamu kembali ke Umma kamu ya..." kata Abu. Ia tidak tahu jika mereka satu jurusan.
"Iya Om" Aisyah segera menyusul Aslihah yang sedang kebingungan mencarinya.
"Aku disini," Ais meledek Liha.
"Ya Allah... Umma cari-cari tahu nggak?" Liha mengait lengan putrinya "Ayo sayang, kita berangkat"
"Kita berangkat Umma?" Ais kegirangan dituntun Aslihah. "Iya" Aslihah mengangguk melirik putrinya di sebelahnya yang mendongak menatapnya.
**********
4 jam kemudian di depan kecamatan daerah A tampak taksi berhenti. Tidak jauh dari situ dimana Ramli Umar yang biasa dipanggil Pak Umar tinggal. Seperti yang sudah diketahui Pak Umar adalah ayah Abu.
Dengan menenteng koper dan oleh-oleh, Abu Miftah berjalan gontai menuju kediamannya. Sejenak ia berhenti ketika tiba disalah satu gubuk pedagang kopi. Gubuk itu masih seperti dua tahun yang lalu ketika Abu meninggalkan daerah ini.
Masih segar dalam ingatan ketika menolong Rembulan saat diganggu Udin. Yah, Udin karena cinta nya kepada Rembulan ditolak, lantas ia menghalalkan segala cara. Tetapi Abu bersyukur adik kelasnya yang kini menjadi rekan bisnis itu sudah di jalan yang benar.
Walaupun saat itu dia pun salah satu pria yang mencintai Rembulan. Namun Abu sadar. Jodoh, rezeki, dan maut, Allah yang atur. Allah subhanallahu wa ta'ala berfirman. "dan tidak ada makhluk yang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezeki.
Abu melanjutkan langkahnya hanya waktu lima menit pria berkulit kuning langsat itu pun tiba di salah satu rumah adat. Rumah orang tuanya tidak ada bedanya dengan rumah warga lain. Tetapi lahan pertanian agak luas. Tidak heran ayah nya selain petani juga sebagai pemborong hingga kini jasa Ramli Umar masih dipakai oleh masyarakat, tidak hanya penduduk setempat tetapi hingga ke daerah lain.
"Assalamualaikum..." Setelah menapaki rumah panggung Abu Miftah mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam..."
Gredeeekk...
Begitulah bunyi pintu rumah Abu ketika membuka bukan didorong ke dalam, melainkan di tarik ke samping.
"Abu..." binar bahagia tertangkap di mata Syarifah sang Ibu.
"Ibu..." Abu menyandak telapak tangan bu Ifah menciumnya dengan mata terpejam. Kemudian mengangkat kepala mengedarkan pandangan seperti ada yang dicari. "Ayah kemana Bu?"
"Ayah kamu ke sawah, Masuk dulu kita ngobrol di dalam,"
"Apa kabar Bu? Ibu sehat?" cecar Abu ketika bu Ifah mengajak putranya masuk dan membantu membawa salah satu tas.
"Alhamdulillah..." Syarifah menjawab singkat. "Sebaiknya... kamu istirahat Ab, ibu mau melanjutkan memasak," sambung Ifah.
Ibu dan anak itupun berpisah Ifah kembali ke dapur. Sementara Abu ke kamar mandi membersihkan diri baru kemudian ke kamar.
Gredeeekk... ia tarik pintu ke samping tampak singgasana nya yang sudah ditiduri selama 20 tahunan keadanya tidak berubah masih rapi dan nyaman. Abu merebahkan tubuhnya hingga tertidur.
Malam harinya semua keluarga Umar berkumpul di depan televisi lebih tetapnya bagi-bagi oleh-oleh sambil berbincang-bincang.
"Ini buat Kakak" Abu memberikan mukena untuk Bariah sang kakak satu-satunya.
"Terimakasih... bisa buat shalat tarawih nanti," Bariah membentang mukena berwarna putih.
"Ini untuk kakak ipar," Baju koko berwarna senada sudah diterima oleh Irfan suami Bariah.
"Terimakasih Ab," Irfan pun merasa senang.
"Untuk Zulfa mana?" potong bocah kecil sepantar Ais, yang sedang bermain. Mendengar Om nya membagi oleh-oleh segera berlari meninggalkan mainan. Membuat gelak tawa bu Ifah dan juga Umar sang kakek nenek.
"Ada dong..." Abu ambil baju terusan berwarna pink cocok untuk seusia Zulfa.
"Yeee... aku dapat..." Zulfa kegirangan.
"Terimakasih dong sama Om..." nasehat Irfan.
"Terimakasih Om,"
"Sama-sama"
Setelah Abu membagi kado, Irfan beserta anak istrinya pamit pulang karena waktu semakin malam..
"Yah... tidak mungkin Ayah minta aku pulang cepat, jika tidak ada masalah penting" tebak Abu. "Apa masalah nya Yah?" sambung Abu.
Umar menarik napas sebelum menjawab. "Kamu pasti ingat anaknya almarhum Rochman teman Ayah?" tanya pak Umar.
"Ingat sih Yah... ada apa? Dia bukanya dulu menikah dengan orang Jakarta asli?" cecar Abu.
"Iya... tapi sayangnya suaminya meninggal setahun yang lalu karena terserang virus," Umar menceritakan.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un..." Abu turut berduka cita.
"Nah untuk itulah Ab, pasti kamu sudah bisa menebak kan? Apa maksud Ayah?"
...Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Yuyun Yuningsih
wah wah wah,,bau bau nya ada jaman siti nurbaya nih
2023-08-24
0
Senajudifa
kasihan sumidah
2023-06-04
0
Rahma AR
like
2023-04-09
0