Jam empat pun tiba. Sebagian besar para penghuni gedung tinggi nan luas itu, mulai pulang ke rumah masing masing.
"Vanya...kalau mau pulang, pulang aja. Nggak usah menungguku. aku masih agak lama ini."
"Nggak apa-apa. Pulang bareng aja. Arga lagi ada kerjaan jadi nggak bisa kencan."
"Terserah deh." Dhira terus saja mengetik. Sebenarnya ia sedang menahan diri agar tidak mengatakan soal rusaknya motor sahabatnya sebelum pekerjaannya selesai. Ia takut pembahasan soal motor menganggu pekerjaannya menjadi tidak selesai.
Jam lima tepat, Dhira selesai. Ia mengumpulkan berkas berkas menjadi satu tumpukan dengan urutan yang benar. Ia tahu betul atasannya Faris paling tidak suka dengan pekerjaan berantakan.
"Van...aku ke ruangan Bu Faris bentar."
"Oke. Aku tunggu di sini aja."
Setelah semua kertas berada diantara lengan dan dadanya, ia berdiri bersiap pergi.
Braaakkk bukkkk
Tiba tiba ia terjatuh dan menjatuhkan semua kertas hingga berserakan di lantai. Pergelangan kakinya begitu sakit dan tidak bisa untuk berpijak.
"Dhira, ada apa denganmu?" Vanya yang sedang bermain ponsel bangkit dan membantu Dhira bangun.
"Kakiku sakit Van, aduhhh...sakit banget. Ada apa dengan ini?" Suara Dhira tertahan karena menahan sakit yang luar biasa. Padahal dari tadi hanya cenat cenut sedikit dan masih bisa ia tahan. Apa yang terjadi, tiba tiba ia tidak bisa berjalan?
"Ayo Dhi, aku bantu bangun." Vanya menarik kedua pangkal tangan Dhira sekuat tenaga.
"Van, tolong kumpulin semua kertasnya. Buat berurutan. Dan wakilkan aku menyerahkannya pada Bu Faris."
"Kamu itu keterlaluan! Udah sakit begini masih aja mikirin pekerjaan. Biarin aja begitu. Besok ada kami temanmu yang mengerjakannya!" Vanya marah. Ia kesal dengan sahabatnya yang sangat keras kepala.
"Tanggung Van, aku mohon tolong aku. Atau aku akan kena marah lagi." Pinta Dhira dengan wajah memelas.
"Astaga! Jangan pasang wajahmu itu."
"Please...my cinta. Please...aku masih suka bekerja di sini." Dhira berusaha mengumpulkan kertas kertas sebisanya dari tempat duduknya.
"Hah...kamu ini paling nggak bisa dilawan. Yah udah, duduklah biar aku aja." Vanya berjongkok dan mengumpulkan kertas itu dengan cepat. Setelah semua terkumpul rapi, Vanya pergi meninggalkan Dhira.
Tidak lama kemudian, Vanya datang dengan wajah sumringah. "Beres. Bu Faris cukup puas. Beliau bertanya kenapa aku yang mengantar, ku bilang kalau kamu sakit. Beliau terlihat sedikit terkejut dan mungkin menyesal telah menghukum mu."
Sementara Dhira tidak seberapa mendengar perkataan Vanya karena rasa sakit di kakinya makin terasa dan rasanya panas seperti terbakar. Ia meringis sambil memegangi betisnya.
"Dhi, apa kamu bisa jalan? Kita ke rumah sakit aja. Ayo kita coba. Aku akan membantumu berjalan."
"Ah Van sakit banget. Akh...mana rasanya badanku panas."
Vanya memegang dahi Dhira. "Kamu demam! Hayo berpegangan ke bahuku kita turun."
Dhira mencoba berdiri dengan bantuan Vanya. Lagi lagi Dhira menjerit kesakitan. Wajahnya bahkan sampai memerah dan mengeluarkan keringat. Ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kakinya.
"Coba kulihat!" Vanya menaikkan ujung celana Dhira. Kulit putih dibagian pergelangan kaki Dhira memerah campur kebiruan dan sudah membengkak. Perlahan dibukanya sepatu Dhira dan terlihatlah bengkak itu sudah sampai ke bagian punggung kakinya juga. "Parah ini Dhi. Bengkak parah dan terasa panas."
"Nggak usah pakaikan sepatu itu lagi. Takutnya nanti susah dilepas karena makin bengkak. Ayo bantu aku. Aku berjalan satu kaki aja." Dhira melompat dengan satu kaki.
Vanya menopang tubuh Dhira dan membawanya berjalan ke arah lift. Baru beberapa langkah Dhira tidak kuat lagi. Ia berhenti sambil membungkuk dan menekan kedua sisi kepalanya.
"Kepalaku sakit banget." Keluhnya dengan suara sarat dan berat. "Berhenti bentar."
"Iya. Tahan sedikit lagi ya. Kita akan turun." Vanya memegang bahu Dhira kuat kuat agar tidak jatuh.
"Ahhh...huhhh..." Keluh Dhira lagi.
"Atau ku panggilin orang aja ya, biar ada yang menggendong mu." Usul Vanya.
"Tidak usah. Ayo papah aku lagi."
Dengan tersendat-sendat kedua gadis itu menyeret langkah ke lift.
Lima menit kemudian, mereka sudah di loby perusahaan.
"Berhenti dulu Van, nggak tahan pusing. Semua terasa berputar."
"Iya. Itu ada tempat duduk. Kita kesana yuk!" Ajak Vanya. Ia menuntun sahabatnya.
Dari gerbang masuk, Leo baru saja tiba dengan mobilnya. Ia baru selesai makan malam dengan relasi papinya. Ia mampir ke kantor untuk mengambil berkas penting yang akan ia serahkan pada papinya di rumah.
Begitu turun dari mobil netranya menangkap dua sosok perempuan. Merasa aneh dengan cara berjalan mereka ia mendekat dan memeriksanya.
"Sedang apa kalian?" Tanyanya sambil menatap lekat pada dua gadis itu.
"Selamat petang Pak. Ini, dia sakit." Jawab Vanya.
"Sakit? Kenapa tidak di bawa ke rumah sakit?"
"Ini hendak saya bawa Pak." Suara Vanya tertahan karena sedang menahan beban tubuh Dhira. Entah kenapa ia merasa sahabatnya itu seutuhnya sudah menggelantung padanya. Berat dan tidak seimbang membuatnya oleng dan terjatuh ke lantai.
"Eee....ada apa?" Leo buru buru mundur beberapa langkah.
"Dhi! Dhira! Oh astaga dia pingsan. Dhi kita harus ke rumah sakit." Vanya menepuk-nepuk pipi Dhira yang sudah pucat pasi. Vanya membuka tasnya dan mengambil ponsel untuk memanggil taksi online.
"Biar ku antar ke rumah sakit."
Vanya terkejut dengan perkataan Leo. Ia tahu betul siapa Leo. Anak dari pemilik perusahaan yang sudah enam bulan menjabat sebagai CEO. Leo terkenal arogan dan tidak pernah berbicara dengan sembarang orang. Sudah enam bulan sebagai pemimpin mereka tapi pria ini belum pernah menunjukkan keramahannya.
"Apa? Maksudnya...?" Saking tidak percaya dengan pendengarannya, Vanya tidak mengerti maksud yang diucapkan Leo.
"Minggir. Biar aku yang gendong!" Leo tidak main main. Saat melihat wajah Dhira ia langsung teringat dengan gadis itu. Seharian bekerja dirinya seperti orang bodoh tidak bisa fokus bekerja karena bayangan wajah Dhira yang tidak bisa hilang dari pandangannya.
Sekali angkat tubuh Dhira sudah berpindah didepan dada Leo. Pemuda itu membawa Dhira masuk ke mobilnya. Vanya juga ikut.
Mobil melaju dengan kencang. Bahkan beberapa kali Leo membunyikan klakson memberi peringatan pada kendaraan lain memberi tahu dirinya akan menerobos.
"Pak, tolong pelan pelan aja. Takut terjadi kecelakaan."
"Pelan katamu? Itu temanmu hampir mati." Bentak Leo.
"Dia kuat Pak. Dia cukup tangguh meski dia wanita."
"Tangguh?! Dia itu keras kepala. Sok kuat tapi lihat sekarang, dia sekarat. Udah tahu kecelakaan ngotot aja masih mau kerja. Sekarang udah keok." Ejek Leo.
"Dia memang keras kepala Pak. Tapi dia sungguh hebat. Dia hanya sedang sakit aja." Vanya masih membela sahabatnya.
"Huh, terserahlah. Bawa turun temanmu itu. Sudah sampai." Ucap Leo tanpa menoleh sedikitpun.
"Terimakasih Pak." Vanya buru buru turun dan pergi ke pintu sebelah dimana Dhira duduk. Susah payah ia menurunkan Dhira tapi tak kunjung bergeser dari kursi mobil.
"Dhi ayo turun. Kamu berat sekali." Dicobanya lagi namun hasilnya tetap sama, Dhira tidak bergerak sedikitpun.
"Awas! Biar aku turunkan."
Vanya terlonjak kaget tiba tiba Leo ada di belakangnya. "I-iya Pak." Buru buru ia mundur memberi jalan.
Leo membungkuk dan memindahkan Dhira ke gendongannya. Dan membawanya masuk ke dalam UGD.
Vanya berlari kecil mengikuti langkah Leo sambil membawa tasnya dan milik Dhira.
Sementara Dhira di periksa, Vanya mondar mandir menunggu dokter keluar dari bilik pemeriksaan. Ia sangat khawatir, takut sahabatnya terkena penyakit serius. Pasalnya, Dhira paling kebal biasanya. Tangguh dan tidak mudah sakit.
Sedangkan Leo duduk dengan wajah tenang sambil berselancar dengan ponselnya. Terlihat santai namun aslinya ia juga menunggu kabar dari dokter. Ia penasaran apa yang membuat gadis itu sampai pingsan. Dan merasa ikut bertanggung jawab karena perihal kecelakaan pagi hari.
"Wali pasien Andhira!" Perawat memanggil.
"Saya temannya Sus." Vanya mendekat. "Bagiamana keadaanya?"
"Sudah sadar, tapi masih lemah dan sedang tidur. Pasien demam tinggi tapi merasakan dingin. Juga ada beberapa luka ditubuhnya. Apakah terlibat perkelahian atau diani..."
"Kecelakaan." Leo memotong kalimat suster itu.
"Oh, lukanya sudah dibersihkan. Tapi bagian pergelangan kakinya keseleo. Sendinya bergeser. Tapi tidak perlu khawatir, sebentar lagi akan ada dokter yang mengobatinya."
"Terimakasih Suster." sahut Vanya.
"Tapi, sekarang sedang pengambilan sampel darah pasien. Menurut gejala saat ini yang menyebabkan demam tinggi hingga pingsan ada dua faktor. Kemungkinan DBD atau tipes. Hasil lab sejam lagi baru keluar."
"Apa? DBD?" Vanya terkejut mendengar penjelasan akhir.
Suster itu mengangguk.
"Apa pasien bisa dilihat Sus?" Tanyanya lagi.
"Silahkan. Tidak lama lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan."
Vanya menyibak tirai dan masuk. Ia melihat Dhira yang terbaring lemah dengan wajah pucat seputih kertas.
"Dhi sakitnya jangan lama. Aku tahu, kamu paling benci sakit. Cepat sembuh ya."
"Nama kamu siapa?"
Vanya dikejutkan suara dibelakangnya. Ia berbalik dan ternyata Leo ada di sana.
"Pak Leo?"
"Namamu siapa?" Tanya Leo lagi. Suaranya begitu kaku dan sangat tidak enak didengar.
"Vanya Pak."
"Hm. Hubungi keluarganya. Dia sakit begini tentu harus ada yang menjaga dan mengurusnya selama dirawat."
"Dia perantau Pak. Orang tuanya jauh di kota Lampung sana. Saya tidak berani memberitahukannya. Saya takut ibunya kenapa-kenapa. Biasanya kalau Dhira sakit selalu merahasiakannya dari orang tuanya."
"Lalu bagaimana dengannya?"
"Biar saya aja Pak yang menjaganya. Sebelum dan sehabis kerja saya akan ke sini."
"Ya sudah kalau begitu." Selesai bicara Leo keluar di bilik itu.
Vanya duduk di sisi ranjang Dhira. Ia membenarkan selimut dan rambut sahabatnya yang berantakan.
"Sebaiknya kau pulang dulu membersihkan diri. Setelah itu baru ke sini lagi."
Vanya hampir terjatuh dari ranjang mendengar suara bariton di belakangnya. Ia sangat terkejut Leo lagi lagi muncul.
"Tapi Pak, dia belum dipindahkan. Bagaimana nanti kalau ada yang dibutuhkan."
"Biar aku yang menjaganya sementara kau pergi. Aku sedang menunggu seseorang juga di rumah sakit ini."
"Oh. Iya pak. Saya tidak akan lama. Saya akan pulang dulu sebentar." Walau agak janggal dihatinya, Vanya tidak berani protes. Ia pun pulang.
Leo masih berdiri di sisi raungan sempit itu. Ia menatap wajah Dhira yang tertidur pulas.
"Hahhh...hhhhh...hiks...ibu..."
Leo mendekat mendengar Dhira seperti mengatakan sesuatu.
"Hiks hiks ibu..."
"Hei, kenapa kamu menangis? Apakah sangat sakit?" Leo menyentuh dahi Dhira. Dan ternyata ia masih sangat panas.
"Ibu..." Dhira tidak membuka matanya tapi terus bicara.
"Huh dia mengigau. Hei! Bangun! Andhira!" Leo membangunkan gadis itu. Tapi Dhira masih terpejam dengan gelisah.
Leo menggoyang tangan Dhira agar bisa bangun. "Andhira, bangun! Kamu hanya sedang bermimpi."
Bukannya bangun, Dhira malah mengambil tangan Leo dan membawanya ke pipinya. Ditempelkannya telapak tangan lebar dan hangat itu ke pipinya dan mulai sedikit tenang.
"Andhira. Lepasin tanganku. Aku buka ibumu." Leo berusaha menyadarkan Dhira.
"Ibu jangan tinggalkan aku. Aku hanya memiliki ibu. Tolong tetaplah bersamaku." Dhira memindahkan tangan Leo ke atas dadanya dan memeluknya begitu dalam dan hangat.
Leo mendadak bagai tersengat listrik. Dadanya berdebar tak karuan. Saat telapak tangannya merasakan pipi Dhira yang mulus tapi panas sudah membuat jantungnya berdebar. Terlebih saat tangannya berpindah ke bagian dada Dhira. Darahnya seakan meledak merasakan getaran hebat yang membuatnya sangat gugup. Jantungnya benar benar serasa mau melompat dari dadanya.
"****! Gadis ini sangat konyol! Ngapain dia meluk meluk tangan orang! Hei! Bangun! Sadarlah apa yang kamu lakukan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Nuhume
mungkin mksd thor andira, bukan vanya
2023-04-15
1