Tapi ucapannya sama sekali tidak mampu membangunkan Dhira. Ia malah tertidur lagi dalam lelap. Raut wajahnya terlihat sudah rileks, persis orang yang tidur tenang.
"Bisa mati aku! Ini jantung tiba tiba bermasalah." Rutuknya sembari menarik tangannya dari rangkulan Dhira secara perlahan.
"Hufffhh...berhasil. Hohh hohh...kenapa dengan dadaku. Ini tidak bagus. Entah kenapa pula aku paket sok baik tadi. Sekarang malah aku yang terkena masalah. Aku harus pergi. Ini tidak benar. Bisa gagal jantung aku kalau masih di sini terus." Ia keluar dari bilik itu. Tidak perduli lagi dengan keadaan Dhira, ia ambil langkah seribu meninggalkan rumah sakit.
"Permisi Pak! Bapak berpakaian jas hitam!" Suster jaga dibagian informasi menghentikan kaki Leo. Merasa yang disebut sang suster adalah dirinya.
"Iya. Ada apa Sus!" Leo berhenti dan memutar tubuhnya agar berhadapan dengan suster.
"Tolong tanda tangan walinya Pak. Pasien mau dipindahkan ke ruang perawatan. Agar proses pengobatannya segera dilakukan."
"Oh iya." Leo menandatangi berkas itu. Namun setelah selesai ia kembali merutuki dirinya. Menyesal dirinya yang menjadi walinya. Padahal masih ada Vanya yang bisa melakukan itu. Tanpa pikir panjang lagi ia pergi dari tempat itu.
Setengah jam kemudian, Vanya sudah datang bersama keluarganya. Dhira sudah dianggap anak oleh kedua orang tua Vanya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Dhira sudah bangun dan demamnya juga sudah berkurang.
"Udah mendingan Paman. Terimakasih udah datang menjengukku."
"Nggak usah sungkan. Kami adalah orang tuamu di kota ini. Bukankah kewajiban kami memperhatikanmu. Ini makan lah dulu. Tadi pamanmu membeli bubur ini." Ibu Vanya menyuapi Dhira.
"Terimakasih Bi." Mata Dhira berkaca kaca. Terharu dengan kebaikan keluarga Vanya. Betapa dirinya beruntung bisa mengenal mereka.
"Jangan sedih. Ada kami disini. Kami tahu ibumu tidak bisa datang. Makanya kami yang menggantikannya mengurusmu."
Dhira mengangguk. Bagaimana pun ia tidak akan tega memberitahukan ibunya keadaannya saat ini. Ibunya bisa kalang kabut dan yang lebih ditakutkannya adalah kesehatan ibunya terganggu. Lebih baik ia berusaha memulihkan diri agar bisa segera pulih.
Dua jam lamanya mereka berkumpul sambil mengobrol menemani Dhira. Setelah itu, orang tua Vanya pulang. Sementara Vanya menginap di rumah sakit menjaga Dhira.
"Pak Leo ternyata baik ya. Beliau mau turun tangan membantu karyawannya." Celutuk Vanya.
"Pak Leo? Siapa?" Tanya Dhira.
"Pak Leo. CEO di perusahaan kita."
"Oh. Kenapa emangnya."
"Kok kenapa emangnya? Dia yang telah membantumu bisa sampai ke rumah sakit ini. Padahal kalau dilihat setiap hari di kantor, dia itu sangat dingin. Jangankan bicara dengan para pekerja, membalas sapaan aja terlihat enggan. Tapi tadi, dia beda banget. Dia peduli dan mau repot repot menggendong mu."
"Biasa aja mujinya. Matamu menyala-nyala setiap memuji lelaki. Sadar, kamu sudah punya Arga!" Bentak Dhira.
"Siapa yang tidak memuja Leo Atmaja, Dhi? Dia itu pemuda paling tampan dan juga kaya. Ku dengar dia itu belum punya kekasih bagaimana kalau..." Vanya menaik-turunkan alisnya menggoda sahabatnya.
"Huh! Ku adukan kamu sama Arga. Lihat bagaimana Arga memarahi mu."
"Ihhh bukan untukku. Tapi untukmu! Aku akan membuat kalian menjadi pasangan. Bagaimana?"
"Hah! Ada ada aja. Bercandamu nggak lucu!"
"Serius. Setelah kupandang dan kulihat kalian sepertinya cocok." Vanya memeragakan tangan dan wajahnya seperti sedang menerawang.
"Stop bicara itu! Otakmu itu selalu mikirin yang aneh aneh. Diamlah! Aku mau tidur." Bentak Dhira. Sahabatnya ini paling tidak bisa diam, jahil dan cerewet.
"Hahaha...bercanda. Iyalah aku paham. Mana mungkin orang orang kaya sepertinya suka sama kita. Kita hanya diujung kuku mereka."
"Itu tahu. Lagian aku belum tertarik berpacaran. Masih banyak yang ingin kulakukan. Bekerja keras mengumpulkan uang itulah tugas utamaku."
"Iya. Tapi pacaran itu perlu Dhi. Banyak kok sisi positif punya pacar. Kita ada tempat refresing. Ada yang menemani, yang perhatiin, juga menyayangi."
"Yang kulihat semenjak kamu pacaran sama Arga, kamu malah sering marah marah, stres, ngambek belum lagi berantam. Menurutku itu hanya menambah beban hidup. Bukannya semangat kerja malah seperti orang putus asa kalau sedang galau."
"Itu biasa. Namanya bumbu cinta, Penguat cinta. Lihat aku sama Arga Setiap ribut pasti akan baikan lagi dan semakin mesra lagi."
"Halahhh...terserah! Aku mau tidur. Kalau mau pulang, pulang aja. Aku nggak apa-apa sendirian."
"Sahabat laknat. Dibelain ke sini buat nemenin, malah ngusir."
"Habis aku kesel, habis sudah uangku untuk berobat." Sungut Dhira.
"Astaga anak ini. Maksudmu, kamu mau bertahan dengan penyakitmu itu! Yang ada kamu tidak bisa mencari uang lagi. Aku tahu bagaimana pentingnya uang itu, tapi tetap nomor satukan kesehatan. Emangnya kalau sakit kamu bisa kerja?" Vanya marah.
"Nggak sih. Cuma sial banget baru gaji pertama udah dipake untuk berobat."
"Yang sabar. Siapa yang tahu nasib atau takdir seseorang. Tapi yakinlah, bulan depan juga masih ada gaji. Jadi jangan terlalu menyesal. Namanya penyakit harus di obati." Ia tahu Dhira memang belum punya tabungan seperti dirinya. Apalagi sahabatnya ini sekarang sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Bahkan gaji pertamanya sudah dikirimkan separuh ke kampung untuk biaya perobatan ibunya tiga hari yang lalu.
"Kalau uangku tidak cukup tolong pinjamin aku ya. Bulan depan ku bayar." Pinta Dhira dengan suara lirih.
"Tenang aja. Tanpa kamu omongin pun aku sudah tahu." Vanya memegang lengan Dhira. "percuma kita sahabat kalau tidak saling membantu."
"Makasih. Kamu memang sahabat terbaikku."
"Hem. Sudah istirahatlah. Biar cepat sembuh."
***
Selama seminggu Dhira dirawat akhirnya bisa pulang dan sudah sembuh. Dan yang paling membuat Dhira bahagia adalah uangnya yang tinggal sejuta tetap aman berada di dompetnya, karena yang membiayai seluruh pengobatan dan ganti rugi perbaikan motor Vanya adalah yang membuatnya celaka. Ternyata pria itu mengaku telah salah dan akan menanggung seluruh kerugian Dhira. Meski ia tidak sempat melihat si pelaku, tapi dalam hati ia bersyukur dan berterima kasih telah bertanggung jawab. Sesuai perkataan Vanya, yang mengurus semuanya adalah Leo sang CEO yang entah seperti apa orangnya. Ia belum mengenal lelaki itu.
"Van, karena aku sudah sehat tanpa keluar biaya, maka aku akan mentraktirmu. Mau nonton, atau makan, atau..." Saat pulang kerja Dhira mengajak Vanya.
"Nonton aja. Udah lama kita nggak nonton bareng."
"Oke. Tapi kamu nggak kencan apa? Malas kalau ada Arga. Aku terabaikan."
"Hahaha...sengsara juga kan? Makanya punya pacar, biar kita bisa jalan bareng."
"Nggak jadilah. Kapan kapan traktirannya." Dhira memilih mundur.
"Nggak. Arga lagi ke luar kota. Kita nonton berdua. Oke say..."
"Sungguh? Awas kalau bohong!"
"Suer. Malah udah empat hari dia perginya."
"Baru seru!! Yuk! Langsung atau mandi dulu." Tanya Dhira.
"Mandi dululah. Masa bau asem begini nonton. Nggak nyaman."
"Kita ketemuan di bioskop aja."
Mereka berpisah pulang ke rumah masing masing.
Dhira memanggil ojek yang sering mangkal di depan perusahaan untuk memberi jalan bagi karyawan yang tidak memiliki kendaraan sendiri.
Sebuah motor bebek mendekatinya dan memberinya helm.
Dhira memakai dan naik. "Ke perumahan melati pak. Depan pasar."
"Iya neng."
Melaju selama sepuluh menit, Dhira menyetop ojek karena merasa jalan yang mereka lalui salah.
"Pak, kenapa Simpang kiri? Pasar ada di Simpang kanan."
Pria yang membawa motor diam saja. Malah menambah kecepatan motor sehingga melaju bagai angin.
"Pak!!! Berhenti! Aku suruh berhenti!!!" Teriak Dhira. Ia merasa ada yang tidak beres.
"Diam!!!" Teriak pria di depannya.
Mendengar suara itu seperti sangat marah, Dhira memilih diam. Percuma ia berteriak karena bagaimanapun pria itu tidak akan berhenti.
Setelah tiba disebuah tempat yang lumayan sepi, motor itu berhenti. Dhira langsung melompat turun. Ia berdiri dengan tegak menunggu pria itu membuka helm.
Nampaklah seorang pria yang masih muda dari balik helm. Ia tidak mengenali pria itu.
"Apa-apaan ini? Kenapa membawaku ke sini?" Tanya Dhira dengan nada marah.
"Kau mau tahu? Baiklah. Karena kau akan ku bunuh!"
"Hah? Bunuh? Kamu pikir membunuh itu semudah mengucapkan. Siapa kau? Ada urusan apa dengan ku?" Sedikitpun Dhira tidak gentar. Ia malah menantang pria itu dengan wajah garang.
"Kurang ajar! Kau pantas dilenyapkan! Gara gara kau aku kehilangan banyak." Pria itu melayangkan tangannya menampar pipi Dhira.
Tapi Dhira menangkap tangan pria itu. Dicekalnya kuat lengan itu hingga membuat si empunya tangan menjerit kesakitan. "Jelaskan siapa kau dan apa tujuanmu!" Ia memelintir tangan pria itu. Matanya memancarkan kemarahan.
"Kurang ajar! Kau harus diberi pelajaran!" Tangan pria itu menarik rambut Dhira.
Bukkk
Merasa perlu bertindak, Dhira menendang perut pria itu. "Cobalah kalau berani! Lebih dulu ku patahkan tangan sama kakimu!" Dhira melayangkan tendangannya lagi ke dadanya.
Pria itu ambruk. Tapi tidak menunjukkan mengalah. Ia bangkit dan menarik sesuatu dari kantong jeans nya. Sebuah belati ditunjukkannya untuk mengalahkan Dhira.
"Begitu senangnya kau menikmati uangku! Kau harus membayar semua kerugian ku. Aku tidak rela!" Teriak pria itu sembari berlari menghunuskan belatinya ke arah Dhira.
"Masih terang begini kau sudah mabuk. Uang apa yang kau bicarakan?" Setelah bicara Dhira maju tiga langkah dan menyepak pipi pria itu.
"Bang*at! Gara gara kamu aku kehilangan segalanya. Aku tidak rela! Uangku habis untuk kalian berdua! Dasar lintah. Kalian menikmati uangku tanpa ragu ragu! Sekarang aku tidak akan mengampuni mu!"
"Heh! Sadar bung! Apa yang kau bicarakan? Uang apa?" Dhira bertanya. Ia bingung dengan maksud pria itu.
"Kamu hanya celaka sedikit! Itupun penyakitmu bukan akibat dari kecelakaan. Kalian memerasku! Lima ratus juta itu tidak sebanding!"
"Lima ratus juta? Aku tidak mengerti apa maksudmu!"
"Diam!!! Kembalikan uangku! Atau mati saja."
"Heh! Coba aja kalau berani!" Tantang Dhira. Sekarang ia sudah mulai mengerti apa yang dimaksud pria itu.
"Wanita berengsek!" Pria itu berlari dengan belati ditangannya dan menghujam ke dada Dhira.
Tapi lagi lagi si pria terpental mundur oleh kaki Dhira yang kuat. Tidak sedikitpun ia memberi jarak padanya untuk melukai dirinya. Tidak hanya di situ, ia juga mengkarate sekaligus menendangnya hingga membuatnya terkapar di tanah.
"Jangan sok belagu kuat! Pakai otakmu! Ganti rugi yang kau bayar bukan hanya untuk biaya perobatan rumah sakit. Tapi juga ganti rugi motor dan mobil seseorang." Dhira menginjak dada pria itu.
"Tidak mungkin habis sebanyak itu. Dasar kalian bersekongkol memerasku! Itupun tidak cukup aku dipecat dari tempatku bekerja! Siapa yang terima diperlakukan begitu? Soal kecelakaan aku sudah bertanggung jawab, tapi kenapa harus memutus mata pencaharian ku!!!" Teriak pria itu seperti orang kesetanan. Emosi juga rasa sakit dari tekanan kaki Dhira membuatnya hilang akal.
"Perihal itu aku sama sekali tidak tahu-menahu. Kau salah orang menyerangku." Dhira melepaskan kakinya dan pergi dari tempat itu. ia berjalan kaki hingga ketemu ojek lagi.
***
Dering ponsel Dhira entah sudah berapa kali berbunyi. Ia tidak menjawab panggilan dari Vanya karena ia tahu sahabatnya pasti akan berteriak teriak padanya karena belum juga tiba di mall tempat mereka menonton. Ia terus saja berganti pakaian hingga selesai dan segera naik ojek ke mall.
"Alangkah lamanya kamu ini! Aku sudah menunggu setengah jam di sini." Vanya langsung menyambut Dhira dengan ocehannya.
"Ada masalah tadi. Selesaikan dulu baru ke sini. Sabar dong, ini juga kan filmnya belum mulai."
"Iya sih. Cuma kesel kayak orang gak laku dari tadi."
"Oke. Sekarang kita beli tiket. Dan masuk bagaimana?"
"Iya. Aku akan beli minuman dan pop corn." Vanya langsung adem.
Setelah mendapat tiket, mereka masuk dan bersiap menonton. Mereka berdua sama sama suka genre action. Jadi, bisa menikmati bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Nuhume
🤣🤣🤣🤣
2023-04-15
1