Pemilik Cinta
Andhira tidak menyangka akan berkenalan dengan seorang pria bernama Leo Atmaja yang ternyata bosnya sendiri di perusahaan tempatnya bekerja. Berawal dari sebuah kecelakaan, hingga pertemuan berikutnya terus berlanjut.
Mempunyai dua sahabat yaitu Vanya dan Ara. Mereka bertiga sama sama terpaut usia yang berbeda. Meski usia mereka terpaut setahun tidak membuat persahabatan mereka terhalang. Vanya yang paling tua, berusia dua puluh tiga tahun. Dhira sendiri baru saja diterima bekerja disebuah perusahaan garment besar sebagai staff administrasi, satu divisi dengan Vanya.
Ia sangat bersyukur dapat pekerjaan diperkantoran terkenal mengingat dirinya hanya lulusan diploma tiga. Sedangkan Ara sahabatnya masih kuliah masuk semester empat.
Cerita ini mengisahkan tentang perjuangan Andhira akan hidup dan cintanya. Perbedaan yang ada membuat hubungannya dengan Leo mengalami kesulitan. Makin rumit lagi tenyata keluarga Leo dan Ara berhubungan dengan masa lalu sang ibu yang bernama Amelia.
Ia berasal dari Lampung. Sangat jauh di pegunungan di kabupaten Lampung barat, Liwa. Ibunya hanya seorang petani kopi di daerah itu. Meski hanya memiliki sehektar tanah, dengan ketekunan mereka bisa hidup baik. Buktinya dirinya bisa kuliah hingga selesai dari hasil perkebunan itu.
Sekarang ini, ia sedang berusaha menabung untuk membeli rumah. Suatu hari ia akan mengajak ibunya hidup bersama di kota Jakarta. Sebab itulah, ia sangat tekun bekerja dan berhemat demi menyimpan selembar dua lembar uang pencahariannya.
Rintik rintik hujan membuat tidur Andhira disapa Dhira makin nyenyak. Rasa hangat dan nyaman membuainya hingga lupa waktu. Tidak biasanya ia terlambat bangun, tapi kali ini mimpinya tidak membiarkannya sadar walau hari sudah hampir jam tujuh tiga puluh.
Kring kring kring...
Ponsel miliknya beberapa kali berdering.
Sayup-sayup suara itu memasuki alam mimpinya. Makin lama makin jelas dan keras di gendang telinganya. Perlahan tubuhnya bergerak dari miring menjadi terlentang dengan guling tetap menempel padanya karena tangannya memeluk benda itu dengan erat.
"Isshhh...bersisik. Ada apa sih?" Dengan kesadaran yang masih pecah ia mengoceh namun enggan membuka mata. Serasa kelopak matanya ada lem yang begitu erat sehingga sulit untuk dibuka.
Dering ponselnya masih bernyanyi dengan keras.
"Astagaaaa...siapa sih yang menggangguku?" Tangannya meraba ke atas kepalanya mencari ponselnya yang sangat berisik.
"Halo..." Ucapnya begitu menekan ikon menjawab.
"Dhi, aku pergi ke kantor bersama Arga. Nggak usah jemput aku ya. Ingat ngisi bensin motor itu. Kemarin kayaknya tinggal dikit." Vanya berucap dengan cepat.
"Hm." Sahutnya dengan santai. Tapi tiba tiba ia terlonjak, langsung bangun dan duduk dengan mata terbelalak. "Apa? Kamu udah berangkat? Haduhhhh...mampus aku!" Jeritnya tanpa menghiraukan suara Vanya yang masih berbicara. Tanpa aba-aba, ia melempar ponselnya ke sembarang tempat dan berlari keluar dari kamar dengan handuk di tangannya.
Lima belas menit kemudian, Dhira sudah selesai dan bersiap berangkat. Untung ia bukan tipe gadis yang suka berdandan terlalu medok alias menor, sehingga waktunya bisa lebih singkat.
"Uhhh...untung ada motor Vanya. Aku bisa lebih cepat dari pada naik bus atau ojek." Ucapnya sembari menuntun motor bebek berwarna merah keluar dari teras kontrakannya. Ia menghidupkan motor dan mengisi bensin di depan rumahnya kemudian berangkat.
Ia menarik gas hingga habis, tidak sabar segera tiba di perusahaan. Ia takut terlambat. Apalagi dirinya baru diterima sebulan bekerja.
Di persimpangan, ia mengambil jalan lurus sesuai rambu lampu lalu lintas. Sudah lewat separuh jalan tiba tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kirinya. Hanya beberapa detik, mobil itu menghantam motornya.
Jantung Dhira berdegup keras menyadari mobil itu akan menabraknya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia menyerongkan stang motor ke arah kanan dengan laju cepat yang penting tidak terlalu telak di tabrak. Triknya berhasil, tapi sayangnya malah membentur mobil sebuah mobil.
Ia tergelincir terbawa motor, derit gesekan antara motor ke aspal terdengar mengerikan.
Beberapa pengendara memekik ketakutan melihat kejadian itu. Bahkan ada yang berhenti dan berbaik hati mendekati Dhira yang masih tergeletak di aspal dengan posisi motor mengapit diantara ke dua kakinya.
Begitu juga dengan yang punya mobil yang ditabrak oleh Dhira. Seorang pria berpenampilan rapi dan berpostur tubuh besar dan tinggi turun dari mobil dan mendekat ke kerumunan orang orang. Ia adalah Leo Atmaja yang sedang dalam perjalanan menuju kantor. Mengambil jalan kecil yang setiap hari di lalui Dhira karena ada urusan dengan seseorang di daerah itu.
"Ayo bantu! Sepertinya dia pingsan!" Teriak salah satu dari mereka.
Tapi diantara mereka tidak ada yang bergerak. Semua berdiam entah enggan atau takut.
"Begitu senangnya kalian menyaksikan orang mati!" Bentak Leo sembari menundukkan tubuhnya dan membuat motor berdiri. Hanya sekali angkat motor itu telah berpindah melepas Dhira yang masih tergeletak.
Dhira bergerak pelan. Ternyata gadis itu tidak pingsan. Ia hanya tidak bisa bergerak karena kakinya yang terjepit. Untung ia menggunakan helm sehingga bagian kepalanya tidak kenapa kenapa.
Leo membantu Dhira bangkit dan mendudukan gadis itu di batalan jalan.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Leo.
Dhira menggeleng pelan. Mungkin karena kepalanya masih dibebani helm sehingga berat.
"Tanganmu berdarah. Dan kakimu pincang. Anda perlu ke rumah sakit."
Lagi lagi Dhira menggeleng. "Hanya sakit sedikit."
Leo cukup terpengarah dengan suara merdu dari dalam helm. Ia kira wanita itu adalah ibu ibu yang sudah berumur. Ternyata dari suaranya ia bisa duga wajah dibalik helm itu masih muda bahkan sangat muda.
"Tanganmu berdarah."
"Hanya luka kecil. Aku harus bekerja." Dhira merapikan pakaiannya.
"Tidak bisa. Kalau kamu baik baik saja maka lihat bagaimana keadaan mobilku." Leo meminta pertanggung jawaban dari Dhira.
"Maaf?" Dhira mendongak. Terlihat wajahnya yang putih dari balik kaca helm.
"Kamu menabrak mobilku hingga rusak begitu. Mobil itu butuh perbaikan."
"Maaf...aku benar benar minta maaf. Aku tidak sengaja melakukannya. Itu karena aku hampir tertabrak sehingga terjadilah benturan itu."
"Tidak ada alasan apapun. Yang jelas menabrakku adalah kamu." Leo bertahan.
"Pak...aku hanya orang kecil yang tidak punya apa-apa. Jangankan untuk membayar kerugian mobil Bapak, untuk biaya berobatku saja aku tidak punya. Lihat kakiku bengkak" Dhira membuka sepatu pantopel dari kakinya dan menunjukkan kakinya yang memerah dan bengkak. "Ini juga tanganku luka. Aku mohon Pak, lepaskan aku, aku harus pergi bekerja, kalau tidak aku akan kena pecat." Suara memelas Dhira membuat Leo tidak bisa berkata-kata.
"Tidak bisa!" Leo ternyata tidak semudah itu dibujuk. "Setiap kesalahan harus dipertanggung jawabkan." Ucapnya dengan tegas.
"Pak...kasihanilah aku..." Dhira berdiri. Ia berjalan terpincang hendak melihat kerusakan mobil itu. Tapi baru tiga langkah ia tidak bisa berjalan lagi. Kakinya sangat sakit, serasa mau patah. "Auhhh..." Keluhnya sambil menahan rasa sakitnya.
"Jangan berpura pura! Barusan kamu bilang kamu baik baik saja."
"Hohhh...astaga. Jangan pancing aku marah! Ku bilang ini sangat sakit!" Teriak Dhira. Ia sama sekali tidak berbohong. Kakinya memang terkilir dan sulit untuk berjalan.
"Aku bingung mana yang benar. Dua alasan berbeda untuk menghindariku. Aku tidak bodoh. Jangan pikir kamu bisa lepas dariku. Dasar manusia pengecut, penipu!"
Dhira terpancing emosi. Dengan kasar ia membuka helm dari kepalanya. Nampaklah wajahnya yang cantik dan putih. Lengkap dengan mata sipit juga hidung mancung. Matanya menatap garang pada Leo dengan raut wajah marah.
'Em, ternyata dia masih belia.' dalam hati Leo memberi nilai dengan gadis yang baru dilihatnya itu.
"Aku bukan penipu atau pengecut! Katakan berapa aku harus membayarmu!" Dhira marah di anggap penipu. Ia paling tidak suka ada yang menganggapnya remeh.
Dering ponsel Dhira di dalam tas, mengalihkan perhatiannya. Dengan terburu-buru ia membuka tas dan mengambil ponsel tanpa sadar ID card miliknya terjatuh di aspal. Mata elang Leo langsung bisa mengenali kartu itu karena logo dan nama perusahaan yang tertera di kartu kecil itu. 'Andhira, nama yang unik. Simpel tapi bagus.' Leo mengomentari nama Dhira.
"Dhira kamu dimana?" Tanya Vanya begitu Dhira mengangkat telepon.
"Masih di jalan."
"Ini sudah jam masuk. Cepat! Bu Faris mencarimu!"
"Iya. Aku akan segera datang." Dhira menyimpan ponselnya kembali.
"Dengar Mas, Pak, Tuan, aku hanya seorang wanita miskin. Aku tidak punya uang. Kalau aku harus mengganti rugi maka akan ku bayar. Tapi untuk sekarang aku tidak punya apa apa. Aku akan mengumpulkan uang untuk membayarmu. Katakan dengan jaminan apa, agar aku bisa pergi sekarang." Ucap Dhira serius. Matanya menatap ke mata Leo menandakan ia tidak main main.
"Hm. Sudahlah. Lupakan saja. Aku bukan penindas atau manusia kejam."
"Benarkah? Oh terimakasih. Sekali lagi maafkan aku." Dhira mengatupkan kedua tangannya sebagai ucapan terimakasih, sehingga memperlihatkan punggung tangannya yang masih berdarah segar. Serta lengan kemejanya yang sobek sedikit dan kotor.
Ia mengambil helm dan memakainya kembali. Dengan kaki pincang ia menuju motor. Sambil berjalan ia memohon dalam hati. Agar motor itu dapat dipakai.
Setelah mencapai motor, ia menstater bagian menghidupkan motor namun tidak kunjung hidup. "Astaga...bagaimana ini? Apa aku naik ojek aja. Lalu motor ini ku apakan? Kalau kutinggal bisa hilang dan aku harus menggantinya untuk Vanya. Tidak...kau harus hidup. Hayolah!" Dhira berbicara pelan sambil terus memencet tombol start.
Tidak habis akal, ia menarik kaki kanan dan berniat mengengkol secara manual.
"Hassss...sakit!!!" Erangnya. Kakinya yang sakit makin sakit saat menginjak dengan kuat. Usahanya tidak menimbulkan efek apapun. Motor itu masih berdiam.
"Ini kartumu." Leo menyerahkan kartu bertali berupa kalung itu. "Tidak usah berangkat kerja. Itu lukamu makin banyak darah. Kakimu juga sepertinya memang keseleo!"
"Siapa kamu mengaturku? Sok tahu kerjaan orang. Dari pada dipecat lebih baik menahannya!"
"Diperusahaan manapun, ada izin untuk karyawan sakit. Kondisimu sudah termasuk sakit. Makanya pergi ke rumah sakit."
"Kalau tidak ada urusan lagi pergilah. Kamu hanya menggangguku saja." Usir Dhira. Ia kembali mengengkol motor tapi yang ada kaki kirinya malah terpeleset. Motor itu miring dan hampir terjatuh menimpa kakinya. Untung Leo segera menahan buntut motor sehingga tidak sampai terjatuh.
"Terimakasih."ucap Dhira ngos-ngosan dengan wajah memucat.
"Gadis keras kepala. Libur aja sehari atau dua hari agar lukamu sembuh dulu!"
"Hah! Nggak tahu aja kamu, gimana sintingnya atasanku. Aku bisa di cincangnya jika tidak masuk, kecuali aku sudah sekarat."
"Kondisimu sekarang sudah sekarat Nona. Lihat kakimu sudah ikut berdarah." Tunjuk Leo ke pergelangan kaki Dhira.
"Nggak usah mengaturku! Kalau mau bantu tolong antar aku atau hidupkan motor ini!" Bentak Dhira. Kesal campur khawatir membuatnya naik tensi.
"Ayo ku antar ke rumah sakit." Leo menarik tangan Dhira bermaksud membawa gadis itu ke mobilnya.
"Stop! Jangan pegang-pegang! Urusi urusanmu sendiri. Kenal nggak, sok akrab!"
"Hah terserah deh!" Leo berpindah ke sisi motor Dhira dan mengengkol motor. Sekali diinjak, motor itu hidup.
Dhira bernafas lega. "Coba dari tadi di bantuin, aku nggak akan semakin terlambat. Habislah aku di maki Bu Faris. Salah sedikit aja, wanita itu bisa mengamuk apalagi salah banyak. Bisa dimakan hidup-hidup aku." Dumel Dhira sambil menaiki motor bebek itu dan mulai menjalankannya. Suara berisik dari sayap dan body motor yang pecah berperang mengalahkan suara mesin motor.
Leo geleng kepala melihat Dhira yang tidak peduli dengan lukanya. Padahal, bisa dipastikannya perih dan sakit cukup lumayan dari luka itu. "Andhira... cewek aneh tapi lumayan tangguh." Ucapnya sembari masuk ke mobilnya dan berangkat kerja.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Nuhume
sehektar tuh banyak thor 😫😭😭
2023-04-15
1