Vanya maupun Dhira terperanjat mendapat bentakan keras dari Leo. Vanya terbirit-birit berlari ke arah mobil Leo.
Sementara Dhira masih berdiri ditempatnya.
"Aku sedang pusing, tolong jangan bertingkah! Naiklah! Temanmu sepertinya trauma." Leo menekan suaranya agar tidak terlalu keras lagi.
Tapi keraguan masih melingkupi wajah Dhira. Ia tidak juga bergerak.
"Ayo! Jangan keras kepala!" Leo menarik tangan Dhira agar masuk ke mobil.
Namun kaki mereka terhenti saat mendengar suara Rendra. "Katakan di mana Nayla saat ini!"
"Aku tidak bisa mengatakannya. Itu adalah permintaan Nayla."
"Tolong...aku ingin melihatnya." Ratap Rendra.
"Aku tidak mau mengecewakannya. Dia bilang, sangat ingin dengan tenang meninggalkan dunia ini bila sudah tidak diijinkan hidup."
"Haaaaa...aku mohon, katakan dimana dia. Huuuu..." Rendra menangis.
Leo menarik nafas dalam. "Berdoalah agar dia selamat. Dia berjanji akan menemui dan memulai dari awal denganmu bila dia hidup." Leo melangkah dengan cepat setelah mengatakan itu, malas bicara lebih banyak lagi.
Di dalam mobil hening. Kesunyian mengisi mereka bertiga. Hanya bising deru mobil yang terdengar. Leo menyetir dengan rahang terkatup rapat. Nampak ia masih diselimuti kemarahan.
Vanya dan Dhira duduk di kursi tengah dengan mulut terdiam rapat.
Apalagi dengan Dhira. Barusan ia tahu kalau Leo yang membatunya ketika kecelakaan tempo hari adalah CEO perusahaan tempatnya bekerja. Ia baru tahu dan baru melihat sosok CEO mereka. Ada rasa malu dan menyesal dalam hatinya karena telah melawan Leo berdebat beberapa kali.
Hingga sampai di sebuah klinik.
"Obati lukamu. Jika kau sakit lagi, yang rugi bukan orang lain. Tapi kamu sendiri." Setelah bicara Leo turun dari mobil. Ia membuka pintu disisi Dhira.
Dhira terperanjat mendapati Leo berdiri tepat di sisinya. Kakinya yang sempat turun kembali dinaikkannya lagi.
"Apa kamu bisa jalan sendiri?" Tanya Leo.
"Bi-bisa Pak." Jawab Dhira tergagap.
Leo mundur beberapa langkah memberi Dhira jalan.
Dhira turun dengan kepala tertunduk. Ia terus berjalan hingga ke klinik mengikuti Vanya didepannya.
Tidak lama luka di bahunya sudah dibalut dan diberi obat. Dhira buru buru ke kasir membayar perobatannya.
"Sudah? Biar ku antarkan sekalian ke rumah kalian."
"Tidak usah Pak." Mereka berdua menjawab bersamaan.
"Naiklah! Ini sudah tengah malam. Bagaimana kalau ada apa-apa."
"Tapi Pa...kami telah merepotkan Anda." Dhira tetap menundukkan kepalanya.
"Sudah seharusnya. Selain kalian wanita, kalian juga bekerja di kantorku. Keselamatan kalian juga tanggung jawabku, meski tidak seutuhnya."
Dua gadis itu tidak bisa mengelak. Dengan sungkan mereka kembali masuk ke mobil mewah Leo hingga ke rumah Dhira.
"Terimakasih Pak. Sudah repot menolong kami." Ujar Dhira sebelum turun.
"Hm." Leo hanya bergumam pelan.
Sepeninggal Leo, Vanya langsung heboh membicarakan Leo. "Uummm...Leo manis banget. Ternyata dingin begitu dia pria perhatian dan penyayang."
Dhira tidak menggubris ocehan Vanya. Ia sibuk membuka sepatu dan langsung masuk ke kamar mengambil handuk.
"Aduh malam ini aku tidak akan bisa tidur kayaknya. Pikiranku melayang mengingat wajah tampan seseorang." Hingga Dhira selesai mandi Vanya masih terus bicara tentang Leo.
"Pria sana yang tampan kamu yang sakit. Dasar! Sana mandi! Otakmu itu sudah sengklek!" Dhira melemparkan handuk ke wajah Vanya.
"Habis dia ganteng bangat Dhi. Cara bicaranya itu lho, gimana gitu...bikin hatiku klepek-klepek."
"Arga...lihat kekasihmu ini, sedang tergila gila pada pria lain." Dhira mengambil ponselnya.
"Hei kamu mau apa?" Vanya merebut ponsel Dhira. "Sahabat jahat. Dikit dikit ngadu." Mata Vanya terlihat ketakutan.
"Apaan sih. Aku mau main hp. Sini hp ku itu!"
"Awas ngomong macem-macem sama Arga."
"Takut juga kamu! Mulutmu itu terlalu manis memuji lelaki lain."
"Hehehe...lelaki lain cakep dan ok. Tapi tetap yayang Arga yang nomor satu. Jadi, tenang...aku tidak mungkin menyukai si Leo itu. Ambil untuk mu aja."
"Ck! Stres kawan ini." Dhira mendorong Vanya ke luar dan menutup pintu. Kupingnya sakit mendengar ocehan tak berarti dari sahabatnya itu.
***
Leo memasuki rumahnya. Ia tidak tinggal serumah dengan orang tuanya. Hubungannya dengan kedua orang tuanya semenjak lima tahun lalu kurang harmonis. Ia marah pada mereka, karena selama dua puluh tahun dirinya telah dibohongi tentang adiknya.
Dari usia delapan tahun ia mengetahui adiknya sudah meninggal. Meninggal dua hari setelah dilahirkan saat masih berada di rumah sakit. Menyandang anak tunggal selama ini membuatnya benar benar dimanja dan selalu dinomor satukan.
Tapi kenyataannya sangat berbeda. Tak sengaja mendengar pembicaraan papi maminya membuatnya tidak habis pikir dan marah. Bayi yang merupakan adiknya itu ternyata masih hidup. Mengetahui itu, ia menjadi ingin lebih tahu dan bertanya. Namun ke dua orang tuanya tidak memberinya apapun. Mereka hanya mengalihkan topik.
Awalnya Leo bersabar dan menunggu waktu yang tepat bagi papi maminya untuk berterus terang. Namun hingga sekarang tidak ada penjelasan apapun sehingga membuatnya seperti orang bodoh.
Ia merasa kehidupan keluarganya adalah palsu. Terlihat dari luar begitu sempurna dan bahagia, bagai tak kekurangan apapun. Namun inilah aslinya, keluarganya sangat aneh dan dipenuhi kebohongan. Bahkan timbul dipikirannya, dirinya sengaja disekolahkan diluar negeri agar dari sekolah menengah atas hingga kuliah agar tidak mengetahui kebenaran tentang keluarganya.
Dari kecil ia sudah hidup bersama dengan Nayla. Gadis seumuran dengannya yang begitu mencintainya. Namun di hatinya tidak sedikitpun memandang Nayla dengan cinta. Ia menyayangi gadis itu dengan tulus hanya sebatas adik.
Hingga suatu hari, tepatnya setahun yang lalu ketika mereka berdua baru beberapa hari tiba dari London, Nayla mengalami hal tragis. Gadis itu dilecehkan oleh Rendra hingga hamil. Tidak ada pilihan lain selain harus menikahkan mereka berdua.
Ternyata itu tidak membuat Nayla bahagia. Pertengkaran selalu terjadi. Nayla tidak bisa menerima kehidupannya yang harus menjalani hidup dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya. Ditambah Rendra tak lebih dari seorang brengsek yang menyukai uang dan suka minum minum.
Sama halnya dengan Rendra yang selalu dibakar cemburu karena istrinya lebih memihak Leo dari padanya dirinya. Keluarga yang bagai neraka itu hancur ketika Nayla keguguran. Tidak ada lagi yang perlu dipertahankan, Nayla berkeras meminta cerai. Namun Rendra tidak rela. Ia tidak rela istrinya pergi darinya setelah mengalami banyak kerugian finansial mulai dari menikah hingga semua perobatan Nayla selama sakit hingga biaya rumah sakit saat keguguran. Apalagi otaknya selalu curiga istrinya punya hubungan manis dengan Leo. Semakin membuatnya tidak membiarkan Nayla pergi darinya.
Itulah singkat cerita antara Leo, Rendra dan Nayla. Selama empat bulan Nayla terkatung katung, Leo lah yang selalu ada untuk membantu dan menasehatinya. Keinginannya untuk bercerai dari Rendra tidak seutuhnya didukungnya. Apalagi saat sudah tahu kalau wanita itu sedang sakit. Penyakit liver yang dideritanya selama ini tidak terlalu berbahaya. Namun dua bulan yang lalu dokter mengatakan Nayla sudah berada ditahap kritis. Teryata selama ini wanita itu menutupi kalau ia mengidap penyakit kanker hati.
Leo menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia memijit kepalanya yang berdenyut keras. Pikirannya sedang kalut. Ia berada diantara pilihan berat.
Nayla menolaknya ikut ke Jepang melakukan operasi. Dirinya boleh ikut hanya dengan satu syarat, jika operasinya berhasil, maka ia harus menikahi wanita itu setelah resmi cerai dengan Rendra.
Syarat yang sangat berat untuknya. Ia menginginkan Nayla sehat kembali. Tapi, menikahnya tidak mungkin. Bukankah sama saja menjerumuskan Nayla nantinya. Bisa saja dirinya berubah membenci wanita itu hingga berujung menyakitinya jika memaksakan dirinya.
"Hahhh...kehidupan macam apa ini?'
"Kenapa kamu mencintaiku Nay. Begitu banyak lelaki lain yang suka padamu kenapa harus memilihku." Ucapnya sambil memejamkan mata.
"Kamu tidak tahu, betapa ini sulit bagiku." Leo meraba kepalanya yang hampir pecah. "Mungkin aku akan lebih menyakitimu dibanding Rendra."
Leo menerawang sebentar "Memberitahukan Rendra adalah pilihan terbaik. Bagaimanapun mereka adalah suami istri. Yah, besok aku akan bicara dengannya."
"Sekarang aku mohon padamu mata, terpejam lah. Buat aku tidur agar otakku ini beristirahat. Please....ya..."
Ia menggulingkan tubuhnya hingga tertelungkup ke ranjang memaksa matanya terpejam. Entah sudah berapa malam ia tidak bisa tidur.
***
"Leo..."
"Leo...."
Samar samar namanya terdengar dipanggil. Pemuda yang masih mengenakan pakaian kerja itu mengerjap malas. Rasanya tidurnya masih mau berlanjut.
"Leo bangun!!"
Leo sontak mengangkat kepalanya dan memaksa matanya terbuka. Netranya menangkap sosok kabur di depannya. Ia menggosok matanya agar lebih terang.
"Ini Mami. Sudah jam sepuluh masih tidur. Kamu ini berantakan sekali. Lihat pakaianmu masih baju kerja yang kemarin." Meli mami Leo yang datang.
"Kenapa Mami ke sini?" Tanyanya dengan dingin. Padahal dalam hati ia berteriak karena kesiangan bangun.
"Pertanyaan macam apa itu? Memangnya Mami tidak boleh ke sini?"
"Kalau nggak penting mending nggak usah." Leo bangkit dan mencopot jas dari tubuhnya dan melemparnya ke ranjang.
"Nak, kamu sekarang makin kasar. Apa nggak menyesal memperlakukan kami seperti ini?" Tanya Meli dengan sedih.
"Kalian aja tidak pernah menyesal. Sama kan?!" Ujar Leo sengaja membuat maminya tertohok.
Meli terdiam seribu bahasa. Lehernya bagai tercekik. Untuk menghilangkan kegugupannya, ia bergerak mengumpulkan pakaian putranya dengan sabar. "Mami hanya ingin tahu perkembangan Nayla. Kamu diteleponin nggak nyahut-nyahut. Mami terpaksa ke sini."
"Kenapa emangnya?" Tanya Leo.
"Bukankah dia akan ke jepang?"
"Iya. Lusa dia akan berangkat."
"Lalu apakah kamu sudah persiapkan segalanya? Pekerjaanmu atau yang lainnya?"
"Aku tidak ikut."
"Lalu dia bersama siapa?" Tanya Meli dengan nada meninggi.
"Ada suaminya. Rendra lebih berhak ikut." Sebenarnya maminya lah yang membuat Nayla selalu berharap banyak dari Leo.
"Tapi Nayla tidak ingin itu."
"Mi, jangan terlalu ikut campur urusan rumah tangga orang. Belum tentu yang Mami lakukan membantu. Malah sebaliknya, makin runyam."
"Lho kenapa tiba tiba begitu? Bukankah selama ini kita memang mengurus Nayla?" Meli merasa putranya memendam cinta terhadap Nayla karena sudah sah menjadi istri Rendra. Itulah sebabnya ia ingin mengubah kisah dua anak muda yang disayanginya itu.
"Iya. Tapi masalah sekarang biarkan mereka berdua aja. Kita hanya sebagai penonton saja."
"Tapi Nayla bilang akan bertahan hidup bila kau yang menemaninya."
"Haahhh...jangan jangan ini semua ide Mami. Kalian semua membuat hidupku rumit! Asal Mami tahu, aku sudah punya calon istri. Jangan gara gara sikap Mami yang berlebihan membuat hubungan ku dengannya rusak! Aku punya hidup sendiri Mi, tolonglah mengerti!" Bentak Leo sambil berlalu ke kamar mandi dan menghempaskan pintu dengan kasar.
Meli dengan sedih duduk di pinggir ranjang putranya. Ia memandang kosong ke pintu kamar mandi. "Mami lihat, kamu hanya dekat dengan Nayla. Ku kira kamu menyukainya lebih dari apapun."
Meli menghela nafas berat. Ia bangkit dan membereskan tempat tidur.
Di kamar mandi, Leo mengguyur tubuhnya di bawah shower dengan mata terpejam. Dadanya masih memburu karena meredam emosi. Ia takut terlalu kelepasan terhadap Maminya.
"Semoga dengan kebohongan tentang wanita yang aku katakan, Mami tidak mengusikku lagi." Bisiknya sembari berpindah ke cermin.
Ditatapnya wajah tampan di depannya dengan tatapan tajam. Makin menajam ketika matanya melihat perubahan di cermin. Perlahan tangannya mengusap cermin. "Hah...gila, kenapa wajah Andhira berseliweran di kaca ini." Tanyanya dengan tampang konyol. Yah, tiba tiba saja wajahnya berubah menjadi wajah Andhira saat di cermin. Ia menggeleng merasa aneh dengan mata dan otaknya.
"Pengaruh gadis itu terlalu kuat. Bahkan semalam aku memimpikannya. Hehe...aku mulai gila kayaknya." Ucap lagi setelah memakai handuk kemudian keluar dari kamar mandi. Yah itu yang membuatnya tidur begitu lama. Ia bermimpi bersama Andhira sedang liburan dan naik kapal pesiar.
Ia lega begitu tahu Maminya sudah pergi. Kenyamanannya selalu terusik saat berhadapan dengan tiga orang yang selama ini dekat dengannya. Pilihan menyendiri membuatnya sedikit bisa tenang dan bebas.
Setengah jam kemudian, Leo sudah ada di perusahaan. Dengan wajah kaku seperti biasanya ia melewati bagian loby hingga ruang resepsionis tembus ke lift.
"Maaf Pak, lift sedang bermasalah untuk sekarang. Jika tidak keberatan Anda bisa naik dengan lift satunya." Seorang petugas keamanan memberitahukan padanya.
Tanpa mengatakan apapun, Leo berputar haluan dan masuk ke lift yang biasa digunakan para staff. Suasana di kotak berjalan itu tiba tiba hening dan berubah dingin. Padahal lumayan banyak orang. Mereka semua langsung mingkem tidak berani berkata kata begitu melihat sang CEO masuk.
Di lantai tiga lift berhenti. Setelah pintu terbuka, Dhira masuk hendak ke lantai sembilan belas. Tanpa mengangkat wajahnya dari layar ponsel ia memutar tubuhnya menghadap pintu, memunggungi semua orang di belakangnya.
Diam diam seseorang tepat dibelakangnya sedang menahan nafas karena gugup. Ia adalah Leo. Tiba tiba jantungnya berdetak hebat begitu melihat Dhira masuk. Tanpa bisa ia kontrol dadanya berdetak tak normal. Jarak mereka begitu dekat bahkan hidungnya hampir mengenai kepala Dhira. Aroma sampo wangi dari rambut pirang itu menelusup masuk ke rongga hidungnya membuat jantungnya makin tak karuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Lexy
tulisannya rapih nyaman dibaca ✨
2023-03-28
1