Ibu mengambilkan segelas air minum untuk Zoya.
“Minumlah dulu agar kau merasa sedikit lebih tenang baru Ibu akan melanjutkannya lagi,” ucapnya.
Zoya mengambil gelas tersebut. “Terima kasih, Bu. Bismillahirrahmanirrahiim.” Zoya meminum air tersebut hingga setengahnya.
“Apakah sudah lebih baik?” tanya Ibu dan Zoya hanya mengangguk seraya menaruh gelas tersebut di atas meja.
“Baiklah kalau begitu, Ibu akan melanjutkannya. Pria itu baru pindah dari luar kota, dia kebetulan membeli rumah di Desa Tanggap. Kedatangannya kesini karena ingin kamu mengajarkan putrinya mengaji dan salat. Dia dapat rekomendasi dari langganan kue Bu Mirna, maka dari itu dia datang kesini. Ibu tadi mau memanggilmu tapi kamu sedang sibuk sama Ibu-Ibu lainnya jadi dia hanya menitipkan salam saja. Namanya adalah Zafran Sauqi dan putrinya bernama Nafisah Putri, dia baru saja bercerai dari istrinya dan ingin mencari tempat baru juga kehidupan baru untuk putrinya. Ia ingin putrinya belajar mengaji dan salat karena selama ini mantan istrinya tak pernah mengajarkannya hal seperti itu, dan ia sendiri sibuk bekerja jadi tak memiliki waktu dulu,” jelas Ibu, Zoya tampak menyimak apa yang disampaikan oleh Ibunya.
“Jika memang seperti itu, maka mulai esok bisa datang ke Mushola untuk bergabung belajar bersama yang lainnya, Bu,” sahut Zoya yang tak keberatan.
“Baiklah kalau begitu, esok Ibu akan menghubunginya untuk mengabarinya, kebetulan Nak Zafran meninggalkan nomor teleponnya,” ucap Ibu lega karena putrinya bersedia menerima murid baru.
“Tapi Ibu bilang ke Mas Zafran kalau aku tak ingin dibayar kan? Aku tak ingin ilmu yang kuajarkan pada orang mendapatkan bayaran, aku hanya mengharapkan ridha dari Allah saja, Bu,” tanya Zoya memberitahu.
“Kamu tenang saja, Ibu sudah katakan padanya kok. Ya sudah, kamu istirahat sana, sudah malam. Jangan memikirkan yang tidak-tidak agar tak bermimpi yang tak diinginkan,” titah Ibu.
“Ya sudah, aku ke kamar dulu yah, Bu. Assalamualaikum.” Zoya bangkit lalu mencium pipi Ibunya kemudian berlalu menuju kamarnya, Ibu pun bergegas ke kamar sedangkan Ayah sedang kegilir ronda malam.
Di sepertiga malamnya, seperti biasa, mimpi itu datang kembali dan menakuti Zoya dalam tidurnya hingga ia terbangun dengan peluh yang memenuhi tubuhnya. Zoya meraih air minumnya yang sudah tersedia di atas nakas samping tempat tidur.
“Apa mau kamu? Mengapa selalu saja datang menghantuiku di setiap jam segini padahal sudah satu tahun berlalu tapi aku tak bisa melupakannya. Apa yang sebenarnya kau inginkan? Apakah kau sedang merasa bersalah padaku karena merenggut milikku yang sangat berharga? Jika iya, maka tebuslah dosamu dan meminta ampunlah pada sang maha pengampun,” ucap Zoya bermonolog.
***
Hal yang sama dirasakan oleh Cakra, ia akan bermimpi yang sama saat tengah malamnya meski sudah meminum obat tidur dalam dosis yang lumayan, nyatanya tak membuatnya tidur dengan lelap. Matanya terbangun, napasnya memburu, jantungnya berdegup sangat kencang, tangannya meraih air mineral dan obat penenang yang sudah disediakan oleh Vin, sekretarisnya.
“Mimpi yang selalu sama yang membuatku tak bisa tidur dengan lelap, mimpi yang membuatku selalu merasa bersalah dengan wanita itu. Hei wanita baik, di mana kamu berada? Mengapa keberadaanmu begitu sulit kutemukan? Aku hanya ingin menebus dosa dan kesalahanku padamu, tolong tunjukan di mana kau berada,” ucapnya setelah dirinya merasa tenang.
*
Pagi hari Vin melaporkan info yang ia dapatkan dari anak buahnya tentang keberadaan wanita yang dicari oleh Bosnya selama ini.
“Jadi dia guru mengaji anak-anak di Desanya, sungguh wanita yang Salihah,” gumamnya memuji wanita yang ia cari selama ini. “Vin, carikan Ustaz terbaik untukku belajar agama sebelum aku menemuinya. Dia adalah guru ngaji, tak mungkin aku akan datang meminangnya sebelum aku sepadan dengannya. Setidaknya aku harus belajar bagaimana caranya salat lima waktu dan membaca surah-surah pendek,” titahnya, Cakra berencana untuk belajar ilmu agama sebelum dirinya mendekati wanita yang selama ini dicarinya, ia merasa bahagia ternyata wanita yang dicarinya adalah wanita Salihah yang menjaga dirinya, tapi disisi lain ia sungguh merasa sangat bersalah telah merengut mahkotanya secara paksa meski saat itu ia dalam kuasa obat yang diberikan oleh wanita yang hendak menjebaknya.
“Baik, Tuan.”
***
Azan magrib berkumandang, Zoya bersama Ibu dan Ayah berangkat menuju musholah untuk menunaikan ibadah salat magrib berjamaah. Zoya juga harus mengajar mengaji anak-anak yang sudah menunggunya, malam ini akan ada tambahan murid baru yang akan belajar mengaji dengannya.
"Hai, Cantik, assalamualaikum, siap nama kamu?" sapa Zoya pada gadis kecil yang terlihat berwajah masam yang mungkin dipaksa oleh sang Papah untuk berangkat ke musholah dan belajar mengaji.
“Nafisah,” sahutnya ketus dengan wajah tak suka.
“Ooh Nafisah, nama yang sangat cantik secantik pemilik namanya. Ayu Kakak ajari mengaji, Nafisah pasti akan senang berkumpul bersama dengan yang lainnya,” ajak Zoya, dengan enggan dan terpaksa gadis kecil itu menurutinya karena sang Papah yang duduk berkumpul dengan Bapak-Bapak lainnya di teras musholah sudah menatap ke arahnya.
Terlihat anak-anak lainnya sudah berbaris hendak mengajai pada Zoya, mereka terlihat begitu antusias untuk mengaji yang membuat Nafisah bingung. Belajar mengaji kok senang, begitulah yang ada di dalam pikiran Nafisah yang belum tahu seberapa baiknya Zoya.
“Sebelum kalian mengaji, Kakak mau memperkenalkan gadis cantik yang akan bergabung dengan kita malam ini. Namanya Nafisah, Kakak harap kalian bisa berteman baik dengannya yah. Siapa yang menjalin hubungan kekerabatan pasti akan mendapatkaaan ...”
“PAHALA.” Serentak anak-anak tersebut menjawabnya bersama membuat Zoya tersenyum bahagia karena mereka begitu akur, Nafisah pun dibuat bingung karenanya.
“Waaah, kalian sudah semakin pandai dan kompak yah. Kak Zoya bahagia banget melihat kalian seperti ini, tapi harus ingat kalian juga harus seperti ini ketika di rumah, jangan membangkang orang tua agar tak mendapatkaaan ...”
“KARTU MERAH,” serentak pula mereka menjawab kembali membuat Zoya terkekeh pelan, Ibu dan Ayah yang melihat putrinya tersenyum lepas menjadi lega dan bahagia hingga tak terasa air mata Ibu menetes saking terharunya.
Zafran yang melihat hal itu juga tersenyum, ia berharap banyak agar Nafisah bisa berubah dan menjadi mudah diatur juga senang mengaji. Sewaktu akan berangkat ke musholah tadi, Nafisah sempat menolak untuk ikut dengannya karena ia tak ingin belajar mengaji dan salat. Nafisah lebih memilih bermain ponselnya dari pada pergi ke musholah bersama sang Papah, apalagi harus belajar mengaji, ia menganggap hal itu tak penting dan sangat membosankan.
Nafisah adalah gadis kecil yang duduk dibangku kelas enam sekolah dasar, sedari kecil sang Mamah tak pernah mengajarinya mengaji dan salat. Zafran yang sibuk bekerja tak memiliki waktu untuk mengurusi hal itu karena menurutnya itu adalah kewajiban sang istri.
Namun, Zafran ternyata salah telah beranggapan seperti itu, mengurus dan mendidik anak adalah kewajiban kedua orang tuanya. Hingga pada akhirnya ia memergoki perselingkuhan istrinya dan juga kecanduan putrinya akan ponsel yang begitu didewakan oleh sang putri, saat itulah Zafran sadar kalau dunia yang ia kejar untuk membahagiakan putri dan istrinya ternyata tak bermanfaat.
Istri yang dicukupi dengan materi yang tak pernah kurang malah berselingkuh dengan pria lain dengan alasan karena Zfran tak pernah memperhatikannya dan sibuk bekerja. Putri cantiknya yang sangat ia sayangi dan selalu ia turuti apa pun keinginannya menjadi di luar kendalinya dan sulit diatur. Zafran sungguh sangat menyesali hal tersebut, ia pikir dengan dipenuhinya materi mereka, maka kedua wanita yang sangat dicintainya itu akan menjaga dirinya agar tak berbuat hal yang tak diinginkan, tapi nyatanya ia salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments