Di tempat lain, di dalam ruangan yang cukup besar, seorang pria dengan rahang yang kuat dan garis wajah tegas sedang mendengarkan laporan dari asisten pribadinya. Cakra Alister, pria berkuasa yang sedang mencari seorang gadis yang pernah ia nodai dengan tanpa sengaja satu tahun lalu yang menghilang tanpa jejak setelah malam panas yang telah ia lakukan pada gadis tak berdosa yang berniat menolongnya. Ia dalam pengaruh obat yang entah diberikan oleh siapa sehingga merenggut kesucian seorang gadis tak berdosa, tapi saat ia sadar gadis itu telah tiada dan ia tak tahu bagaimana wajah dari gadis yang telah dinodainya itu.
“Apakah pencarianku selama satu tahun ini begitu sangat tak membuahkan hasil?” tanya Cakra, ia lelah terus mendapatkan laporan yang selalu membuatnya frustrasi.
“Anda tak sempat memahami bagaimana rupanya, dan dari tempat sang saya telusuri dan saya tanyai tak ada yang mengatakan jika ada gadis yang mengalami hal seperti itu. Mungkin saja gadis itu bukan salah satu dari penduduk Desa Tanggap,” sahutnya memberitahu.
“Carilah ke Desa tetangganya, mungkin saja gadis itu berasal dari Desa tetangga yang sedang lewat lalu menolongku,” titah Cakra. “Aku ingin menemukan dia secepatnya, Vin. Aku ingin menebus dosaku yang kulakukan padanya dengan cara paksa. Seorang gadis tanpa mahkota adalah aib baginya dan akan dipandang rendah oleh pria lain. Aku tak ingin karena perbuatan kejiku, gadis itu yang harus menanggungnya seorang diri,” sambungnya, Cakra merasakan tersiksa yang sungguh sangat luar biasa, perbuatannya tentang malam itu selalu menghantuinya setiap malam.
Cakra tak bisa tidur dengan tenang setiap malam selama satu tahun belakangan, ia harus mengonsumsi obat tidur dan juga obat penenang agar bisa tidur dengan tenang. Vin yang merupakan asisten pribadinya juga tangan kanannya selalu siap siaga berada di samping tuannya untuk berjaga-jaga saat Cakra membutuhkannya.
“saya tahu perasaan Anda, Tuan. Maafkan saya yang tak bisa bekerja dengan maksimal. Saya akan lebih berusaha lagi dalam pencariannya. Berikan saya beberapa waktu lagi dan saya akan berjanji akan menemukannya,” ucap Vin meyakinkan Cakra.
“Kau tak perlu meminta maaf, Vin. Kau sudah bekerja keras selama ini, hanya saja waktu belum mengizinkanku untuk menemuinya, Huh.” Cakra menghembuskan napasnya kasar. “Bagaimana jika dia hamil, pasti akan sangat sulit menjalani kehidupannya seorang diri dengan perut yang besar dan harus berjuang sendiri tanpa pendamping,” lanjutnya bergumam sendiri.
***
Jam makan siang tiba, setelah salat zuhur Zoya berkumpul seperti biasa dengan para Ibu-Ibu di desanya untuk mengerjakan kerajinan tangan.
“Mbak Zoya, topi dan tas anyam dari karung semen sudah selesai, tinggal pewarnaan saja,” ucap salah seorang Ibu muda yang bagian menganyam tas dan topi dari karung semen.
“Oh iya, kumpulkan saja, nanti aku kerjakan pewarnaannya yah, Mbak Meli,” sahut Zoya pada Ibu muda bernama Meli tersebut. “Totalnya dapat berapa buah, Mbak?” sambungnya bertanya.
“Ini ada dua puluh buah masing-masing sepuluh buah buatan tiga orang Ibu muda termasuk aku, Mbak,” sahut Meli memberitahu.
“Baiklah, nanti kalau sudah siap aku akan bantu memasarkannya yah. Apakah ada permintaan pesanan dari orang luar, Mbak?” sahutnya bertanya kembali.
“Punten, Mbak Zoya. Langganan roti Ibu katanya mau pesan tas dan topinya, katanya dia naksir waktu melihat Ibu memakainya.” Bu Mirna yang berprofesi sebagai pedagang kue pesanan menyela pembicaraan.
“Oh baik, Bu. Nanti Ibu berikan contohnya saja yah, aku sudah membuat gambarnya di binder. Sebentar saya ambil dulu beberapa contoh fotonya.” Zoya bangkit dan berjalan menuju rumah untuk mengambil foto dari barang kerajinan yang dibuat oleh para Ibu-Ibu yang dia buat album. Saat masuk rumah, ternyata Ibu dan Ayah sedang kedatangan tamu, seorang pria dengan seorang anak kecil perempuan sekitar umur tujuh hingga delapan tahun kurang lebihnya. Zoya tersenyum menganggukkan kepala setelah mengucapkan salam lalu melanjutkan berjalan menuju kamarnya, ia tak terlalu ingin mengetahui urusan kedua orang tuanya dengan tamu pria dan anak tersebut.
Setelah mengambil apa yang dibutuhkannya, Zoya kembali menghampiri Ibu-Ibu yang berada di gubuk.
“Ini album dari kerajinan kita dan sudah ada harganya yah, Bu. Alhamdulillah jadi kita tak bingung lagi kalau ada yang bertanya tentang contohnya.” Zoya memberikan album tersebut pada Bu Mirna.
“Wah, Mbak Zoya tak hanya kreatif, tapi idenya selalu mengalir terus yah. Ibu saja tak terpikirkan cara ini. Nanti bisa tolong buatkan Ibu album seperti ini yah, Mbak, agar kalau ada yang pesan kue dan roti bisa memberi contoh seperti apa yang dimintanya,” puji Bu Mirna, ia kagum dengan ide-ide yang selalu dituangkan oleh Zoya.
“Nanti jika Ibu selesai membuat kue atau roti tinggal panggil aku saja, Bu. Nanti aku fotokan dan buatkan albumnya,” sahut Zoya lembut.
“Wah, makasih banget yah, Mbak. Ini Ibu bawa yah, nanti kalau antara kue bisa sekalian nawarin sama Ibu-Ibu lainnya, kan lumayan kalau mereka suka dan jadi langganan. Semoga usaha kecil kita bisa menjadi besar suatu saat nanti,” harapan Bu Mirna.
“Amiin, semoga yah, Bu. Hitung-hitung kita berkumpul seperti ini dari pada ghibah kan lebih baik melakukan sesuatu yang berguna dan menghasilkan uang, meski sedikit tapi lumayan.” Zoya mengaminkan doa Bu Mirna. “Ya sudah yah, Bu. Aku mau mewarnai yang sudah jadi dulu nanti yang lainnya kalau sudah selesai bisa dihitung dan laporkan padaku biar kucatat dalam buku yah. Semoga dalam minggu ini terjual habis semuanya.”
“Amiin.” Serentak para Ibu-Ibu mengaminkan doa Zoya membuat Zoya tersenyum bahagia.
Ibu melihat dari kejauhan senyum putrinya yang terbit kala berkumpul dengan anak-anak saat mengaji dan dengan Ibu-Ibu seperti saat ini.
***
Malam menjelang, sepulang dari moshola Ibu meminta Zoya menemuinya diruang keluarga, ada yang ingin dikatakan oleh Ibu.
“Ada apa, Bu?” tanya Zoya yang sudah tiba diruang keluarga.
“Duduklah, Sayang,” pinta Ibu, Zoya pun duduk di sofa kosong samping Ibu duduk.
“Kamu tahu pria yang tadi datang bertamu dengan anak kecil perempuan?” tanya Ibu dan Zoya mengangguk.
“Iya, memangnya kenapa, Bu?” tanya Zoya kembali.
“Dia adalah penduduk baru yang tinggal di Desa Tanggap,” mendengar Desa tersebut Zoya melebarkan matanya, sekelebat kejadian mengerikan yang pernah dialaminya terlintas di pikirannya, desa itu adalah desa saksi bisu tempat kejadian mengerikan yang dialami Zoya. Ibu mengerti akan hal itu, ia mengusap punggung tangan putrinya yang mengepal tegang. “Dengarkan Ibu dulu,” Sambungnya dengan lembut.
“Maaf, Bu. Aku hanya teringat saja,” ucap Zoya lirih.
“Ibu tahu, tapi Ibu bukan mau membahas hal yang membuatmu teringat dengan kejadian itu. Hanya saja kebetulan tamu yang tadi datang baru pindah ke desa tersebut. Apakah Ibu bisa melanjutkan apa yang ingin Ibu katakan?” sahut Ibu bertanya meminta persetujuan Zoya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Agustina Kusuma Dewi
bila di ijinkan beropini
jika terjadi diposisi zoya..
ana jg binun..
disalah 1 posisi
trauma itu selalu menghantui, tp kl d psikologi..ya lawan.. jd dg menerima org yg sama krn mengalami ketidak nyamanan yg sama, itulah gunanya u.saling menguatkan menuju yg baik
hijrah..
trs d 1 posisi ttg adany yg lain, tp ada istri yg meminta kembali.
sbg sesama perempuan, kesempatan itu patut u.diberi kesempatan, aplg ada anak
tp hati tak kan bs berbohong
pilihan jatuhnya kemana berlabuhnya nih..
🤗🤩🤔🤗🤩🤔
2023-06-26
1