Bab 4. Mencari solusi

Rifan bersama keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah, mereka duduk berkumpul pada sofa yang luas dengan ditemani tv yang menyala dan beberapa cemilan. Haidar sang ayah masih belum percaya dengan syarat yang diajukan Baron tadi pada putranya saat hendak melamar Mecca, Haidar merasa jika syarat itu sangat mustahil untuk dilakukan terlebih oleh putranya yang memang sulit belajar agama dan mendalaminya.

"Ayah masih gak nyangka deh pak Baron bakal kasih syarat begitu ke kamu Rifan, sebenarnya dia niat gak sih terima kamu?" kesal Haidar.

Rifan hanya menunduk lesu membayangkan kehidupan barunya di pesantren nanti, meski hanya tiga puluh hari tetap saja Rifan tidak mungkin kuat tinggal disana. Bahkan, mungkin Rifan juga tak sanggup tinggal di pesantren walau hanya satu hari karena ia tahu kehidupan disana sangat ketat.

Amira sang ibu coba menenangkan suaminya dengan cara mengusap-usap perlahan bahu sang suami dari arah samping, wanita itu juga menyodorkan secangkir teh hangat yang sudah ia siapkan sebelumnya kepada pria itu. Amira memang tak setuju dengan syarat yang diberikan Baron, tetapi dirinya juga tidak ingin membuat suasana makin panas dan suaminya bertambah emosi.

"Mas, sudahlah gak perlu dibawa emosi kayak gitu! Namanya juga pak Baron kan ingin laki-laki yang baik untuk jadi suami anaknya nanti, pasti setiap orang tua begitu kok mas," ucap Amira.

"Iya bunda, aku ngerti maksud dia apa. Tapi gak gini juga caranya, itu sama aja dia menolak lamaran Rifan secara halus. Mana mungkin coba Rifan bisa melewati persyaratan dia? Itu suatu hal yang mustahil buat dilakukan!" ucap Haidar.

"Kamu gak boleh gitu dong mas, sama aja kamu menuduh tanpa bukti! Bisa jadi dosa loh nanti mas," ucap Amira.

"Loh tanpa bukti gimana? Jelas-jelas kamu juga dengar sendiri tadi waktu pak Baron kasih tahu syaratnya ke kita," ujar Haidar.

"Ya tapi kan belum tentu apa yang kamu tuduhkan itu benar mas, bisa aja pak Baron emang sengaja kasih syarat begitu untuk menguji keseriusan Rifan," ucap Amira.

Tiba-tiba, Julia sang adik menyela obrolan mereka. "Nah yang dibilang mama bener tuh pa, kak. Pasti emang om Baron mau kasih ujian buat kak Rifan," ucapnya sambil tersenyum.

"Ah anak kecil pake ikut-ikutan segala! Udah diem aja deh kamu!" ujar Haidar sembari mengacak-acak rambut putrinya itu.

"Ish, papa jahat!" cibir Julia dengan kesal.

"Hahaha, makanya udah gausah ikut campur Lia! Kena apes sendiri kan kamu," ucap Rifan sambil terkekeh pelan.

"Ya aku kan cuma setuju sama pendapat mama, soalnya yang dibilang mama itu benar dan sesuai sama kenyataan," ucap Julia membela diri.

"Iya sayang, mama senang deh ada yang setuju sama kata-kata mama tadi," ucap Amira tersenyum dan langsung memeluk putrinya.

"Yaudah, terus sekarang aku harus gimana dong ini yah, bun? Aku gak mau gagal melamar Mecca, aku tuh sayang banget sama dia!" ucap Rifan.

"Kalau kamu sayang sama Mecca, ya kamu berjuang dong sayang buat dapetin dia! Kamu buktiin kalau kamu bisa!" ucap Amira.

"Betul tuh, jangan cuma ngomong sayang di mulut doang!" timpal Julia mencebikkan bibirnya.

"Kamu tuh ikut-ikutan aja sih Julia! Mending kamu urus aja sekolah kamu, jangan ngurusin urusan orang dewasa!" kesal Rifan.

"Yeh suka-suka aku lah, kan aku punya mulut. Lagian yang aku bilang bener kok, kak Rifan itu harus berjuang buat dapetin kak Mecca! Karena kak Mecca itu cewek sholehah, sedangkan kak Rifan cuma.." Julia tidak jadi melanjutkan ucapannya sebab Rifan menatapnya tajam.

"Cuma apa? Kamu mau bilang kalau aku ini gak pantas buat Mecca gitu? Sialan banget sih kamu jadi adek, bukannya dukung kakaknya malah ngejek begitu!" kesal Rifan.

"Hehe, bukan aku yang bilang loh. Kan kakak sendiri tuh barusan," kekeh Julia.

Amira pun terpaksa melerai kedua kakak-adik yang sedang berkelahi itu, memang seperti biasa Rifan serta Julia selalu seperti itu dan jarang sekali akur. Namun, terkadang mereka juga bisa saling sayang bahkan sampai pasangan kekasih. Hanya saja memang lebih banyak bertengkarnya.

"Sudah sudah, kalian jangan pada ribut! Bantu mama buat cariin pesantren yang terbaik aja ya untuk Rifan?" ucap Amira.

"Gak mau, kak Rifan cari sendiri aja apa ma gausah dibantu!" ketus Julia.

"Aku juga gak butuh bantuan kamu ya Lia, lagian kamu tahu apa sih? Bocil mah cuma tau main main dan main," kesal Rifan.

"Yeh gini-gini tuh aku jago kali soal ngurusin masalah orang," ucap Julia dengan pede.

"Lah ngurusin masalah orang kok bangga? Kamu gak boleh gitu, masih kecil tuh harusnya gausah ikut campur urusan orang," ucap Rifan.

Julia hanya mengerucutkan bibirnya sembari mengejek sang kakak, Rifan memilih membuang muka dan mengalihkan perhatian dari Julia ke mama papanya. Rifan sedang tidak ingin berdebat saat ini, ia ingin masalahnya segera selesai agar bisa lebih mudah menikahi Mecca.

"Ayah, bunda, aku bingung banget nih sekarang. Gimana caranya aku bisa belajar di pesantren dalam waktu tiga puluh hari?" tanya Rifan.

"Sabar aja Rifan, nanti papa bantu carikan pesantren yang terbaik di sekitar sini ya!" jawab Haidar.

"Tapi yah, emangnya pesantren terbaik sama yang enggak itu apa bedanya? Aku bakal bisa lulus dalam tiga puluh hari gitu? Bukannya sama aja ya semuanya?" heran Rifan.

"Ya jelas enggak lah Rifan, kalau pesantren terbaik itu pasti guru-gurunya juga baik dan kamu bisa diajarkan dengan baik," jelas Haidar.

"Bener kata papa kamu," sahut Amira.

"Iya bund, kalo gitu aku mau ke kamar dulu deh. Aku rasanya pusing banget, gak kuat kalau terus-terusan begini," ucap Rifan.

"Yaudah, biar bunda antar kamu ya sayang?" ucap Amira menawarkan diri.

"Gausah bunda, aku bisa jalan sendiri kok. Lagian aku bukan anak kecil lagi, beda sama Julia tuh yang manja dan cengeng," ucap Rifan.

"Ish, kenapa jadi bawa-bawa aku sih? Gak tenang ya hidupnya kalau enggak ejek aku?" cibir Julia.

Rifan menggeleng saja, lalu beranjak dari tempat duduknya. Ia pergi menuju kamar sembari memegangi kepalanya yang terasa pusing, segala pikirannya terus mengarah pada persyaratan yang diberikan oleh Baron. Entah mengapa rasanya sulit bagi Rifan untuk bisa melaksanakan itu.

"Julia, kamu temani gih kakak kamu! Kasihan dia kelihatannya pusing sekali, mama khawatir terjadi sesuatu sama kakak kamu nantinya!" ucap Amira.

"Tapi ma—"

"Julia, kali ini aja kamu nurut sama mama dan jangan bantah!" sela Amira dengan tegas.

"Iya iya ma.." Julia terpaksa menurut dan melangkah mengikuti kakaknya.

Sementara Amira serta Haidar tetap disana, mereka membahas mengenai pesantren tempat dimana Rifan akan belajar mengaji dan menjadi pribadi yang lebih baik. Jujur saja mereka juga bingung bagaimana cara menyelesaikan semua masalah yang dialami putranya saat ini.

...~Bersambung~...

...JANGAN LUPA LIKE+KOMEN YA GES YA!!!...

Terpopuler

Comments

bobo

bobo

iy bner tu kt ma2 mkin pk baron jg mau lihat sbrp besar usahay untuk mndptkan anky

2023-05-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!