Di ruangan kerja Fadhil, Pak Permana dan Bu Alisa masih saling tatap tak percaya. Keduanya duduk termangu untuk menenangkan pikiran yang mengacaukannya. Rasa penasaran penuh tanda tanya memenuhi pikiran dan hati keduanya. Lalu tiba-tiba Pak Permana mengambil ponsel di kantong celana kirinya, kemudian menekan beberapa nomor hendak menelepon seseorang.
“Cari tahu secara rinci tentang gadis bernama Mecca Dini Pradipta, segera!” perintahnya tidak sabar lalu menutup telepon.
“Ma, tolong telepon Karina, katakan saja kita akan atur ulang pertemuannya dengan Fadhil karena hari ini anak kita ada pekerjaan penting.”
“Baik pa.” Jawabnya sambil mengangguk.
Sedangkan di meja kerja yang tepat berseberangan dengan pintu ruangan Direktur, Nindy dan Faiz saling bertatapan dan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Pak Faiz, sebenarnya ini ada apa sih?”
“Saya juga bingung Nin.”
“Setahu saya Mecca baru ketemu Pak Fadhil hari ini, tapi kenapa tiba-tiba jadi orang yang dicintai?” tanyanya dengan ekspresi bingung.
“Sudah tidak usah dipikirkan, saya mau menggantikan Pak Fadhil rapat dulu.” Jawabnya sambil melenggang pergi meninggalkan Nindy dengan berbagai rasa penasarannya yang tak terjawab.
***
Deru ombak pantai terdengar bagai alunan musik klasik, hembusan angin sepoi-sepoi, serta gemerisik dedaunan menambah kesyahduannya. Suasana kearaban mulai tercipta antara Fadhil dan Mecca, hal ini terbukti dari suara gelak tawa yang terus terdengar di antara keduanya.
“Hahaha... Ternyata kamu lucu juga ya, kayak boneka Annable.” Ucapnya usil.
“Itu sih serem, bukan lucu!” protesnya kesal.
“Iya deh, enggak kayak Annable, tapi kayak...” jawabnya dengan gestur berpikir.
“Kayak apa? Kayak boneka Voodoo?!” sahutnya cemberut.
“Hahaha... Iya deh, enggak. Jangan manyun dong, entar jadi lebih mirip Suzan loh.” Liriknya seakan menghibur.
“Suzan yang mana? Yang boneka atau yang beranak dalam kubur?” ujarnya memalingkan wajah menunjukkan kekesalannya.
“Peace.” Senyumnya menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Ke mobil yuk, kita lanjut obrolan seriusnya sambil jalan saja.” Ajak Fadhil sembari berjalan.
Sesampainya di mobil, Mecca memulai perbincangan kembali.
“Mas, kita mau kemana? Kembali ke kantor?” tanyanya tanpa menoleh.
“Mas?” tanya Fadhil mengulangi apa yang didengarnya.
“Ups, maaf. Aku rasa lebih nyaman saja menyebutnya, tapi kalau di kantor tetap panggil pak kok.” Jelasnya rinci.
“Iya enggak apa-apa. Kita pergi makan siang dulu ya.” Jawabnya dengan senyum kecil.
“Terus sekarang mau ngobrol serius apa?”
“Aku mau kita buat cerita.”
“Cerita? Maksudnya?”
“Seperti cerita dari kapan kita kenal, kapan kita mulai dekat, kapan kita berhubungan, semacam itu. Paling tidak saat ditanya orang lain cerita kita harus sama.”
“Jadi maunya cerita seperti apa?”
“Sebelum mengarang bebas, kita harus saling kenal dulu dong.” Ujarnya memberikan kedipan sebelah mata menebar pesona dahsyatnya.
“Sekarang mas mau tahu apa?” balasnya mengerlingkan mata tak mau kalah.
“Kamu umur berapa sekarang?”
“20 tahun, kalau mas?”
“28 tahun. Tentang keluargamu boleh ceritakan?”
“Hmmm... Ayahku bernama Harry Pradipta, beliau seorang dosen. Ayahku mengajar di Universitas S tempatku belajar sekarang. Tapi ayah juga punya usaha percetakan. Aku punya seorang kakak perempuan namanya Medina Senja Pradipta, dia baru menyelesaikan S2 jurusan hukum, katanya sih ingin mendaftar menjadi jaksa. Sedangkan ibuku sudah meninggal saat aku berumur 6 tahun.” Jelasnya panjang lebar.
“Maaf ya.” Jawabnya sayu.
“Nggak apa-apa kok, santai saja mas. Sudah lama terjadi juga kok. Kalau keluarga mas bagaimana?” tanyanya menunjukkan manik mata ketertarikan.
“Mungkin kamu sudah tahu banyak tentangku dan kedua orang tuaku.”
“Iya sih, aku sudah banyak browsing sebelumnya.”
“Dapat informasi apa saja dari situ?”
“Tidak banyak yang berarti, semua isinya hanya pujian.” Ucapnya sembari melirik pengemudi di sebelahnya yang tengah tersenyum mendengar jawabannya.
“Contohnya?”
“Adzan Fadhillah Permana, putra tunggal dari pengusaha terkemuka di Indonesia. Masih muda namun kesuksesannya dalam dunia bisnis tidak dapat diragukan lagi. Mata emasnya dalam melihat peluang bisnis sangat tajam, dengan penampilan bak aktor Hollywood membuat ketampanannya digandrungi banyak gadis, kaya raya, royal, dan memiliki hati bagai malaikat. Bla... Bla... Bla...” jawab Mecca dengan cepat melafalkan kata-kata yang ia hafal dari beberapa artikel yang dibacanya namun ia enggan meneruskannya.
“Hahaha...” tawa Fadhil puas.
“Namun di media yang bilang aku anak tunggal itu salah, aku sebenarnya punya seorang kakak laki-laki, tapi dia sudah meninggal saat aku berusia 9 tahun. Awalnya beban perusahaan akan dipikul utuh olehnya, tak ku sangka kepergiannya malah membuatku menggantikan posisi ini.” Ceritanya dengan sorot mata sendu. Namun dengan segera ia mengalihkan pertanyaan baru untuk mengubah suasana.
“Kamu kuliah ambil jurusan apa?”
“Eh! Hmm... Aku ambil jurusan ekonomi bisnis.” Jawabnya terkejut dari suasana yang tak terduga
“Kalau pacar, punya?” tanyanya hati-hati.
“Punya. Itu...” tunjuknya ke pemberi pertanyaan.
“Hei-hei, aku tanya serius nih.”
“Kan mas pacar pura-pura aku sekarang.”
“Yang asli bukan yang pura-pura, ada?” tanyanya kembali.
“Enggak ada.” Jawabnya dengan ekspresi sedih dibuat-buat.
“Masa sih? Aku agak kurang percaya.”
“Walau aku memang termasuk gadis populer di kalangan para lelaki tapi aku ini gadis penurut. Saat ayahku bilang, aku boleh berpacaran saat aku lulus kuliah ya aku hanya bisa menurut.” Ujarnya serius.
“Hahaha... Ngarang! Gadis seperti kamu yang pandai melontarkan kalimat menggoda dibalik candaanmu itu tidak punya pacar hanya karena larangan ayah! Hello, come on.” Sanggahnya tak percaya.
“Kalau enggak percaya juga nggak maksa tuh.” Kesalnya.
“Trus, kalau mas punya pacar nggak?”
“Dulu ada, sekarang single.”
“Kalau ini baru sulit dipercaya, tampang playboy gitu ngaku single.” Balasnya ketus.
“Kamu ini dari tadi bicara ke aku tanpa rasa sungkan sama sekali, bagaimanapun juga aku ini lebih tua 8 tahun dan juga pimpinanmu loh.” Tegasnya kesal.
“Pffftt... Hahaha... Iya deh iya, ampun.” Tawanya mengejek. Sikapnya hanya mendapat lirikan tajam dari Fadhil.
“Terus kalau boleh tahu, kenapa putus dengan wanita itu?”
“Dia minta pisah tanpa sebab, jadi aku lepaskan saja.”
“Oh... Dicampakkan.” Sahutnya dengan wajah tanpa dosa.
“Hahaha... Seorang Fadhil dicampakkan? Jangan asal deh, aku yang melepaskannya.” Gerutunya tak terima.
“Iya, tapi itu sebutannya dicampakkan.” Ulangnya menegaskan.
“Itu namanya toleransi. Sudah mengertikan?” jelasnya menekan tiap kata.
“Iya deh iya, dicampakkan. Ups... TOLERANSI.” Ralatnya seketika dengan nada menekan saat tatap mata membunuh mengarah padanya.
Pria yang dielu-elukan banyak gadis itu sudah terbiasa dengan sikap manis para gadis yang mendekatinya, tak ada satupun gadis tengil seperti Mecca, hal ini bagai pengalaman baru yang menguras emosinya. Sepertinya stock sabar harus terus ditambah untuk menghadapi gadis muda itu.
“Nanti kita lanjut lagi ya obrolannya, kita sudah sampai di restoran tuh.” Ujarnya menunjuk restoran yang tepat berada di hadapannya sembari memarkir mobil.
.
.
.
Happy Reading and Enjoy 🤩
Jangan lupa klik favorit, like, komentar, vote, dan rate 5 ⭐ ya agar Author makin semangat dalam berkarya. Untuk mengetahui cara vote, silahkan para readers mampir pada halaman ATTENTION ya.
Jangan jadi penikmat dan silent readers, tunjukkan diri dengan like ya!
Terima Kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
xteenteen
asyik jg nih ceritanya.. ketemuan 2 manusianya ringan.. ga pk pemaksaan kekerasan.. lgs ngalir, tetiba udh seru aja tuh 2 org..
2020-08-26
1
Priska Anita
Jejak disini thor 💜
2020-08-08
1
Ni'matul Amalia
aku mampir kak
2020-07-26
1