Author PoV (Fadhil)
Sosok tegap terpantul pada standing mirror di hadapannya, pria itu menyebut sebuah nama yang tak lain adalah dirinya sendiri. “Adzan Fadhillah Permana, hanya satu kata untukmu, perfect!” ujarnya sambil mengerlingkan sebelah mata sembari membentuk jarinya menyerupai huruf L di bawah dagu.
Ia merapikan setelan jas hitam yang dikenakannya dipadu dengan kemeja putih dan dasi berwarna hitam-putih bergaris. Ia mengagumi tiap inci yang terpantul pada cermin. Sama halnya seperti ritual rutin, pujian demi pujian selalu diucapnya dengan narsis, hingga suara ketukan pintu menyudahi kegiatannya tersebut.
Tok... Tok... Tok...
“Mas Fadhil, sarapannya sudah siap dan sudah ditunggu bapak juga ibu di bawah.” Ucapnya lembut sembari mengetuk pintu kamar tuannya.
“Iya Bi Mina, saya sudah mau turun. Terima kasih.” Sahutnya sedikit menaikkan volume suara.
Kemudian ia mengambil ponsel yang berada di bibir ranjang, mengotak-ngatik sejenak, dan beralih pada fitur kamera, ia menunjukkan berbagai macam ekspresi untuk mengabadikan ketampanan yang dimilikinya.
Setelah puas dengan hasil jepretan yang memakan sedikit waktu tersebut, Fadhil kemudian keluar dari pintu kamarnya dan mulai menuruni beberapa anak tangga yang terletak tepat di seberang kamarnya sambil menyenandungkan alunan musik indah melalui siulan lembutnya.
Di meja makan telah terhidang berbagai jenis makanan hangat khas sarapan pagi. Entah karena tidak terlalu lapar atau karena ingin segera berangkat bekerja, Fadhil hanya mengambil selembar roti tawar tanpa olesan selai apapun, dan hendak berbalik pergi, namun teguran seseorang menghentikan tindakannya tersebut.
“Hei... Hei... Mau kemana? Ayo duduk dulu, jangan hanya sarapan roti, mama sudah siapkan bubur ayam kesukaan kamu.” Tegurnya sembari meletakkan satu mangkuk bubur ayam hangat tepat di hadapan Fadhil.
“Fadhil buru-buru ma, ada yang harus dikerjakan segera di kantor.” Alasannya sekena mungkin.
“Kamu jangan banyak alasan, papa tahu kamu menghindari papakan?! Pokoknya papa tidak mau tahu, hari ini kamu harus pergi makan siang dengan Karina.” Tegasnya menekan disetiap ucapannya.
“Pa, stop please! dari semalam masih ini saja yang papa bahas. Pokoknya Fadhil tidak mau dijodoh-jodohkan.” Ujarnya memberikan tatapan tajam.
“Karina itu wanita yang cantik, pandai, dan dari keluarga hebat. Mereka sangat cocok bersanding dengan keluarga kita.” Jelasnya tak kalah tajam.
“Kalau begitu papa saja yang menikahinya.” Sungutnya spontan.
“Dasar anak kurang ajar! Di mana kesopananmu terhadap orang tua!” marahnya meledak.
“Dari kecil papa sudah mengatur hidup Fadhil semau papa, sampai Fadhil merasakan hidup bagai warna hitam dan putih saja pa. Jadi tolonglah pa, untuk urusan hati papa jangan ikut campur!” tegasnya dengan nada mengancam.
“Kamu ini...” belum tuntas ucapnya yang menunjukkan kemarahan, seseorang telah memotongnya.
“Pa, sudah!” hentinya dengan menggenggam tangan suaminya.
”Fadhil, kamu sudah 28 tahun saat ini, sudah waktunya kamu memikirkan untuk berumah tangga nak, coba saja dulu temui Karina, mungkin kalian cocok.” Sarannya dengan senyum hangat.
“Maaf ma, Fadhil tidak mau, sudah ada orang lain yang Fadhil cintai.” Tolaknya tegas sambil melemparkan tatapan tajam kepada Papanya.
“Rani itu? Tidak usah mimpi! Papa tidak akan pernah menerimanya sebagai menantu. Wanita macam apa yang kerjanya memamerkan tubuh seperti itu.” Ancamnya tegas tak mau kalah.
“Hal ini tidak ada hubungan dengannya pa, jadi please papa stop menyebut namanya atau menariknya dalam setiap amarah papa.” Jawabnya sedikit kesal.
“Ma, nasehati anak keras kepala ini supaya dia bisa diajak bicara orang tua secara baik-baik.” Pintanya kepada istrinya.
“Papa dan Fadhil itu sama-sama keras kepalanya. Tapi kalian berdua tidak ada yang sadar. Selalu bikin mama pusing tujuh keliling.” Ujarnya menghela nafas panjang.
“Kalau begitu Fadhil pergi dulu ma, assalamualaikum.” Pamitnya sambil melangkah pergi.
“Tuh lihat pa! Anak kita sampai tidak menyentuh satu suap pun bubur ayamnya. Mama kan sudah bilang, jangan bahas hal itu saat di meja makan, tapi papa tetap saja bahas. Kasihan anak kita, sampai tidak sarapan begitu.” Ucapnya penuh kecewa.
“Dasar anak itu. Lagipula Fadhil sudah besar ma, dia bisa mengurus dirinya sendiri.” Menahan amarah yang masih terkendali.
“Kalau Fadhil bisa mengurus dirinya sendiri, papa tidak usah repot-repot menjodoh-jodohkannya.” Sahutnya ketus.
Pak Permana terdiam sesaat berusaha mencari-cari alasan yang dapat membenarkan perbuatannya.
“Kita sebagai orang tua harus mengarahkan anak kita ma, termasuk mencarikan jodoh yang tepat.”
“Tepat untuk siapa? untuk Fadhil atau untuk papa?” tanyanya menegaskan.
Setelah beberapa saat perdebatan itu terjadi, akhirnya Bu Alisa memilih mengalah pada Pak Permana, merasa lelah menghadapi keras kepala suaminya, ia pun memilih diam. Sampai akhirnya suara Pak Permana membuyarkan keheningan di antara keduanya.
“Ma, ayo ikut papa ke kantor. Pokoknya hari ini kita harus bisa membujuk atau memaksa anak keras kepala itu.” Ajaknya dengan tatapan kesal tanpa ingin dibantah.
Dengan berat hati Bu Alisa hanya bisa menuruti kemauan suaminya tersebut, sebenarnya dia merasa malas untuk ikut dengan suaminya, karena dia tahu pasti bahwa perdebatan ini akan kembali berlanjut, namun jika dia tidak mengikuti suaminya, ia khawatir bila hubungan suami dan anaknya menjadi semakin merenggang.
Sepanjang perjalanan hingga sesampainya di gedung perusahaan yang megah dan terkesan modern itu, Fadhil menahan rasa kesalnya yang memuncak, ia hanya ingin segera sampai ke ruangan kerjanya dan sedikit mengistirahatkan kepalanya yang telah terasa panas sejak tadi.
Image Fadhil di mata orang lain merupakan sosok yang tegas, ramah, dan perhatian. Namun hari ini, keramahannya tak nampak satu kalipun. Sapaan demi sapaan yang dilontarkan para karyawan tak pernah dibalasnya, bahkan kehadiran sosok baru di meja kerja sekretarisnya pun tak terlihat olehnya.
Fadhil membuka pintu ruangannya dengan segera dan melonggarkan dasi yang terasa mencekiknya itu, lalu menghempaskan diri pada sofa besar berwarna hitam tersebut.
“Faiz, tolong kau minta Nindy mundurkan satu jam lagi rapat hari ini, aku ingin istirahat sebentar.” Ia berkata dengan mata yang ditutup oleh siku kanannya.
“Baik bos.” Jawabnya singkat dan berlalu hendak keluar ruangan. Namun belum tangannya mencapai handle, pintu telah terbuka dengan kencang.
Keterkejutan Fadhil membuatnya melotot dan terperanjat. Ia memandang sosok yang telah berada di ambang pintu ruangannya tersebut.
“Oh my God, papa masih belum puas?” Ucapnya tak percaya.
Ruangan itu kini kembali memanas, perdebatan terus terjadi secara berulang, hingga ketukan pintu terdengar.
Tok… Tok… Tok…
“Masuk!” Perintah Fadhil spontan.
Ada sosok baru yang tak pernah dilihat sebelumnya. Disana ada seorang gadis muda dan sekretarisnya yang menampakkan ekspresi terkejut.
Sesaat Fadhil terdiam seakan otaknya berusaha berpikir cepat, entah hal gila apa yang dipikirkan oleh Fadhil saat itu, ia berjalan ke arah gadis yang mematung tersebut dan menarik tangannya mendekati kedua orang tuanya.
Ia berucap satu kalimat tanpa ragu yang membuat semua orang terpana. “Aku cinta dia dan hanya dia yang ingin aku nikahi.” Tegasnya dengan mantap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Priska Anita
Masih disini 💜
2020-07-23
1
SS
semngat suka
2020-07-15
1
Zahroh Ahmad Zamzam
aku lanjut bacanya ☺😊😊☺
2020-07-15
1