Bugghhh!
Sebuah pukulan melayang di wajah Verry di sertai dengan umpatan.
"Dasar baji*gan." Jorgie yang melakukannya, dia tidak tahan atas penghinaan yang di lontarkan oleh Verry dan Gilda terhadap Meylani.
Padahal peti mati sang kakak belum tertutup, tapi keluarga Sukmajaya seakan mencari-cari masalah. Mengenai masalah Jeniffer tanpa harus di katakan pun Jorgie dan orang tuanya bersedia merawat peninggalan satu-satunya dari Meylani.
"Beraninya lu menghina Ci Meylani dengan mulut busuk lu itu. Tanpa mesti dikatakan kami pasti akan merawat Jennifer dengan sepenuh hati. Tidak seperti kalian yang membuang darah daging sendiri." ucap Jorgie dengan mata menyalang.
"Dasar anak kemarin sore, tahu apa kamu mengenai mitos di keluarga Sukmajaya!" hardik Gilda, dia tidak terima Verry sang anak terkena bogeman dari Jorgie.
"Saya memang masih anak kemarin sore. Tapi tidak sekeji kalian yang mementingkan mitos dan tradisi yang tidak masuk akal tersebut. Memangnya ini tahun berapa?" dengan mengarahkan telunjuk kanannya, Jorgie menunjuk marah ke arah Gilda
"Sudahlah Jorgie. Jangan buat keributan di rumah duka. Peti mati Mey pun belum tertutup."
"Papa, sepertinya Jeniffer rindu sama mamanya, jadi mama bawa kemari biar Jeniffer bisa lihat muka mamanya untuk terakhir kalinya." suara Camelia yang memasuki ruangan semakin menambah ketegangan yang tercipta.
Para pengerja yang ingin pulang pun bingung bagaimana cara mereka untuk pamit pulang sementara kedua keluarga yaitu Sukmajaya dan Atmadja sedang berseteru di tambah dengan kehadiran seorang bayi yang menjadi inti dari konflik keduanya.
"Ada apa ini kenapa semuanya terdiam?" tanya Camelia belum melihat adanya Verry dan Gilda.
"Mama.... Lihatlah ke arah Jorgie di sana ada...." Stanley tidak meneruskan kalimatnya dan malah menunjuk ke arah sang putra.
Awalnya Camelia tidak mengerti dengan maksud Stanley berbicara seperti itu hingga wanita itu memutuskan untuk menoleh ke arah Jorgie, seketika matanya membelalak saat melihat kehadiran kedua orang yang telah membuat hidup putrinya menderita.
Ya, Camelia sempat membaca 3 halaman pertama dari diary Meylani dan wanita itu terisak saat mulai membacanya.
Jakarta, 19 XX 20XX
Ko Verry rasanya berubah saat mengetahui janin yang ku kandung adalah perempuan. Tidak ada perlakuan hangat saat dulu saat kami berpacaran, awal menikah dan mengetahui jika aku sedang hamil.
Ada untungnya juga aku menolak mengetahui jenis kelamin anak ini saat dokter bisa memprediksi jenisnya. Seakan-akan ada yang menyuruhku untuk tidak melakukannya.
Tapi kejadian aku pendarahan hebat 3 minggu yang lalu saat kandunganku berusia 8 bulan, membuatku menyerah saat dokter meminta USG untuk mengetahui. Bayi laki-laki kah atau perempuan yang ku kandung.
Ko Verry menggeram kesal saat melihat hasil USG dan perkataan sang dokter kandungan yang mengatakan bahwa perempuanlah calon anak kami.
Sejak saat itu, aku tahu jika hidupku akan di penuhi oleh air mata. Apakah aku membenci anak ini? Tentu saja tidak, aku akan mempertahankannya apa pun yang terjadi. Mungkin dengan bantuan mama dan papa.
"Jorgie, Jorgie hentikan dek. Jangan lampiaskan kemarahanmu dengan kekerasan." Camelia terkesiap dari lamunannya saat mendengar suara dari pak Andre yang memegang tubuh Jorgie yang hendak memukul Verry.
"Saya tahu pak, apa yang saya lakukan ini salah... Tapi saya hanya membela harga diri dari Ci Mey. Mereka berdua berbicara seakan hidupnya suci tidak penuh dosa."
"Apa salahnya dengan anak perempuan. Bukannya jika di perlakukan sama anak perempuan akan dapat menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang tuanya."
"Pikiran kolot yang membuat kaum perempuan tidak dapat berkembang, padahal setiap manusia sudah di berikan talentanya masing-masing dari Tuhan. Mengapa ada orang yang menyalahkan kuasa Tuhan."
Jorgie terus berteriak di tengah dekapan 2 orang pria dewasa yang tidak ingin sang pemuda menyesali diri di kemiskinan hari karena menjadi kriminal di usia muda. Keadaan Verry sudah babak belur akibat tinju yang bertubi-tubi dari Jorgie.
Stanley hanya dapat terduduk diam di tenangkan oleh bapak pendeta yang mengatakan kalimat motivasi dan penghiburan. Tidak ada nada penghakiman untuk Jorgie yang keluar dari bibir pemuka agama itu.
"Ya Tuhan, papa Jorgie!" Camelia segera menghampiri sang suami yang sepertinya sudah mulai tenang.
"Jorgie!" setelah itu Camelia memanggil sang putra.
"Bisa kamu gendong Jeniffer sebentar Mama ada urusan dengan kedua orang ini." kedua laki pelayan gereja itu langsung melepaskan Jorgie dan pemuda itu menerima sang keponakan dan mendekapnya dengan erat.
"Tidak cukupkah kalian membuat putri saya menderita semasa hidupnya. Mau perlu apa kalian ke sini? Mau mengacau di rumah duka ini?" Camelia mendorong tubuh Gila sehingga tersungkur di samping Verry.
"Ah, apa kalian takut jika Jeniffer akan menghancurkan hidup kalian? Tenang saja kalian tidak perlu takut. Saya phopho nya akan mengurus anak ini sebagai ganti anak saya Meylani yang sudah meninggal."
"Jadi jangan harap kalian dapat bertemu dengan Jeniffer, meskipun kelak kalian menginginkannya."
"Cih, siapa juga yang sudi mengurus anak perempuan. Oh iya sebenarnya Verry sudah menikah lagi dan baru saja Minggu lalu istrinya Verry melahirkan anak laki-laki, kami cuma mau mengingatkan agar anak perempuan itu tidak mengganggu keluarga Sukmajaya." sahut Gilda dengan pongah.
Setelah mengatakan itu Verry dan Gilda keluar dari ruangan duka. Meninggalkan rasa sakit yang terdalam bagi ketiga orang keluarga Atmadja itu.
"Kiranya Tuhan memperhatikan setiap ratap dan tangis dari putrimu yang sudah meninggal, dan Tuhan juga melihat dan menghitung setiap tetes air mata yang keluar dari hati yang hancur. Ingat pak Stanley dan Bu Camelia kalian harus tetap kuat karena Jeniffer masih membutuhkan kalian sebagai Akhung dan phopho nya."
"Dan kamu Jorgie, tugasmu mungkin akan melebihi seorang om. Siapa tahu Jeniffer akan melihat kamu sebagai sosok seorang ayah."
Kedua nasihat berbeda di tujukan pada ketiganya, Jorgie yang masih menggendong Jeniffer semakin mendekap erat sang ponakan yang wajahnya sama persis dengan Meylani.
Tes tes tes
Air mata yang di tahannya semenjak di rumah sakit, tumpah ruah tanpa dapat pemuda itu cegah. Hanya tepukan di bahu tanda penghiburan dan kekuatan yang Jorgie terima dari para pelayan gereja itu.
"Terima kasih pak pendeta Daniel dan para hamba-Nya, kalau tidak ada kalian mungkin keluarga kami sudah berurusan dengan pihak kepolisian." ucap Stanley dengan bahu bergetar.
Semua maklum atas rasa sedih dari orang tua yang kehilangan anaknya untuk selamanya. Rasa kehilangan itu tidak akan dapat hilang dan tergantikan oleh apapun.
"Baiklah kami permisi pulang dulu, sudah sangat larut. Besok kami akan datang lagi di ibadah penghiburan sampai proses kremasi berlangsung. Kalau mau meratap dan menangis lakukan sampai proses kremasi Meylani. Setelah itu kalian harus kuat." ucap Pak Pendeta Daniel.
Sepeninggalan para pelayan gereja itu, Camelia langsung menangis terisak di samping jenazah Meylani dan mengusap kepala sang putri yang tubuhnya mulai mendingin.
Hidup di dunia ini bagaikan angan-angan dan sekejap mata saja. Karena itu janganlah menyia-nyiakan apa talenta yang telah di berikan oleh Tuhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Cut ida Suryani
gak kebayang perasaan orang tuanya Meylani gimana, saat tau anaknya meninggal karena overdosis
2023-03-26
1