Keputusan Sulit

Mereka puas, aku lemas. Mungkin itu kata yang cocok untuk kedua makhluk itu yang terlalu bersemangat berkeliling di rumahku.

   Setelah “perjalanan” yang melelahkan, akhirnya mereka pulang. Pamit dengan Raja dan Mamaku. Hm.. Aku kurang yakin sih kalau Raja ini “Papa” baruku.

   Tapi ketika tanpa sengaja berpandang mata, mereka langsung membuang muka dan pipi mereka merah, seperti tersipu malu. Dan selalu seperti itu setiap Mama jatuh cinta dengan seseorang.

   Bahkan cerita Mama jatuh cinta dengan Papa yang sekarang sudah “meninggalkan” kami juga sama.

   Aduhh.. Apa sih yang aku pikirkan? Yang terpentingkan Iliyya dan Gostaf sudah pulang? Kenapa aku malah mengingat kejadian itu?

   Iliyya dan Gostaf melambaikan tangan. Aku balas melambai. Beberapa saat setelah mereka hilang di kelokan jalan, rumah ini begitu terasa sepi. Padahal banyak orang yang mendiami rumah ini.

   Prajurit, pelayan, penasihat (sekarang sebagian kecil dari mereka disuruh memeriksa keadaan penduduk), Mama dan Raja yang sedari tadi sudah berada di rumah. Menunjukkan jalan ketika mereka sesekali tersesat di rumah.

   Dan sekarang.. Hanya tinggal satu hari. Apakah aku akan ikut serta mencari obat penawar itu atau tidak. Tapi kenapa Mama dan Raja memikirkan hal yang sama? Menyuruhku untuk pergi mencarinya? Bukankah rasanya berat sekali membiarkan anaknya sendiri pergi? Dari yang aku baca sih begitu.

   Makan malam terasa cepat sekali. Padahal kami membicarakan banyak hal di meja makan. Bercanda, sesekali tertawa.

   Tiga puluh menit kami habiskan di meja makan, yang biasanya hanya lima belas menit. Mama juga bilang, keputusan ada di tanganku. Aku hanya mengangguk, lantas pergi ke kamar tidur dengan wajah murung.

 

***

 

   Pagi bukan menjadi hal yang spesial sekarang. Aku bangun sebelum salah seorang pelayan membangunkanku. Mandi, makan, memakai seragam sekolah. Lalu pergi ke Sekolah.

   Hampir tiga angkatan raut wajahnya murung, aku masuk ke kelas, dan.. Semua murid juga tidak kalah murung di sini. Lebih dominan ke arah sedih sebenarnya. Muka Gostaf yang kemarin riang, bersemangat, sekarang seperti orang yang sekarat, seolah kematian ada di depan mata.

   “Taf, kamu kenapa? Kemarin saja mukanya semangat sekali pas di rumahku. Kok sekarang kayak sambal terasi saja?” Kataku sambil memiringkan kepala ke arah kanan, menghadap Gostaf.

   “Iya, kemarin malam ternak domba keluargaku hilang. Jadinya pagi ini kami cuman makan daging ayam. Kau tahu bagaimana rasanya? Ihh.. Jijik..” Gostaf memasang wajah seperti habis memakan bangkai serigala. Yah.. Walaupun katanya memang lebih enak bangkai serigala daripada ayam.

   “Pengumuman. Kepada seluruh siswa untuk segera turun menuju ke lapangan segera. Sekali lagi, pengumuman kepada seluruh siswa untuk segera turun menuju ke lapangan segera. Terimakasih.” Pengumuman lewat Anso-43 disertai bel berbunyi nyaring seperti suara keledai memekakkan telinga kami.

   Gostaf, murid lain serta aku keluar pintu kelas, segera baris ke lapangan. Ya, pasti topik hari ini tentang siapa yang bersedia ikut serta mencari obat penawarnya.

   Apalagi hari ini hari Senin. Hari yang paling tidak di sukai hampir semua orang. Kalian tahu kenapa? Karena hari Senin awal mula masuknya hari pertama murid, orang pekerja kantoran, dan beberapa pekerja lain. Siapa coba yang mau bekerja mati-matian hanya untuk beberapa ratus koin perak?

   Murid juga di gaji? Ya. Kami juga di gaji. Tapi tidak sebesar pekerja lain yang perbulannya bisa dapat tiga ratus atau empat ratus koin perak. Kami hanya mendapat tiga puluh sampai empat puluh koin perak setiap bulannya.

   Semua murid sudah sempurna baris di lapangan tanpa di teriaki oleh salah satu guru seperti biasanya. Kepala Sekolah naik satu langkah menuju podium. Bertanya siapa yang bersedia mencari obat penawarnya.

   Tiga murid dari kakak kelas angkatan 76 mengangkat tangan, bersedia. Beberapa menit kemudian, salah satu dari Angkatan kami mengangkat tangan. Itu Iliyya! Beberapa kakak kelas angkatan 77 juga angkat tangan. Satu persatu dari ketiga angkatan mulai mengangkat tangannya. Dari yang murung, seketika berubah menjadi antusias. Aku dan yang lain turut angkat tangan, hingga genap kami dua belas orang.

   Beberapa guru tersenyum bahagia. Banyak murid yang bersedia untuk mencari obat penawar tersebut. Kepala Sekolah turun dari podium, menghadap ke guru yang lain, berdiskusi sejenak. Semua guru mengangguk, dan melemparkan semacam benda yang berisi gas. Aku tidak tahu itu gas apa, warna dan bentuknya seperti apa. Tapi sebelum aku menyadarinya, kami semua tanpa terkecuali pingsan. Menyisakan banyak senyuman dari para guru.

 

***

 

   Sayup-sayup aku mendengar suara yang memanggilku. Hmm... Inikah akhir dari kisahku? Apa kami dipermainankan guru? Aku mengerjap-ngerjap sambil mengucek mata.

   Aku bersandarkan di bawah pohon besar. Gostaf dan Iliyya terlihat sedang menyiapkan makanan.

   Aku membetulkan posisiku, “Kalian memasak apa? Dan dapat dari mana bahan makanannya?”

   Iliyya melirik sekilas, kemudian kembali fokus dengan wajan panas di hadapannya, “Aduh.. Baru bangun sudah banyak tanya. Tuh baca yang ada di dalam tas kau Ga!”

   “Gostaf, tolong carikan satu kelinci yang gemuk untuk kita makan. Apinya sudah siap nih.” Gostaf tidak banyak protes, langsung pergi ke dalam... Apa?

   Pekerjaan Iliyya selesai, kemudian dia berjalan mendekatiku, “Jangan banyak tanya dulu, kamu baca saja dulu surat yang di dalam tasmu itu.”

   Aku mengangguk pelan, lalu segera membuka tas di punggungku. Buku-buku yang aku bawa ke Sekolah digantikan dengan bahan makanan yang entah cukup atau tidak untuk satu minggu. Di atasnya ada sepucuk surat, bentuknya seperti surat cinta dari Kepala Sekolah yang biasanya berisi penambahan point minus ketika aku membuat “sedikit” masalah di Sekolah.

   Aku membuka surat itu.

   Maaf sudah memperlakukan kalian tidak begitu baik pagi tadi. Kami sebenarnya sudah berdiskusi untuk melakukannya lebih baik daripada ini. Tapi tentu saja tidak diperbolehkan oleh pihak Sekolah, lebih tepatnya tidak di perbolehkan oleh Kepala Sekolah. Tyaga, kamu akan dipasangkan dengan Iliyya dan Gostaf. Pas kamu bangun pasti bertanya-tanya “Ini di mana?” kami mengirimkan kalian ke wilayah hutan Flame Lily. Lalu, bagaimana dengan teman dan kakak kelas yang lain? Tenang, semuanya sudah kami kirim ke tempat yang berbeda. Dan hanya kalianlah yang kami kirim ke tempat yang dekat sekali dengan salah satu bahan dari obat penawar itu. Yang paling penting dalam bertahan hidup adalah bagaimana caranya kalian memanfaatkan alam di sekitar. Bukan karena kekuatan yang hebat, atau yang lain. Dan satu lagi pesan kami, “Jangan sampai termakan sifat buruk kalian masing-masing.”

Salam, dari Yeonhee

Kepada Tyaga.

 

   Iliyya kembali menyiapkan mangkuk besar yang berisi air, meletakkannya di atas api dengan mengikat mangkuknya ke atas tongkat terbuat dari kayu, yang di buat sedemikian rupa untuk menahan berat mangkuk dan panas apinya, supaya tidak ikut terbakar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!