Pak Roshnan menghela napas pelan, menjentikkan jarinya. Lantas semua serangga dan tanah lapangan kembali seperti semula.
Pak Roshnan berjalan menatapku sejenak, tidak mau berurusan karena sudah waktunya pulang. “Tyaga, lain kali jangan terlalu sering menjahili teman sekelasmu itu ya.”. Menyebalkan, padahal aku hanya membalas perbuatan Rohan. Apa salahnya? Ya sudahlah.
Bel berbunyi, semua murid membawa tasnya dan berterima kasih kepada guru. Lalu pulang.
“Hei Iliyya.” Seperti sebelumnya, dia tidak merespon sedikitpun. Bahkan menoleh pun tidak.
“Iliyya, maaf.. Aku keterlaluan.” Dia berjalan tetap menghiraukanku. Aku berkali-kali membujuk Iliyya, tapi nihil. Tidak ada hasilnya. Dia tetap tidak merespon apapun. Bahkan hanya untuk sekedar menoleh pun tidak.
Aku menyerah. Aku pulang ke rumahku makan malam dengan ibu. Pasti dia memasak makanan enak malam ini. Tidak kalah enak dengan masakan sarapan tadi. Delapan belas menit berjalan kaki dari sekolah pulang ke rumah. Hanya lampu kecil yang menerangi luar rumah. Tidak ada aroma makanan lezat ibu. Dan.. Tidak ada suara.
“Ibu. Aku pulang.” Aku membuka pintu segera masuk, meletakkan sepatu ke sembarang tempat, langsung pergi ke dapur.
“Ibu? Bu? Apa ibu masih memasak?” Aku berjalan perlahan dari tangga dapur, melihat seorang wanita yang terkapar. Itu seperti ibu. Tunggu, bukannya...
IBU? IYA ITU BENAR IBU!
“Ibu. Bangun bu! Ibu kenapa?” Beberapa kali aku gerakkan badannya, tapi tidak ada respons. Tubuhnya lemas, jantungnya lemah. Kugendong ibu pergi ke Rumah Sakit, bahkan aku lupa masih memakai seragam Sekolah.
***
Aku bolak-balik, menggigit jari jempolku. Sepuluh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda suara dari kamar mamaku. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Empat puluh menit. Empat puluh lima menit. Aku terus-menerus bolak-balik melihat jam dinding. Sudah lama sekali dokter dan suster memeriksanya, tapi masih belum ada tanda mereka keluar.
Bunyi pintu terdengar. Aku balik badan mendongak melihat dokter dan suster keluar.
“Bagaimana hasilnya dok?” Wajahku pucat pasi. Suster terlihat menyeka air matanya. Dokter menepuk bahuku
“Nak, kami sudah berkali-kali melihat dan memastikan kondisi ibu mu. Tapi sayangnya, dalam pemeriksaan yang kami lakukan tadi, terdapat beberapa sel yang tidak diketahui. Suster sudah mencoba mencari tentang sel tersebut, tapi tidak ada kemajuan.” Aku menghela napas, kecewa.
“Bagaimana kondisi ibuku?” Mereka saling tatap, lantas mengangguk.
“Kondisi ibu kamu lemah. Sangat lemah. Bisa dibilang, ibu mu hampir tidak bisa di selamatkan. Tapi anehnya, kondisi ibu kamu tidak bisa lebih parah dari ini.” Aku berusaha menahan keluarnya air mata, terlihat berkaca-kaca.
“Maaf, kami tidak bisa membantu banyak.”
Aku mengangguk, lalu masuk segera membawa ibu keluar. Suster mencegahku, “Mau ke mana?” Tanya suster itu.
“Mau membawa ibu ke rumah sakit lain. Siapa tahu ibu bisa disembuhkan.” Sempurna sudah, air mataku tidak bisa aku bendung lagi.
“Siapa tahu di Rumah Sakit lain ada alat yang lebih canggih. Siapa tahu di..”
Aku menyeka air mataku dengan baju. Berjalan sempoyongan menggendong ibu, keluar Rumah Sakit. Orang-orang melihatku, entah mereka melihatku dengan tatapan kasihan, risih, atau apapun, aku tidak memperhatikan mereka. Aku hanya fokus menggendong ibu pergi menuju rumah sakit yang lain.
Pukul sebelas malam. Sudah banyak Rumah Sakit yang aku datangi, tapi tidak ada satupun yang bisa menolong. Beberapa kali juga aku diusir karena tidak bisa membayar biaya cek Rumah Sakit.
Aku duduk di pinggir jalan, meletakkan ibu di sampingku. Aku lihat sekilas, wajah ibu mulai memutih. Kuletakkan tanganku di dadanya, detak jantungnya hampir tidak ada.
Bukan saatnya untuk istirahat. Ibu ku sedang sakit. Aku segera bangkit berdiri menggendong ibu ku di punggung. Lumayan berat, tapi lebih berat sakit yang dideritanya.
Aku sudah tidak tahu pergi ke Rumah Sakit mana lagi untuk menolong ibu. Mungkin... Di Istana masih ada dokter yang lebih baik. Perjalanan selanjutnya sudah kuputuskan, pergi ke Istana Benrath. Tidak jauh dari sini. Hanya sekitar beberapa kilometer.
Aku sudah tidak tahu ini jam berapa. Tapi untunglah terlihat beberapa penjaga dari kejauhan. Aku mempercepat langkah kakiku. Salah satu penjaga menyipitkan matanya menengok kearahku. Aku melambaikan tangan dengan harapan ibu akan di bantu.
Tapi mataku tiba-tiba kabur, kepalaku pusing. Samar-samar kulihat, para penjaga berlari kearah kami. Aku sudah tidak kuat.
***
Pagi datang, matahari menyiram wajahku. Aku bangun. Mataku mengerjap-ngerjap. Aku menatap sekitar kebingungan. Ini bukan rumahku. Kasur, lemari, baju tidur, jendela? Seingatku hanya ada satu jendela di rumah. Itu pun hanya di dapur.
Tunggu. Ruangan ini luas juga. Dinding berwarna kuning dibalut perak. Bukan hanya itu, kasurku di atasnya seperti kelambu. Seingatku, kasurku hanya dua meter memanjang. Tapi ini... Tunggu. Ibu.
OH IYA! IBU!
Aku loncat dari kasurku. Bukan kasurku sih, tapi anggap saja kasurku. Seseorang membuka pintu kamar.
“Selamat pagi tuan.” Orang itu tersenyum ramah, membawakan sarapan pagi ke kamarku.
“Jangan lupa sarapan ya. Ibu kamu ada di luar. Sarapan saja dulu, baru temui ibu kamu.” Orang itu keluar, kembali menutup pintu sambil tersenyum.
Aneh. Aku urutkan lagi. Pertama aku pergi sekolah, bertemu Iliyya dan berusaha meminta maaf. Tapi dia sok tidak mau menerima permintaan minta maafku. Bahkan menengok pun tidak. Terus di mata pelajaran terakhir aku disiram oleh murid pengganggu itu. Pulang, bertemu ibu di dapur.
Lalu aku membawanya, tapi tidak ada satu pun Rumah Sakit yang mampu mengobatinya. Aku putus asa. Tapi tetap berjalan. Akhirnya sampai ke dekat parit Istana. Pandanganku kabur, dua penjaga berlari kearah ku. Dan aku pun tidak sadarkan diri. Mungkin bisa disebut pingsan.
Dan sekarang... Aku.. Apa mungkin ini Istana? Istana Benrath? Ah, tidak mungkin.. Mana mau mereka menerima warga miskin seperti ini. Paling hanya menyembuhkan ibu, lalu pergi.
Tunggu... Sepertinya kurang tepat. Kalau benar ini Istana Benrath. Penjelasan tentang kamar, baju tidur, pelayan tadi bisa masuk akal. Sarapan Dua butir telur setengah matang, dengan sosis... Daging? Mungkin iya, sosis daging. Di samping sosis ada beberapa sayuran lain. Di piring lain ada roti. Dan di mangkuk sebelahnya ada sereal.
Nampannya besar. Cukup untuk dua piring satu mangkuk dan ada minuman. Hanya air putih. Tapi.. Pisau? Kalau garpu di sampingnya aku sudah tidak heran. Tapi pisau? Untuk apa? Entahlah.
Daripada banyak menanyakan hal yang tidak bisa aku jawab sendiri, lebih baik aku langsung makan saja semuanya. Dua puluh menit tandas. Aku keluar kamar, pergi menemui ibu.
“Permisi, tahu ibu ada di mana?” Aku bertanya sesopan mungkin.
Pelayan itu menoleh, lalu tersenyum, “Oh.. Dia ada di taman. Mau saya antarkan?”
Aku mengangguk cepat. Pelayan itu berjalan lebih dulu, menuju lokasi taman. Lima menit berlalu, kami sampai di taman. Lebih tepatnya taman bunga. Aku tersenyum, mengangguk takzim kepada pelayan. Lalu pelayan itu pergi.
Aku berjalan mencari ibu. Tamannya lumayan luas, banyak bunga-bunga yang aku sendiri tidak tahu namanya apa. Mungkin karena kebanyakan tidur pas pelajaran biologi.
“Ibu!” Aku melihat ibu sedang berjongkok melihat bunga lebih dekat.
Ibu menoleh. “Ah... Tyaga.” Ibu berjalan, lantas memelukku. Beberapa detik kemudian ibu melepaskan pelukannya.
“Ibu tidak apa-apa?” Ibu menggeleng.
“Ibu sekarang sudah sehat Nak.” Syukurlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Ovan Fenki aji
menurutku agak membingungkan
2023-03-29
1