Sesak

Sesak

Episode 1

“Hoi.. Tyaga!” Dari ujung lorong, terdengar suara yang seperti aku kenal. Semakin lama kuperhatikan, semakin dekat dia. Lamat-lamat kuperhatikan, di tangannya membawa hm... Seperti bongkahan es ya? Tapi kenapa dia berlari sambil menyebut namaku?

   “Tyaga!!! Beraninya kamu!!”

   Astaga! Tidak salah lagi! Kukira aku salah lihat. Iliyya!!? Aku bergegas lari dari lorong. Tapi Iliyya semakin dekat. Bongkahan es di tangan Ilyya semakin terkikis membentuk pisau tajam. Aku segera menutup jalan, “Dinding Tanah!” Tapi sia-sia. Dia menghancurkannya dalam sekali tebas. Larinya semakin cepat, hanya tersisa lima meter.

   Larinya semakin cepat. Tubuhnya diselimuti hawa dingin. Hanya tersisa dua meter. Iliyya gesit melompat, siap menikamku dari belakang. Aku mendongak sekejap lantas berusaha melindungi diri, “Dinding Tanah – Bentuk Telur!” walaupun aku tahu pasti mustahil mengalahkan kekuatan anak yang jenius sedari kecil itu.

   Kekuatan dinding tanah bentuk telur melindungi badanku seolah aku berada di dalam telur. Iliyya mendarat, mundur satu langkah, dan segera berlari kearahku menebas dinding tanah yang aku buat sekokoh mungkin. Lima belas detik berlalu, tebasannya semakin lama, semakin kuat membuat dinding tanah yang aku buat pecah.

   Dia segera mencekik leherku dan langsung membanting tubuhku ke tanah.

   Iliyya mendengus kesal, “Kau mau apa hah!?” Aku tidak tahu dia bermaksud apa. Aku hanya mengangkat bahu ku sembari membuang muka.

   Cekikannya semakin kuat, “Tunggu Iliyya. A-aku, ti-tidak b-bisa ber-napas.” Iliyya melepas cekikannya, diganti dengan pisau tajam dari es yang dia buat mengarahkannya ke leherku.

   “Hah... Terimakasih. Sekarang aku bisa bernapas. Tapi, tidak bisa apa, jangan menghunuskan pisau mu kearah teman baikmu ini?”.

   “Teman baik apanya! Kamu kan yang mengambil makanan Erina? Jawab! Tyaga!”.

   “Kenapa jadi salahku? Aku kan lapar.”

   Murid lain mulai berdatangan menonton kami. Sedikit demi sedikit sekitar kami di kelilingi murid-murid kelas lain.

   “Hanya itu? Itu juga perbuatan yang salah!” Tegas Iliyya.

   “Hei! Kenapa kalian!” Terdengar suara guru BK masih jauh di lorong. Murid-murid yang berdatangan menonton kami langsung lari menuju kelasnya masing-masing.

   “Sudah berapa kali kalian bertengkar sampai menghancurkan fasilitas sekolah? Enam kali? Tujuh kali? Bapak bahkan lupa berapa kali kalian masuk ke ruang BK. Sekarang Bapak tunggu kalian di ruang BK lima menit lagi.”

   Guru BK kami, Bapak George. Mungkin bisa dibilang dia guru yang paling sabar dari guru-guru lain. Bagaimana tidak? Hanya dia yang mau meladeni kami. Bahkan guru BK lain tidak mau ikut campur dengan urusan kami. Katanya, mereka tidak tahan dengan kami yang hanya mengangguk sok paham, tapi mengulanginya lagi beberapa hari kemudian. Sejauh ini hanya Bapak George, lebih tepatnya Georgetown.

   “Tyaga. Mau sampai kapan kau terbaring begitu?” Dia langsung pergi? Bantu berdiri kek minimal. Ya sudah, aku berdiri sendiri saja.

   Iliyya berjalan cepat di depan ku. Enak saja, aku yang lebih dulu ke ruang BK daripada Si Kulkas ini. Aku berjalan cepat membalap langkah Iliyya. Tapi mungkin dia tidak mau kalah. Malah ikut melangkah cepat.

   Aku berlari hampir sampai ke ruang BK. “Hei kau curang!” Iliyya berlari hampir menyajari ku. Aku berlari secepat mungkin, tapi Iliyya cepat sekali sudah menyajari langkahku. Entah berapa kali, akhirnya aku sampai lebih duluan daripada Si Kulkas itu.

   “Pak! Aku sampai!” Aku membuka pintu terengah-engah, segera masuk mengambil tempat duduk.

   Pak George menggeleng-gelengkan kepala nya. “Hah.. Kalian sedang ke ruang BK lho.”

   Iliyya baru sampai sembari menunjukku, “Pak! Tyaga yang buat ulah! Tyaga mengambil makanan Erina Pak George!”.

   “Apa itu benar Tyaga?” Pak George menoleh. Aku hanya mengangguk pelan.

   Iliyya duduk di sebelahku, menatapku kesal, “Kenapa Tyaga? Karena belum makan?” Entah dia menatap ku dengan prihatin atau menatap sayu, aku tidak tahu apa isi pikiran Pak George.

   “A-aku makan kok Pak. Tapi lapar saja.” Aku menurunkan pandangan sambil memonyongkan bibir.

   Iliyya menunjuk-nunjukku, “Bohong dia Pak! Dia bukan cuman mengambil makanan Erina. Tapi Perlson, Tarck, dan..” Dia menunjuk jari menghitung, “Dan.. Kalau tidak salah Yohan dan murid baru, ee.. Kalau tidak salah namanya Ferch Pak.”.

   Pak George menatapku tajam “Tyaga....” Aku memelototi Iliyya. Bisa bisanya dia menuduhku sembarangan. Tapi Pak George tidak mempercayai apa yang aku bilang.

   “Baik. Tyaga, lima belas point. Iliyya lima point.” Pak George berdiri dari kursi, ingin keluar.

   Iliyya protes kenapa dia dapat lima point. Pak George menoleh ke belakang sembari memutar gagang pintu, “Iliyya. Kamu memang tidak bersalah. Tapi salah lho kamu memakai benda tajam. Apalagi di arahkan ke teman mu sendiri.” Belum sempat dia protes, guru BK kami sudah sempurna berjalan, hilang di kelokan.

   Dia menggeram. Aku beranjak dari kursi mau menepuk bahunya, tapi dia menepis tanganku lalu pergi ke lorong, berlari ke kelas. Aku menghela napas sejenak, lalu berjalan menuju kelas.

   Aku kira hari ini adalah hari yang paling buruk. Ternyata bukan. Masih ada yang lebih buruk daripada ini.

 

***

   Mata pelajaran terakhir, Pengetahuan Dasar Kekuatan. Semua murid dikelas disuruh pergi ke lapangan.

   “Anak-anak. Walaupun mata pelajaran Bapak adalah mata pelajaran terakhir dikelas kalian, itu bukan menjadi alasan untuk tidak mengikuti pelajaran Bapak.” Semua teman kelasku hanya mengangguk atau ber-oh pelan.

   Mata pelajaran terakhir adalah mata pelajaran yang tidak mudah. Semangat belajar murid sedang dalam fase lagi menurunnya. Tapi semangat pulang dalam fase lagi naik-naiknya.

   “Baik anak-anak. Pelajaran kalian yang terakhir adalah hanya mengeluarkan kekuatan kalian, menggunakannya sebaik mungkin. Atau bahkan kalian bisa lebih daripada itu? Akan Bapak nilai.” Pak Roshnan mengangkat papan kayu kecil berbentuk persegi yang berada di tangannya setinggi dada.

   “Baik yang pertama, Azlika. Keluarkan kekuatanmu, apapun itu.” Pak Roshnan sudah siap dengan pulpennya, menilai.

   “Baik Pak.” Azlika mengangkat tangannya, membuat batang bunga kecil di depannya meninggi seperti tali. Dia membuat beberapa simpul yang rumit, menjadikannya bunga itu seolah seperti ular, dan sebagainya. Aku tidak terlalu memperhatikan, tidak seru.

   “Baik sekarang giliran.” Aku tidur saja. Lama sekali melihat mereka memamerkan kekuatan yang tidak akan menjadi lebih kuat. Yang benar saja, kekuatan kecil seperti itu tidak akan menang melawan kekuatan tanahku.

   “Sekarang giliran Tyaga.” Pak Roshnan dan temanku yang lain mengelilingi melihatku tidur. Bapak Roshnan menepuk-nepuk lenganku dengan papan absennya.

   “Tyaga. Bangun. Tyaga!” Mataku mengerjap-ngerjap samar kulihat muka Pak Roshnan. “Ayo Tyaga, sekarang giliran kamu.”.

   “Elemen Air – Jentikkan Muka Tyaga!” Sempurna. Aku basah kuyup. Bukannya membantuku, mereka malah menertawakanku. Bapak Roshnan kembali ke posisinya.

   “Tyaga, keluarkan kekuatanmu.” Aku hanya mengangguk, melakukan pemanasan. Dan “Elemen Tanah – Bola Keranat!” Aku mengangkat tanganku, lantas tanah berbentuk bola keluar dari tanah di tengah lapangan. Kuambil bolaku, kulempar, aku beranjak melompat dari tanah lalu memukulnya. Seketika cacing dan serangga lainnya keluar dari bola itu. Murid lain sontak berteriak dan kabur terbirit-birit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!