Rumah

Setelah melewati siksaan paling kejam di sekolah, matematika. Akhirnya bel pulang berbunyi. Murid lain bergegas mengemasi buku-buku mereka, segera pulang. Aku mengemasi buku-buku dan kotak pensilku, menaruhnya ke tas, beranjak hampir keluar kelas.

   “Pengumuman, kepada semua siswa-siswi. Harap segera berkumpul ke lapangan. Yang sudah di depan gerbang, yang masih di kelas, di kantin dan sebagainya, harap segera kumpul ke lapangan. Terimakasih.”.

   Satu dua dari mereka bersungut-sungut, marah, kesal. Gostaf merangkul bahuku dari belakang, segera menyelaraskan langkahku, “Cepat Tyaga, pintu kelas bukan cuma milikmu saja.”.

   “Iya, iya. Cerewet.”

   “Siapa yang cerewet?”

   “Gostaf.”

  

***

 

   Semua murid sudah berkumpul di lapangan. Kepsek, Wakasek, dan guru yang lain ikut berkumpul, terlihat di belakang Kepala Sekolah. Kepsek naik ke atas podium yang sudah di bawa oleh beberapa guru.

   Wakasek maju bersebelahan dengan Kepsek, menyerahkan sebuah surat. “Baik semua. Langsung saja akan Bapak umumkan berita penting hari ini. Surat dari Walikota yang sudah diedarkan ke seluruh Sekolah Menengah Atas.”

   “Di sini tertulis banyak warga yang sudah terkena penyakit yang tidak diketahui. Para dokter juga tidak memiliki obat untuk penyakit itu. Permintaan dari Walikota, agar beberapa siswa yang terlatih bisa berkontribusi mencarikan obat dari penyakit ini, di sini tertulis memang seperti itu.”

   Murid lain ricuh dengan pengumuman mendadak ini.

   Kepsek melanjutkan, “Dan batas waktunya hanya tiga hari.” Di dalam kericuhan para murid, aku mengangkat tangan.

   “Pak, kenapa pemberitahuannya mendadak sekali? Bukankah ada orang yang lebih terlatih dan berani daripada kami?” Semua mata mereka tertuju padaku, kemudian seseorang berteriak “BENAR!” yang lain pun ikut berteriak. “KENAPA BUKAN MEREKA SAJA!” “KENAPA HARUS KAMI!”.

   Banyak perdebatan yang tak berkesudahan. Lima belas menit kemudian barisan di bubarkan dan murid pulang ke rumah masing-masing.

   Banyak di antara mereka bersungut-sungut. Gostaf, Iliyya juga kesal sekaligus marah kenapa harus murid sekolah.

   “Kenapa tidak pihak sekolahnya saja? Kan kami hanya murid. Harus aku akui kalau guru-guru sekolah punya kemampuan yang jauh lebih hebat.” Kata Iliyya, si Cemberut itu.

   Mereka berdua juga yang paling tidak setuju, dan membuat murid lain sependapat dengan pendapat dua sejoli itu. Seperti menular begitu saja.

   Gostaf dan Iliyya seperti bisa bekerja sama jika mereka berdua sama-sama tidak sependapat dengan orang lain, atau apapun yang membuat mereka menentangnya. Seperti mengalir.

   Daripada aku terus mendengar ocehan dan wajah bersungut-sungut mereka, lebih baik aku pulang ke rumah, eh– itu memang sudah jadi rumahku kan?

   Mobil sudah stay di depan gerbang sekolah, aku masuk ke dalam mobil dan pulang ke rumah.

 

***

 

   “Ma, tadi di sekolah ada pengumuman.” Aku duduk mengambil piring dan meraih lauk-pauk yang tersedia.

   Mama menghentikan garpu yang masuk ke mulutnya, “Oh ya? Pengumuman apa?” Lalu Mama lanjut memakan daging yang sudah menancap di garpu.

   “Kepala Sekolah membacakan kertas berlembar-lembar dari Walikota. Katanya, bagi murid yang bersedia, mereka akan di kirimkan ke entah tempat apa, untuk menemukan obat dari penyakit yang tidak bisa disembuhkan.”

   Raja tersedak mendengar obrolanku dengan Mama.

   Mama meneguk minuman, kemudian menghela napas panjang. Aku melanjutkan memotong semua bagian daging di piringku sambil melihat Mama dan Raja sekejap.

   Raja dan Mama saling tatap. Seperti sedang berdiskusi dengan telepati. Mereka hanya mengangguk-angguk atau sekedar menggelengkan kepala dengan cepat. Itu terjadi selama empat puluh detik. Kurasa.

   Raja menatap wajahku sedikit agak sayu. “Menurutku–ekhem. Anggap saja aku salah satu bagian dari saudara atau kerabat kalian. Menurutku, sebaiknya kamu ikuti sesuai dengan surat yang diedarkan Walikota.” Kata Raja, sambil memotong salah satu paha ayam yang utuh. Kemudian memakannya.

   Aku menoleh ke Mama, “Menurut Mama?”

   “Mama setuju seperti yang dibilang Papa–eh.. Raja, Nak.” Wajah Mama dan Raja memerah. Itu berarti...

   “Mama jatuh cinta dengan Raja ya?” Aku berdiri mencondongkan badan ke arah Mama.

   “Eh– tidak kok.” Wajah mama mulai menghangat.

   Aku menoleh ke arah Raja. Wajahnya memerah sama seperti Mama.

   Ruangan mendadak senyap. Hanya terdengar suara jam dinding seperti memekakkan telinga, dan beberapa kali pelayan di belakang kami menelan ludah.

   Aku lanjut menghabiskan makananku segera. Siapa tahu setelah aku tidur cepat, Mama dan Raja akan “membuat adik” baru nantinya.

 

***

 

   Matahari pagi menyiram hangat tubuhku yang berkemul selimut di ranjang. Salah satu pelayan membangunkan, menyuruh agar segera mandi dan menghabiskan sarapan. Aku pun berangkat seperti kemarin, di antar ke sekolah menggunakan mobil.

   Pelajaran di kelas terasa seperti cepat sekali berlalu. Setelah lonceng bel istirahat, mereka berkumpul membicarakan tentang siapa yang ingin pergi ke sana. Beberapa dari mereka bahkan mengatakan kalau tempat mencari obat penawar itu susah. Seperti di buku-buku cerita dongeng atau novel.

   Aku tidak tahu, apakah aku terlalu cemas, berpikir atau apa. Tapi pelajaran di sekolah sekarang terasa hampa, aku tidak bersemangat seperti biasanya. Yaa.. Walaupun aku kadang membuat masalah “kecil”, tapi itu bukan berarti aku pemalas kan?

   Sebelum pulang sekolah, banyak murid yang mengeluh PR bahasa kemarin terlalu sulit. Jadi Guru Bahasa kami mengubahnya dengan hanya di suruh menulis cerita fiksi. Yeah, kalian tahu. Seperti novel, dongeng, dan masih banyak lagi sesuai dengan selera kita masing-masing.

   Tapi tidak sampai situ. Guru Bahasa juga memperbolehkan bekerja sama dengan teman di kelas lain. Kami bersorak-sorai karena mendapat keringanan yang banyak dari Guru Bahasa kami.

   Di lorong, Gostaf, dan Iliyya berencana ke rumahku untuk sama-sama mengerjakan PR Bahasa. Aku hanya mengangguk dan memberikan pin lokasi rumahku.

   Mereka melambaikan tangan dan berpisah. Gostaf menuju ke kantin, mau makan. Dan Iliyya ke ruang Lab, entah apa yang dia lakukan.

 

***

 

   Sore hari jam empat lebih sedikit. Belum berbunyi, salah satu pelayan memanggilku karena ada teman sekelasku yang sedang mencari. Mereka melongo melihat “rumah” ku.

   Iliyya berusaha tetap terlihat biasa saja, “Ini betul rumahmu kan?” Dia menatapku menyelidik.

Berbanding terbalik dengan Gostaf. Justru dia melihat sekitarnya bersemangat. Mendekati barang-barang perabotan, yang katanya ini paling mewah.

   Aku segera mengarahkan mereka ke ruang belajar. Iliyya menahan Gostaf untuk tetap berusaha tenang dengan apa yang dia lihat. Tapi justru sebenarnya Iliyya lah yang paling bersemangat melihat benda-benda di ruang belajarku.

   Aku berusaha menyuruh mereka belajar dengan serius. Tugas mengarang cerita. Tapi untunglah mereka akhirnya mengerjakan tugas. Setelah kami selesai tugas mengarang cerita, aku membawa mereka berkeliling. Apa kata yang bagus menyebut ini. Rumah? Atau Istana? Entahlah. Tapi aku sebut rumah saja.

 

   Satu jam mereka berkeliling terlihat tidak capek sama sekali. Sedangkan aku yang mengajak mereka berkeliling? Aku justru seratus kali lebih capek dibanding mengerjakan matematika. Sebenarnya karena Gostaf yang memohon sih...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!