Lima menit berlalu. Aku asyik sibuk mengobrol dengan ibu.
“Hai. Kalian baik-baik saja?” Suara itu terdengar dari kejauhan di belakang. Aku balik badan, seseorang yang sudah matang umurnya (maksudku tua) dengan pakaian rapi dan bagus. Tidak lupa, mahkotanya. Biasanya kebanyakan Raja di cerita novel Kerajaan, mereka memakai mahkota.
Aku dan ibu refleks berdiri berbarengan.
“Kami baik-baik saja.” Jawab ibu.
Sang Raja menghela napas lega, kemudian menatapku. “Anak muda. Kamu masih sekolah?”
Aku menjawabnya dengan mengangguk.
“Sekolah di mana?” Tanya Raja itu.
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal, lantas menjawab di mana sekolahku. Raja juga bertanya tentang bagaimana aku bisa sampai di depan parit gerbang Istana, dan banyak lagi.
Raja mengangguk paham, “Begini saja, kamu masih sekolah kan?”
Aku mengangguk, menjawab iya.
“Berangkatlah ke sekolah. Para pelayan aku akan segera menyiapkannya.” Raja menoleh ke pelayannya yang di samping, mengangguk. Pelayan itu mengangguk pelan, mundur satu langkah dan balik kanan keluar dari taman bunga.
“Memangnya boleh?” Tanyaku yang masih setengah sadar.
Raja tersenyum “Tentu saja boleh. Tidak ada yang melarangmu pergi ke sekolah.” Aku menyeringai, mengangguk kegirangan.
“Ayo nak, nanti terlambat.” Sahut ibu, ikut tersenyum menatapku.
Aku segera berjalan keluar dari taman menuju kamar. Mandi, berganti baju, merapikan buku, dan siap berangkat. Seorang pelayan mengetuk, lalu masuk kamarku.
“Kendaraannya sudah siap tuan.” Aku mengangguk.
“Iya, aku segera ke sana.”.
Hmm.. Sepertinya aku akan telat ke sekolah sih. Sekarang sudah jam tujuh lewat. Masa bodohlah, yang penting sekolah. Itu lebih baik daripada bolos.
Aku menggendong tas di pundakku, keluar kamar, bergegas ke halaman. Mobil menunggu di sana. Aku duduk di belakang.
“Semua sudah lengkap tuan?” Aku sekali lagi hanya mengangguk.
“Baiklah kita berangkat.”
***
Sepuluh menit dihabiskan untuk menempuh perjalanan ke Sekolah. Bisa dibilang, aku terlambat tiga puluh menit. Tapi untungnya paling aku hanya di hukum, tidak sampai di pulangkan.
Pelayan menatap kaca depan “Kita sudah sampai tuan.”
Aku mengangguk, membawa tas keluar mobil. “Terimakasih.”
Dia hanya mengangguk, lalu kembali menghilang di keramaian pengendara lain di jalan raya.
Aku memasuki gerbang, berlari di lorong sekuat tenaga. Terdengar suara-suara guru yang sedang mengajar di sepanjang lorong.
“Dan itulah fotosintesis.” Aku melepas sepatu, meletakkan ke sembarang arah.
“Pagi bu.” Sapa ku yang tengah tersengal, habis berlari dari lorong.
Pagi ini pelajaran Biologi. Mimik masamnya tidak terbendung lagi. Tapi dia segera menghela napas panjang seolah tidak terjadi apa-apa.
“Tyaga, silakan duduk.” Aku mengangguk pelan, segera masuk, duduk menempati tempatku.
“Baik. Apa ada pertanyaan?” Seorang murid mengangkat tangannya.
“Baik, silakan mau bertanya apa nak?” Bu Pita tersenyum.
Waktu pelajaran pertama dihabiskan untuk membahas fotosintesis. Ahh.. Syukurlah aku tidak di hukum. Bel istirahat berbunyi. Aku membuka tas, meraih bekal makananku. Makan bekal seperti biasa, lengang, kelas kosong tidak ada murid lain di sini.
Beberapa murid masuk. Aku sudah menghabiskan bekalku. Teman sebangkuku, Gostaf, duduk di sampingku membawa sosis bakar dari kantin. Menatapku menyelidik, “Tyaga. Bekal itu bukan bekal yang kamu ambil dari kelas lain kan?”
Aku menggeleng sebal, tidak tertarik.
Dia mendekatkan wajahnya, mengendus-endus badanku. Entahlah, aku tidak tahu juga alasan Gostaf mengendus badanku, bahkan teman lain juga sama, sama-sama diendusnya juga. Fetish apa ya? Atau dia pengintai bayangan? Atau lebih dikenal murid-murid Sekolah dengan tangan rahasia guru. Mereka diberi tugas mengamati murid kelas mereka.
Menurut gosipnya, OSIS yang salah satu bervisi-misi menjaga (mengamati) teman sekelasnya, kalau ada yang melanggar peraturan Sekolah akan segera di beri hukuman itu hanyalah pengalihan semata. Sebenarnya yang mengamati siswa-siswi di Sekolah ini ialah mereka yang di beri julukan “Pengintai Bayangan”.
Tapi mustahil juga sih Gostaf termasuk salah satunya. Tidak mungkin.. paling dia di suruh Iliyya mengawasi aku. Dasar, sok cuek.
***
Bel berbunyi, menandakan kelas akan segera di mulai. Mereka mulai berdatangan masuk kelas, menunggu pelajaran selanjutnya. Aku duduk termangu membolak-balikan kertas. Guru Bahasa memasuki kelas, mengajar seperti biasa. Guru Bahasa kami memberikan tugas kelompok. Banyak murid yang tidak bisa pelajaran bahasa. Tapi ya sudahlah, bukan urusanku juga.
Sekarang masalahnya bukan tentang tugas dari Guru Bahasa, tapi bagaimana cara aku meminta maaf ke Iliyya. Pelajaran bahasa tiga jam yang terasa seperti tiga abad sudah selesai. Banyak murid yang KO, mengeluh tidak paham, pusing, ribet kenapa harus ada pelajaran bahasa, ada yang mengaku otaknya panas, berasap, dan sebagainya.
Waktunya istirahat kedua. Aku beranjak keluar kelas menemui Iliyya. Pasti dia sedang di kelasnya, belajar. Terlalu rajin sih, makanya jadi sensitif. Memangnya kita dapat apa kalau belajar? Kecuali belajar kekuatan. Itu beda lagi ceritanya. Kelas X-D. Sampai juga.
Kubuka salah satu pintu kelasnya, mataku gesit menoleh, mencari Iliyya. “Iliyya.” Dia berhenti menulis, menengok ke arahku dan beranjak berdiri mendekatiku.
“Ada apa? Mau belajar bareng?” Ketus si Kulkas itu. Aku menggeleng cepat. Siapa juga yang mau belajar? Disekolah saja sudah sepuluh jam belajar. Masih kurang? Bukan manusia. “Bukan. Aku mau minta maaf soal kemarin.” Jawabku berusaha sebiasa mungkin.
Iliyya melihatku dari atas sampai bawah berkali-kali. “Oh. Tumben. Biasanya juga lupa kalau bikin onar.”
Kalau bukan karena minta maaf, sudah kumasukkan bola tanah ke mulutnya. “Iya, aku minta maaf ya. Maafin kan?”
Iliyya tertawa kecil. “Tapi traktir aku mie ayam ya? Setelah itu baru aku maafin.” Sudah kuduga. Tapi demi permintaan maafku di terima, tidak masalah.
Kami duduk di bangku kantin. “Mang, mie ayam dua ya.” Aku melambaikan tangan.
“Minumnya apa?” Kata Mamang sembari gesit menuang kuah bakso ke mangkuk pelanggan lain.
“Es teh aja Mang.” Sahut Iliyya.
“Oke.”
Iliyya memajukan kepalanya. “Eh Ga. Tahu tidak? Dari berita yang aku dengar nih ya, warga kota kita sudah mulai banyak kena penyakit misterius lho.” Hah? Penyakit? Apa mungkin penyakit seperti yang di alami ibu?
“Misterius? Memangnya ada penyakit begituan?”.
“Ya ada lah. Penyakitnya tidak bisa disembuhkan dokter, Ga.”.
Mamang menaruh mie ayam dan es teh nya ke meja kami. “Penyakitnya bisa menular tidak sih?” Tanyaku.
Iliyya menyeruput minumannya, mengangkat bahu, “Ya nggak tahu. Tapi sih kata tetanggaku, penyakitnya tidak menular.”
Aku mulai memakan mie ayam, “Tetangga yang suka gosip itu ya Ya?” Iliyya mengangguk. Melanjutkan mengunyah makanan yang penuh di mulutnya.
“Ngyhohong-ngyhohong, mhenurut,”.
“Habiskan dulu makanan yang di mulutmu sana.”.
Iliyya mempercepat kunyahannya, menelan langsung semua makanan yang penuh di mulutnya. Tenggorokannya tersedak. Cepat-cepat dia mengambil gelas es tehnya, minum sekali teguk.
“Seram sekali Ya, sekali teguk habis setengah.” Aku menahan tawa.
“Hah... Akhirnya..” Iliyya mengeluarkan sesuatu dari hidungnya. Panjang... Dan.. Itu mie?
“Hahahaha.. Lagian sih Ya, ngapain makan buru-buru?” Bukannya cemberut atau marah, dia malah tertawa.
“Mumpung di traktir, bisa makan banyak Ga.” Gawat! Aku lupa Iliyya rakus kalau masalah makanan. Makan banyak tapi tetap kurus. Badannya ideal.
Aku menghabiskan setengah mie ayamku. “Ya, sebenarnya apa sih rahasia kamu tidak naik berat badan?” Aku mengambil sembarang topik. Iliyya berpikir sambil meminum es teh.
“Hm.. Aku membuat tubuhku dingin.” Jawabnya, kemudian menyeruput minumannya.
“Memangnya ada hubungannya Ya?”.
“Ada dong.” Jawab Iliyya membanggakan dirinya.
“Apa memangnya?” Tanyaku penasaran.
Iliyya buru-buru mengambil posisi tegak, bahunya dilebarkan. Biasalah, posisi kalau dia lagi membanggakan dirinya sendiri.
“Jadi singkatnya, kalau suhu tubuh kita dingin, tubuh kita dengan sendirinya berusaha membuat suhu tubuh kita kembali normal. Begitu juga sebaliknya, dan selama proses itu tentunya menggunakan energi dari makanan kita.” Makananku habis. Meraih minuman dan menghabiskannya.
Kami beranjak berdiri membayar mie ayam. “Semuanya berapa Mang?”
Mamang mie ayam menghitung. “Dua puluh empat perak Dek.”
Aku meraih saku, mengambil duit dua puluh empat perak, “Nih Mang. Makasih ya.” Lantas kami balik kanan berjalan ke lorong, kembali ke kelas masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments