Masa Lalu

“Aku ingin kalian bersiap-siap untuk liburan musim panas tahun ini karena aku yakin sekali kalau jumlah pengunjung hotel akan membludak. Terima kasih atas kerja sama kalian. Pastikan jangan sampai ada komplain dari pengunjung.” Frans membereskan beberapa dokumen dari meja, kemudian berdiri. “Baik, aku rasa rapat ini sudah cukup. Silakan kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing,” ucapnya kemudian keluar dari ruang rapat disusul para petinggi hotel miliknya.

Suara langkah kaki cepat terdengar menyusul Frans. Seorang wanita bertubuh ramping yang tak lain adalah sekretaris Frans berusaha mengimbangi langkah Frans sebab ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepada bosnya itu.

“Maaf, Pak. Aku ingin mengingatkan kalau sebentar lagi Anda memiliki rapat dengan klien penting. Tadi, aku mendapat laporan dari pihak resepsionis jika mereka sudah datang,” jelas sekretaris Frans setelah menyejajarkan langkahnya dengan langkah Frans.

Drrtt ... Drrtt ....

Belum sempat Frans menjawab, suara dering ponsel Frans terdengar. Pria itu merogoh kantong celananya dan memeriksa siapa yang meneleponnya. Melihat nama ayahnya di layar ponsel membuat Frans mengerutkan dahinya. Pasalnya, Jorgie Nielsen jarang sekali menelepon Frans. Dalam setahun mungkin Jorgie hanya menghubungi Frans satu atau dua kali saja.

Frans melirik ke arah sekretarisnya. “Ajak mereka langsung ke ruang rapat. Aku akan mengangkat telepon ini sebentar. Mungkin sekitar sepuluh menit,” ujar Frans 

“Baik, Pak,” jawab sekretarisnya. Dengan patuh wanita itu langsung berjalan menuju ke arah lift sementara Frans masuk ke dalam ruang kerjanya.

Pria itu mengangkat panggilan tersebut kemudian menempelkan ponsel ke telinganya. Dia masih tidak mengatakan apa-apa sampai Jorgie yang terlebih dahulu membuka suara.

“Halo, Frans. Kamu apa kabar?” sapa Jorgie.

Frans menghela napas. “Tidak perlu banyak basa-basi, Ayah. Aku tahu pasti ada sesuatu yang ayah inginkan,” balas Frans.

“Frans, ayolah. Memangnya aku selalu meneleponmu hanya jika aku menginginkan sesuatu?” tanya Jorgie.

Frans tersenyum kecut. “Ada apa, Ayah?” tanya Frans pada akhirnya sebab dia malas kalau harus membahas sesuatu yang menurutnya sangat tidak penting.

“Sebentar lagi aku akan mengadakan pesta ulang tahun perusahaan keluarga kita. Aku harap kau mau datang,” jawab Jorgie penuh harap. Di ulang tahun perusahaannya akhir pekan nanti, Jorgie ingin seluruh anggota keluarganya berkumpul.

“Kalau aku tidak datang?” tanya Frans.

“Aku ingin kau datang, Frans. Apakah kau tidak rindu denganku?” Jorgie balik bertanya.

Frans tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan datang,” ucap Frans kemudian menutup teleponnya meskipun sang ayah sebetulnya masih ingin mengobrol panjang lebar dengan Frans. Pria itu sebetulnya masih berharap Frans bisa menjadi penggantinya di perusahaan, namun mengingat kutukan yang dimiliki Frans membuat Jorgie tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah menutup telepon, Frans tidak langsung bergegas menuju ke ruang rapat. Pria itu justru termenung mengingat kejadian tiga belas tahun yang lalu. Saat itu ....

Matahari bersinar dengan sangat terang kala seorang pria berdiri di atas podium untuk menerima penghargaan sebagai lulusan universitas termuda. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh tahun, Frans sudah lulus dari universitas dengan gelar cumlaude. Sebagai seorang pria yang sangat berprestasi, Frans dapat menyelesaikan studinya lebih awal karena sejak masa sekolah dia berkali-kali mengalami kelas akselerasi.

Dengan berakhirnya studi yang dijalani oleh Frans, itu artinya dia sudah siap untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin perusahaan Nielsen. Pria itu pulang dengan senyuman bangga di wajahnya. Apalagi dari saat ayahnya menghadiri acara wisudanya, pria itu tidak henti-hentinya mengatakan kalau dia sangat bangga dengan Frans.

Namun, tak semua orang bahagia di hari itu. Contohnya Lulla. Ibu tiri Frans justru merasa tak tenang sebab posisi putranya akan terancam. Dia tidak mau Frans menjadi pemimpin perusahaan Nielsen sementara putranya hanya menjadi bawahan saja. Padahal, Aren pun tak masalah jika dia tidak menjadi pemimpin. Tapi Lulla dan egonya tak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Dengan otak liciknya, dia mencoba untuk menghasut sang suami supaya Frans tidak dijadikan pemimpin perusahaan.

“Sayang, apakah kau yakin kalau kau akan memberikan kepemimpinan perusahaanmu kepada dia?” tanya Lulla. Saat ini, dia sedang berada di kamar bersama dengan sang suami setelah seharian menghadiri acara wisuda Frans. Dia ingin memanfaatkan kesempatan untuk menghasut Jorgie supaya tidak jadi memberikan takhtanya kepada Frans.

“Dari dulu aku memang berencana untuk memberikan kekuasaan perusahaan kepada Frans setelah dia lulus. Sekarang Frans sudah lulus, apalagi yang harus aku tunggu?” Jorgie balik bertanya.

“Memangnya apa kau tidak takut kalau orang-orang tahu salah satu anggota keluarga Nielsen terkena kutukan? Aku, sih, tidak bisa membayangkan kalau Frans semakin terkenal nanti pasti semakin banyak orang yang tidak mau berbisnis dengan perusahaanmu lagi,” ucap Lulla.

Sebetulnya apa yang dia katakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan bisnis. Di dalam bisnis rasanya tidak mungkin ada orang yang memikirkan tentang kutukan. Apalagi jika kutukan itu belum terbukti terjadi. Tapi, Lulla harus melakukan segala cara untuk menghasut Jorgie asalkan Aren yang akan mendapatkan posisi Jorgie.

“Kau ini bicara apa? Kutukan itu belum tentu benar. Jadi, tidak perlu berlebihan seperti itu,” balas Jorgie kemudian duduk di sofa.

“Aku bukannya berlebihan. Tapi, aku tahu bagaimana gosip bisa cepat menyebar di era digital seperti ini. Gosip semacam ini pasti bisa merusak citra perusahaan keluarga Nielsen,” ucap Lulla tidak mau kalah.

Jorgie terdiam di tempatnya, memikirkan ucapan Lulla dengan saksama. Melihat keraguan di kedua bola mata suaminya, Lulla tentu merasa sangat bahagia. Wanita itu bahkan tersenyum miring sebab dia yakin sekali kalau Jorgie akan membatalkan rencananya untuk memberikan kepemimpinan perusahaan kepada Frans.

Keesokan harinya, apa yang diinginkan Lulla terjadi. Saat sedang sarapan, Jorgie mengungkapkan keraguannya untuk memberikan jabatan tinggi kepada Frans akibat kutukan yang hinggap di hidup Frans. Jorgie bahkan juga menyatakan kalau dia akan memberikan takhtanya kepada Aren.

Frans tidak merasa keberatan sama sekali, pria itu bahkan pergi dari rumah. Dan dengan bermodalkan tabungan almarhumah ibunya saja, Frans akhirnya membangun usaha yang berakhir sangat sukses, bahkan jauh lebih sukses dari kerajaan bisnis keluarga Nielsen. Frans bahkan tidak pernah kembali ke rumah kecuali kalau ada sesuatu yang penting.

Ya, kekecewaan Frans pada sikap ayahnya yang dengan mudah percaya dan menggantikan posisinya hanya karena sebuah kutukan yang jelas tak akan berpengaruh pada perusahaan.

Bukan posisi tinggi yang Frans harapkan, tetapi tidak dikuculkan lah yang Frans inginkan dari ayahnya sendiri. Ayah yang seharunya melindunginya.

Kembali ke masa sekarang.

Frans tersenyum kecut saat mengingat bagaimana sang ayah lebih mempercayai

kutukan itu daripada dirinya. Namun, setelah apa yang terjadi di dalam pernikahannya, dia tidak menyalahkan keputusan ayahnya lagi. Mungkin benar jika dirinya memang telah dikutuk.

“Kutukan itu membuatku kehilangan semuanya. Apakah aku bisa menghilangkan kutukan itu?” gumam Frans sambil menengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang kerjanya tatkala mengingat masa lalunya yang pahit.

Terpopuler

Comments

Aryana

Aryana

bisa minta sama othor jgn kejam gt

2023-10-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!