Part 5
"Aku tahu, Kau tidak mencintaiku." Zakia mendekati Jidan yang duduk mematung di peraduan.
"Tetapi percayalah, aku pun tidak pernah menginginkan semua ini." Wajah Zakia meredup, suaranya sendu dan tubuhnya sedingin salju.
Zakia terus saja bicara, namun Jidan hanya diam seribu bahasa. Kia menarik napas panjang. Sungguh dia merasa takdir telah mempermainkan cintanya. Dia yang begitu mencintai Jidan, nyatanya tidak merasakan bahagia seperti yang dibayangkan.
Impiannya menjadi ratu di keluarga Hartawan sirna. Karena dia tahu, saat ini perusahaan Hartawan telah gulung tikar. Sementara, untuk menjadi nyonya Syahid Sudrajat, pengusaha muda dan bertalenta juga urung.
"Kau bisa tidur di sini, dan aku tidak akan mengganggumu." Perempuan berambut pirang itu, melangkahkan kaki mungilnya.
"Tunggu!" Langkah Zakia terhenti, dia berdiri mematung di depan pintu.
Jidan bangun dari duduknya, lalu mendekati Zakia. Jantung Zakia berdetak kencang, mendengar langkah kaki pemuda tampan impiannya kala itu. Tidak dapat dipungkiri, Zakia masih sangat mencintai Jidan.
Perasaannya tidak berubah, namun hasratnya tak sedalam dulu. Zakia yang hidup sebatang kara, sungguh tidak sanggup hidup miskin.
"Kau adalah pewaris tunggal keluar ini, maka harapan ibu hanya padamu." Zakia terngiang kalimat bu Rima kala itu, yang berakibat dia setuju menikah dengan Syahid.
"Sungguh beruntung perempuan yang bisa menjadi istri nak Syahid, pemuda baik, berbudi dan berharta." Kalimat sang notaris melengkapi kegilaan akan gemerlapnya dunia pada diri Zakia.
Bayangan kebenaran tentang Syahid terus melekat dibenak Zakia. Keinginannya untuk menjadi seorang nyonya besar seketika mengaburkan cintanya kepada Jidan. Namun seketika Kia tersadar bahwa mimpinya telah sirna. Bersamaan musibah yang menimpa Syahid malam itu.
"Kia, maafkan aku." Jidan menepuk bahu perempuan berambut pirang yang kini telah syah menjadi istrinya, seketika itu Kia terbangun dari khayalannya.
"Kau tidak perlu meninggalkan kamar ini, dan Kau pun tidak harus terpaksa bermalam denganku." Pria beralis tebal itu meraih tangan Zakia.
Zakia membalikkan tubuhnya, pandangannya menyapu keseluruh ruangan. Kamar pengantin yang dihiasi sedemikian rupa, ternyata tidak mengubah apapun.
"Aku mungkin tidak mencintaimu, tetapi aku juga tidak ingin menyakitimu."
"Kita berdua tahu, pernikahan ini tidak semestinya terjadi." Jidan menarik napas panjang, matanya terpejam dan angannya melayang.
Bayangan Madu yang begitu melekat dihatinya, seolah tidak mengizinkannya untuk menyentuh Zakia. Namun permintaan Syahid untuk menjaga Zakia, juga membuat dia tak berdaya untuk meninggalkannya.
Zakia membalas mematung, menunggu Jidan menyelesaikan kalimatnya. Setiap kata yang keluar dari mulut lelaki pujaannya kala itu tidak satu pun ada yang luput dari perhatiannya.
"Aku minta maaf, jika setelah ini aku belum bisa melaksanakan kewajibanku terhadapmu." Jidan menyatukan kedua tangannya.
"Kau pun bebas untuk menjalani hidupmu." Pandangan Jidan memindai Zakia yang mengunci gerak dan lisannya.
"Aku tahu Kau kesal terhadapku, tetapi percayalah, ini demi kebaikan kita semua." Jidan kembali meraih kedua tangan Zakia, dan mengayunkannya.
"Bicaralah Kia!" Zakia tetap mematung.
"Baiklah, mungkin ini yang bisa aku sampaikan, Kau bisa istirahat." Jidan melepaskan genggamannya, dan bersiap melangkah.
"Kau tidak ingin mendengar jawabanku?" ucapan perempuan berambut pirang itu, menghentikan langkah Jidan
Jidan pun berhenti dan membalikkan badannya. Zakia menarik mesra tangan pria beralis tebal itu. Mereka berdua pun duduk berhadapan di peraduan.
"Malam ini seharusnya menjadi malam pertama kita." Zakia tersenyum tipis pada Jidan
"Tetapi aku tahu, ini pernikahan yang tidak biasa." Zakia menarik napas panjang
"Kau tidak perlu resah tentang kewajibanmu terhadapku, karena yang terpenting adalah janjimu terhadap sahabatmu." Sederhana kalimat Zakia, namun mampu menampar nurani Jidan.
"Tapi Kia ... "
"Sssuttt, aku belum selesai." Telunjuk Zakia menutup bibir pria beralis tebal di hadapannya
"Aku hanya minta satu hal kepadamu, biarkan aku melakukan kewajibanku kepadamu." Zakia mengangkat alisnya, sembari tersenyum manis pada Jidan.
Jidan masih belum mengerti apa maksud Zakia. Namun dia tidak mau menambah rumit kondisi saat itu.
"Baiklah, jika itu maumu." Jidan menganggungkan kepalanya.
"Jadi aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku, tetapi biarkan dunia tahu kalau aku saat ini milikmu." Zakia meluruskan pandangannya.
"Aku mengerti, terimakasih atas pengertianmu." Jidan tersenyum lega.
"Aku akan menjagamu, seperti pesan Syahid kepadaku, soal kamar Kau tak perlu risau, aku bisa tidur di kamar tamu." Jidan memegang pundak Zakia.
Zakia pun membalas senyum pria beralis tebal itu, yang kini telah syah menjadi suaminya. Meski berat hati, Zakia pun menyepakati kompromi malam itu. Baginya itu bukan masalah, karena dalam hatinya pun masih ada keraguan untuk hidup bersama Jidan.
Saat ini Jidan sedang merintis karirnya, oleh sebab itu Zakia pun terpaksa harus bertahan hidup di rumah sederhana bersama Jidan. Dia tidak mungkin tinggal di rumah Syahid, sebab kini dia telah resmi menjadi nyonya Jidan Hartawan.
---
Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Setahun sejak kesepakatan malam itu, semua berjalan baik-baik saja. Hingga pada suatu ketika ada sebuah undangan pesta terjadi peristiwa tak terduga.
"Maaf, aku tidak sengaja." Seorang perempuan menumpahkan minuman ke kemeja Jidan.
"Oh ... tidak apa-apa." Jidan tidak sempat menatap perempuan itu, karena seseorang telah menariknya.
"Sayang, Kau tidak apa-apa?" suara itu mengingatkan Jidan pada peristiwa setahun yang lalu.
Suara seorang penelpon rahasia, yang mengejeknya di stasiun. Jidan berusaha mengejar pria misterius itu, namun seorang temannya memanggilnya.
"Jidan, kemana saja Kau?" pria itu menghampiri Jidan dan menepuk pundaknya.
"Aku barusan ingin mengambil minuman." ujar Jihan, pandangannya liar mencari pria misterius yang membawa seorang perempuan berbaju biru.
"Hai ... kenapa dengan kemejamu?" Bola mata Andri terfokus pada kemeja Jidan yang tampak merah dan basah.
"Oh ini, seseorang tidak sengaja menabrakku, minumannya tumpah mengenai kemejaku." Pandangan Jidan terus saja mencari kedua orang itu, sembari dia membersihkan kemejanya.
"Sebentar aku ke toilet dulu." Jidan menepuk pundak Andri dan berlalu.
Andri yang merasa aneh, menatap kepergian Jidan dengan heran. Dia bingung, mengapa sepertinya Jidan terlihat gugup dan tidak fokus. Siapa sebenarnya yang pria beralis tebal itu cari.
"Ah, sudahlah" Andri pun bergabung dengan tamu yang lainnya.
"Mana Jidan? tanya Vera
"Oh, dia masih ke toilet." singkat jawaban Andri
Sementara itu di toilet, Jidan kembali melihat pria misterius itu. Namun kali ini, betapa terkejutnya Jidan, saat dia melihat perempuan yang bersama pria itu.
"Sayang, Kau tidak apa-apa?" Kalimat pria itu terngiang ditelinga Jidan.
Perempuan yang dipanggilnya sayang semula berbaju biru dan tidak berhijab. Namun kali ini, mengapa pria itu bersama perempuan yang berbeda. Bukan masalah berbedanya. Tetapi perempuan yang bersama pria itu adalah Madu.
Jidan berusaha menguasai dirinya. Dia berharap itu hanya kebetulan saja. Pria beralis tebal itu mendoktrin mainsetnya, bahwa pria itu hanya tamu yang kebetulan bertemu Madu.
"Maaf pak, silakan!" seseorang mempersilakan Jidan untuk masuk ke toilet.
"Oh iya, terimakasih." Jidan pun melangkah ke toilet.
Ingatannya tetap terfokus kepada Madu dan pria misterius itu. Logikanya mulai berhamburan. Mencoba menemukan jawaban dari semua rasa penasarannya.
"Madu, apa yang Kau lakukan di sini?" tanya pria itu dengan nada kasar.
"Aku terpaksa ke sini, karena ibu mencarimu?" Madu mengecilkan suaranya.
"Ah ... dasar Kau ini tidak berguna, begitu saja Kau tidak bisa mengatasi." Pria itu mengeluarkan bola matanya kepada Madu.
Mereka terus saja berdebat, meski dengan suaranya tak terdengar dimeriahnya pesta. Tanpa sadar, Jidan yang buru-buru keluar dari toilet, memperhatikan keduanya. Tidak ingin kehilangan jejak, Jidan pun mengabadikan keduanya dengan ponselnya.
_Bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments