Salah Paham

Part 2

"Kau! Bola mata Syahid liar menajam

Perlahan Syahid memalingkan pandangannya. Tatapannya menyapu ke segala penjuru. Sementara itu sosok gemulai dengan rambut terurai, perlahan mendekatinya.

"Syahid tunggu, jangan masuk dulu!" ujar Zakia

Langkah Zakia semakin dekat, namun tetiba tanpa sengaja tangannya menyentuh guci yang berada di samping langkahnya.

Prakkk ...

Mendengar suara keras, Jidan yang telah bersiap melepas pakaiannya, untuk bersiap tidur seketika pun terhenti. Jidan menajamkan telinganya. Sayup-sayup dia mendengar suara berisik di luar. Tak aya, Jidan pun segera bangun dari duduknya. Dia bersiap keluar, dan saat dia membuka pintu. Jidan melihat pemandangan tak biasa.

Zakia terlihat berada di pelukan Syahid. Keduanya beradu pandang. Tanpa berpikir panjang Jidan pun menghampiri keduanya.

"Kalian," kedua tangan Jidan terbuka penuh tanya.

"Baiklah-baiklah, aku tidak peduli apa yang terjadi, yang pasti aku bahagia." Jidan tersenyum lebar."

"In ... ini, tidak seperti yang Kau pikirkan Jidan," Zakia mencoba menjelaskan, sembari melepaskan diri dari pelukan Syahid.

"Syahid, lepaskan aku, dan jelaskan pada Jidan, apa yang sebenarnya terjadi." Zakia mengerutkan wajahnya.

Syahid pun berdiri dan merapikan pakaiannya. Tangannya pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sudahlah, tidak ada yang perlu dijelaskan, aku rasa semuanya sudah jelas." Jidan tersenyum menggoda keduanya.

"Ta ... tapi Jidan, kami," Zakia menghentikan ucapannya, Jidan menutupkan telunjuk di bibirnya.

"Sudahlah ubur-ubur, sebaiknya Kau masuk kamar sekarang. Biarkan kami yang membersihkan ini." Jidan meraih serpihan guci.

"Jidan benar, istirahatlah!" Syahid menimpali

Meskipun berat, dengan wajah kusut Zakia meninggalkan keduanya. Pikirannya tak menentu. Ada rasa marah, kesal, malu dan juga sesal. Zakia tidak menyangka, rasa penasarannya justru membuat asanya tak sampai.

Waktu terus berjalan, namun mata Zakia pun tak juga lelap. Zakia merasa sangat gelisah. Jam dinding yang berdetak serasa berhenti.

"Tenanglah Kia, semua pasti baik-baik saja." Zakia duduk, bangun dan berjalan hilir mudik di peraduan.

"Tidak ada yang bisa mengambil Jidan darimu, tenanglah. Ini hanya soal waktu." Zakia mencoba mendamaikan hati dan pikirannya.

Zakia terus menguras pikirannya, akibatnya dia pun tertidur karena kelelahan. Sang raja malam semakin mengusai kegelapan. Menambah sunyinya malam itu.

Keesokan harinya, matahari bersinar begitu cerah menerobos celah jendela, membangunkan tidur Zakia. Seketika Zakia pun beranjak dari peraduannya. Sayup-sayup terdengar gelak tawa riang. Zakia bangkit dan membuka pintu kamarnya. Pandangannya langsung tertuju pada meja oval di sudut ruangan. Terlihat hidangan sarapan pagi dengan menu istimewa tersaji di sana. Ada dua pemuda tampan dan seorang ibu sedang memanjakan keduanya. Menuangkan setiap menu ke piring cantik di hadapan mereka.

Mereka terlihat sangat bahagia. Zakia yang sedang berada dalam kegelisahan, sungguh tidak sangat tertarik dengan suasana itu. Zakia hanya ingin Jidan, bukan yang lainnya. Sebelum semuanya melihat Zakia, dia pun kembali masuk ke kamar.

"Tunggu, dari tadi kalian membahas Zakia, lalu dimana calon menantuku itu? tanya ibu Rima sembari menatap kedua pemuda tampan di hadapannya.

"Apa!" suara keras Zakia mengejutkan Syahid dan Jidan yang sedang asyik menyantap hidangan pagi itu.

"Ukhukk," Syahid tersedak

"Minumlah!" Ibu Rima secepat kilat memberikan minuman ke putranya.

"Zakia cantik, kemarilah!" Zakia melipat senyumnya.

Bu Rima tanpa segan berjalan mendekati Zakia. Lalu menghampirinya, menarik tempat duduk untuknya, serta menyiapkan piring untuk sarapan pagi itu.

"Kau tidak perlu malu, makanlah dengan tenang. Baru setelah ini kita bicarakan segalanya." Senyum bu Rima merekah, pandangannya berbinar secerah sinar mentari.

Sementara itu Syahid yang hanya bisa terdiam, bungkam seribu bahasa. Dia tidak tahu, kalau pagi itu justru dia yang mendapat kejutan. Rencananya untuk menyatukan Zakia dan Jidan justru membuatnya terperangkap antara bahagia ibunya dan gelisahnya Zakia. Syahid tahu, Zakia tidak menyukainya. Syahid pun tahu, dirinya belum ingin menikah. Tetapi kali ini Syahid benar-benar dalam masalah.

Dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Yang terlihat begitu bahagia, mendengar cerita Jidan tentang peristiwa semalam. Syahid tidak habis pikir, kenapa Jidan tidak mau percaya dengan penjelasannya.

Di sisi lain Syahid tahu, kalau ada cinta di mata Zakia. Tetapi cinta itu bukan untuknya. Cinta dan hasrat itu, untuk Jidan. Meskipun begitu, Syahid pun tidak bisa mengatakan pada Zakia, kebenaran apa yang sedang disembunyikan oleh Jidan.

"Jidannnn, kau ini, kenapa kegilaanmu justru membelengguku" Syahid menggerutu dalam hati, sembari menahan kepalan tangannya di bawah meja.

Sesaat suasana terasa semrawut. Masing-masing larut dalam perasaan dan asa yang berbeda.

"Ayulah ubur-ubur, makan yang banyak, Kau tidak perlu diet ketat." Jidan menggoda Zakia.

"Sudahlah! ini semua gara-gara Kau." Zakia menghentikan suapannya.

Zakia beranjak dari duduknya, berlari ke taman samping rumah Syahid.

"Zakia, tunggu," bu Rima berusaha menghentikan Zakia.

"Sudahlah bu, biar aku yang tangani Zakia." Syahid dengan sigap, bangkit dan menenangkan ibunya.

"Kia, aku minta maaf," Syahid menyatukan tangannya, sembari tersenyum asam.

"Aku tidak tahu, kalau semuanya jadi serius."

"Sungguh Kia, aku tidak pernah merencanakan semua ini." Syahid mencoba memahamkan Zakia.

Berbagai untaian kata maaf, beserta penjelasan yang berlogika dia ucapkan. Namun semua sia-sia, api amarah telah menguasai jiwa Zakia. Zakia hanya diam mematung. Terlihat sesekali dia membuang pandangan. Bola matanya yang berapi-api, terus saja membakar rasa bersalah dalam diri Syahid.

"Sebenarnya aku pikir, ini tidak serius. Rencanaku yang sebenarnya adalah ... " Bola mata kemerahan gadis berambut pirang itu, mengunci lisan Syahid.

"Kenapa berhenti, ayuk lanjutkan kalimatmu!" Tatapan tajam Zakia menusuk tepat dijantung Syahid.

Semula Syahid ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun tiba-tiba, dia melihat ibunya tersenyum tegang dari arah yang berlawanan. Syahid pun mengurungkan niatnya, untuk menyampaikan yang sebenarnya.

"Tidak Kia, aku hanya, hanya ingin bilang," tubuh Syahid bergetar, lisannya pun berantakan.

Zakia terus saja memaksakan asanya. Dia ingin tahu, apa sebenarnya yang ingin Syahid katakan. Namun belum sempat Syahid berucap, bu Rima datang menghampiri keduanya.

Zakia yang sejak kecil diasuh oleh ibunya Syahid, benar-benar tidak bisa menolaknya. Ibu Rima memegang tangan keduanya. Lalu mengembangkan senyumnya.

Zakia bukan orang asing bagi ibunya Syahid. Kia sudah seperti putrinya sendiri. Sudah sejak lama, bu Rima ingin menyampaikan maksudnya. Namun mendengar peristiwa semalam dari Jidan, bu Rima semakin yakin bahwa Zakia adalah jodoh yang baik bagi Syahid.

Syahid yang selama ini tinggal di luar kota. Yang hanya pulang setahun sekali, memang kurang sedikit dekat dengan Zakia. Rasa hutang budi yang Zakia tanggung membuatnya tidak berdaya untuk menolak kesalah pahaman bu Rima.

Zakia hanya menahan gelisahnya dalam pelukan bu Rima. Sementara Syahid benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

"Sekarang Kau bersiaplah!" ujar bu Rima sembari merapikan rambut pirang Zakia yang menghalangi pandangannya.

"Zakia tertunduk diam, dia mencoba menebar senyum, namun tak bisa." Gadis berambut pirang itu pun, menarik napas panjang.

"Baiklah bu, aku akan bersiap." Zakia meninggalkan Syahid dan ibunya.

Syahid mencoba menjelaskan kepada ibunya. Namun sekali lagi, bu Rima tidak percaya penjelasannya. Pemuda berkumis tipis itu pun mulai gusar. Dia mencoba memutar otak.

Sementara itu ditempat lain. Jidan sudah bersiap tanpa merasa berdosa.

"Jidan tunggu!" Syahid menghentikan langkah Jidan sembari tersemat murka diwajahnya.

"Ini semua gara-gara Kau." Syahid meraih kerah baju Jidan hingga tubuhnya pun terjebak kedinding.

"He ... apa-apaan Kau ini, lepaskan aku!" Jidan berusaha melepaskan diri.

"Tidak, Kau telah membuat aku gila dengan kegilaanmu!" Tatapan Syahid menyala.

Syahid terus memegang Jidan dengan kuat. Hingga Jidan pun kesulitan bernapas.

"Le ... lepaskan aku, hari ini aku akan bertemu cintaku." Jidan terengah-engah dalam cengkraman Syahid.

"Kau tahu, aku hampir saja mendapatkannya, jadi tolong lepaskan aku." Jidan menyatukan tangannya sembari meringis.

Mendengar pinta Jidan, Syahid pun melepaskan cengkeramannya.

"Apapun masalahmu sobat, aku pasti akan membantumu. Tetapi, tolong jangan hari ini, aku hampir saja mendapatkan cintaku, aku mohon." Jidan kembali menyatukan kedua tangannya, sembari melipat wajahnya dengan rambut yang berantakan.

"Baiklah, tapi ingat urusan kita belum selesai." Syahid pun menjauh dari Jidan tanpa daya.

Jidan sejenak tertegun melihat sikap Syahid. Dia tidak habis pikir, mengapa sahabatnya itu marah kepadanya.

"Bukankah harusnya Syahid bahagia, cintanya tersambut dan juga mendapat restu ibunya." Jidan mengerutkan jidatnya,

"Cinta memang aneh, aku pendam cintaku bertahun-tahun,"

"Hari ini aku hampir mendapatkannya,"

"Tapi Syahid, cintanya yang baru saja dimulai telah tersambut, tetapi mengapa dia pendam lautan amarah kepadaku." Jidan terus saja memutar otak sembari merapikan kemejanya.

Jidan belum juga mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Yang dia tahu hari ini dia akan bertemu cintanya.

"Atau Syahid menghawatirkan aku" Jidan pun segera berlari mencari Syahid.

Sesampainya di depan pintu kamar Syahid, Jidan pun berhenti. Tanpa berpikir panjang, Jidan berucap dari balik pintu. Dia begitu yakin, kalau yang di dalam kamar adalah Syahid.

"Syahid, aku janji setelah aku bertemu dengan cintaku, aku pasti akan kembali, untuk menyelesaikan semuanya." Suara Jidan terbata-bata penuh semangat.

"Hari ini aku akan buktikan kepadamu sobat, bahwa cinta tidak pernah salah." Jidan menarik napas panjang dan sesekali mengusap rambutnya.

"Percayalah, aku akan baik-baik saja, tidak ada yang bisa menghalangi cintaku." Jidan terus meyakinkan Syahid.

"Syahid ... jawab aku" Jidan pun mulai mengetuk pintu.

"Baiklah, kalau Kau sedang ingin sendiri seperti ubur-ubur, ok ... aku pergi." Jidan pun membalikkan badannya.

"Aku mencintainya, dan aku hanya ingin dia tahu kalau aku mencintainya." Jidan pun meraih kunci mobil dan berlalu.

Sementara itu, saat pintu terbuka. Syahid melihat Zakia telah berdiri di dalam kamarnya.

"Kia, Kau?" Syahid menatap penuh tanya

"Iya aku, semula aku datang untuk memintamu menyampaikan kebenaranku." Zakia melangkah keluar.

Dari atas balkon Zakia melihat mobil Jidan yang perlahan menghilang diujung jalan. Perasaannya hancur, mendengar pernyataan cinta Jidan. Cinta yang dia harapkan terbalas, tetapi ternyata cinta itu bukan untuknya.

"Aku sudah tahu semua." Butiran bening mengkristal satu-satu bergantian menuruni pipi yang memudar warnanya.

"Kau tahu apa Kia?" Syahid menundukkan pandangannya.

"Aku tahu, kalau Jidan mencintai seseorang di luar sana." Zakia membuang pandangannya ke ujung hilangnya mobil putih yang membawa cintanya.

Zakia menumpahkan segala rasa dan asa yang tak sempat tercurah. Melihat hal itu Syahid semakin merasa bersalah pada Kia.

"Kia maafkan aku, semula aku berpikir akan menyatukanmu dengan Jidan, tetapi malam itu." Lisan Syahid terhenti, saat jari telunjuk gadis berambut pirang yang berurai air mata itu, mendarat di bibirnya.

Semua terjadi begitu cepat, tanpa sadar Syahid pun membenamkan tubuh mungil itu ke dalam pelukkannya. Syahid yang telah menganggap Zakia seperti adik selama ini, merasakan sakit dan kecewa yang sedang melanda Zakia.

 

Jidan yang melajukan mobilnya dengan kencang telah sampai di stasiun. Hatinya begitu berbunga-bunga, jantungnya berdebar tak tentu. Senyum terus saja menghiasi bibirnya.

Pemuda tegap itu pun menghentikan laju mobilnya. Perlahan dia turun dan meringankan langkahnya menuju ke tempat tunggu.

Setiap kereta yang melintas tidak ada yang luput dari pandangannya. Satu per satu penumpang pun turun. Namun sampai penumpang terakhir turun, Jidan tidak menemukan cintanya. Dia berusaha menghubunginya, namun panggilannya selalu dialihkan.

Pesan singkatnya yang dikirim pun hanya centang satu. Pikiran Jidan mengembara, dia sangat gelisah. Madu telah berjanji menemuinya di stasiun, namun sampai hari mulai menjelang senja, Madu tak kunjung tiba.

"Nut ... nut ... nut ..."

Ponsel Jidan berdering, dia berharap itu dari Madu. Jidan pun bergegas menggapai ponselnya, tanpa melihat nama yang tersemat di sana.

"Halo ... Madu, di mana dirimu?

"Tenanglah jangan buru-buru, Madu pasti akan menemuimu." ujar seorang pria dari seberang sana.

"Kau ... siapa Kau?" Jidan meraih ponselnya, dan tidak mendapati profil Madu di sana.

"Pulanglah! Atau rambutmu akan memutih karenanya, haha ... " Jidan mulai curiga mendengar ejekan dari pria yang tidak dikenalnya.

Jidan terus saja bertanya siapa orang yang telah menelponnya. Namun orang itu pun, tetap tidak mengakui siapa dirinya. Bahkan pria itu terus saja mengejek Jidan.

Jidan berpikir, hanya Syahid dan Madu yang tahu masalahnya. Dia terus berpikir keras untuk menemukan jawabannya.

"Jawab aku, atau ... !" Jidan mengeraskan volume suaranya.

"Atau apa?" suara pria itu pun lebih meninggi

Jidan tidak mau membuang energinya untuk melayani penelpon tidak jelas itu. Dia menutup telponnya, dan berusaha bertanya kepada petugas.

"Maaf pak, apakah masih ada kereta yang akan melintas?" Jidan membukungkan tubuhnya di loket informasi.

"Maaf pak, yang melintas barusan adalah kereta terakhir." ujar staf kereta api

"Baiklah, terimakasih pak" Jidan berpaling dan menebarkan pandangannya.

Jidan berusaha menyusuri setiap celah, untuk menemukan Madu. Tetapi hingga senja menunjukkan pesonanya, Jidan tetap menunggu. Dia berharap ada keajaiban.

Nut ... nut ... nut ...

Ponselnya kembali berdering. Kali ini, Jidan lebih teliti. Saat dia layangkan pandangannya, ternyata itu panggilan dari Syahid.

"Halo, ada apa Syah?" jawab Jidan.

"Apakah Kau masih bersama Madu?"

"Kenapa Kau belum juga kembali, ingat Ji ... Madu bukan perempuan lajang." ujar Syahid.

Syahid begitu yakin, kalau Jidan sudah berhasil bertemu dengan cintanya. Dia berpikir, sebab bahagia, Jidan lupa pulang.

"Apa yang Kau pikirkan Syah, jangan bilang aku terlena sebab Madu." Jidan berusaha merapikan kecewanya.

Jidan berpikir, tidak mau lagi menambah masalah untuk Syahid. Dia tidak mengatakan yang sebenarnya.

"Jika urusanmu telah usai, pulanglah. Kami menunggumu!" ujar Syahid

"Baiklah, aku akan segera pulang," Jidan menarik napas panjang, sembari menutup teleponnya.

"Halo, halo, Ji ..." Jidan terus memanggil Jidan.

Panggilan Syahid tidak terjawab. Sebab Jidan telah mengakhiri pembicaraannya sepihak.

Syahid dan ibunya pun saling beradu pandang. Mencoba menerawang apa yang sedang terjadi pada Jidan.

_Bersambung_ ...

Episodes
1 Pesona Madu
2 Salah Paham
3 Suami Pengganti
4 Suami Pengganti untuk Kia
5 Cinta Zakia
6 Terungkapnya Sebuah Rasa
7 Mengejar Cinta Suamiku
8 Maaf yang Tak Dianggap
9 Mati Rasa
10 Cinta yang Bersemi
11 Air Mata Madu
12 Jerat Cinta Satu Malam
13 Kejujuran Jidan
14 Rapuh
15 Terpaksa Memilih
16 Menjahit Luka Madu
17 Bermuka Dua
18 Kebahagiaan Semu
19 Salah Sangka
20 Hati yang Kecewa
21 Sahabat Sejati
22 Terungkapnya Sebuah Kebohongan
23 Hatimu Tak Secantik Parasmu
24 Kembalinya Sang CEO
25 Ketabahan Madu
26 Perjuangan Madu
27 Tipu Daya Rayyan
28 Perjanjian Hitam
29 Ucapan Beracun
30 Bimbang
31 Keputusan yang Sulit
32 Mengejar Cinta yang Terbuang
33 Pantang Menyerah
34 Penyesalan Rayyan
35 Kehilangan
36 Terpuruk
37 Penyesalan Rayyan
38 Rahasia Hati Madu
39 Bukan Madu yang Dulu
40 Pertemuan Yang Tidak Diinginkan
41 Hati Bukan untukmu Lagi
42 Tiada Lagi Manis yang Tersisa
43 Pilihan yang Terlambat
44 Kekuatan Hitam di Atas Putih
45 Luka tak Berdarah
46 Maaf yang Dipaksa
47 Kepergian Jidan
48 Demi Si Buah Hati
49 Hambarnya Sebuah Rasa
50 Pencarian Sinar
51 Hati Seorang Ayah
52 Kepergian Jidan
53 Perjuangan Rayyan
54 Kesembuhan Sinar
55 Mencoba Membuka Hati
56 Hati yang Terusik
57 Terbakar Emosi
58 Luka Lama
59 Kepingan Luka Madu
60 Kepergian Madu
61 Tangisan Tak Bersuara
Episodes

Updated 61 Episodes

1
Pesona Madu
2
Salah Paham
3
Suami Pengganti
4
Suami Pengganti untuk Kia
5
Cinta Zakia
6
Terungkapnya Sebuah Rasa
7
Mengejar Cinta Suamiku
8
Maaf yang Tak Dianggap
9
Mati Rasa
10
Cinta yang Bersemi
11
Air Mata Madu
12
Jerat Cinta Satu Malam
13
Kejujuran Jidan
14
Rapuh
15
Terpaksa Memilih
16
Menjahit Luka Madu
17
Bermuka Dua
18
Kebahagiaan Semu
19
Salah Sangka
20
Hati yang Kecewa
21
Sahabat Sejati
22
Terungkapnya Sebuah Kebohongan
23
Hatimu Tak Secantik Parasmu
24
Kembalinya Sang CEO
25
Ketabahan Madu
26
Perjuangan Madu
27
Tipu Daya Rayyan
28
Perjanjian Hitam
29
Ucapan Beracun
30
Bimbang
31
Keputusan yang Sulit
32
Mengejar Cinta yang Terbuang
33
Pantang Menyerah
34
Penyesalan Rayyan
35
Kehilangan
36
Terpuruk
37
Penyesalan Rayyan
38
Rahasia Hati Madu
39
Bukan Madu yang Dulu
40
Pertemuan Yang Tidak Diinginkan
41
Hati Bukan untukmu Lagi
42
Tiada Lagi Manis yang Tersisa
43
Pilihan yang Terlambat
44
Kekuatan Hitam di Atas Putih
45
Luka tak Berdarah
46
Maaf yang Dipaksa
47
Kepergian Jidan
48
Demi Si Buah Hati
49
Hambarnya Sebuah Rasa
50
Pencarian Sinar
51
Hati Seorang Ayah
52
Kepergian Jidan
53
Perjuangan Rayyan
54
Kesembuhan Sinar
55
Mencoba Membuka Hati
56
Hati yang Terusik
57
Terbakar Emosi
58
Luka Lama
59
Kepingan Luka Madu
60
Kepergian Madu
61
Tangisan Tak Bersuara

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!