Part 4
"Selamat ya Syah, semoga semua dimudahkan." Jidan menjabat tangan sahabatnya dengan diiringi senyum hangat.
Syahid hanya terdiam, pikirannya masih terpusat pada Zakia. Melihat semuanya berbahagia, Syahid tetap dingin terdiam ditempatnya.
Sementara itu Zakia yang menyadari kecurigaan Syahid, hanya tersenyum tipis melihatnya. Sedangkan Jidan dan ibunya Syahid yang sejak semula membahas persiapan pernikahan mereka kembali terfokus kepada ayahnya Zakia.
"O ya Ji, ibu sebaiknya kita bahas ini nanti saja, sepulang mereka bekerja." ujar Zakia.
"Kau benar Kia, hmmm." Sahut Jidan.
"Hari ini aku harus menemui klienku, jangan khawatir sembari keluar aku akan mencoba mencari solusi tentang ayahmu." Jidan beranjak dari duduknya, bola matanya menajam ke arah Syahid dan Zakia.
"Kau tidak perlu repot mencari ayahku." ucapan Zakia menghentikan langkah Jidan.
"Maksudmu apa Kia?" Tanya bu Rima.
"Iya bu, kalau ayah tidak bisa ditemukan, kita bisa pakai wali hakim." Bola mata Zakia meredup.
Melihat itu seketika perempuan paruh baya itu, mendaratkan belaian kasih sayangnya. Syahid yang masih sibuk mencari jawaban atas persetujuan Zakia, hanya bisa diam dengan wajah datar.
"Hai ... ubur-ubur, sejak kapan Kau menjadi lebay, sudahlah percayakan semuanya kepada kami." Jidan mencoba mencairkan suasana dengan kejahilannya.
"Baiklah, lanjutkan deramamu, aku pergi dulu." Jidan mencium tangan bu Rima dan melambaikan tangan kepada semuanya.
"Pergilah, hati-hati, ingat jangan Kau biarkan kami menunggu seperti kemarin." Perempuan paruh baya itu, melepas kepergian Jidan dengan senyuman.
"Ibu, aku juga harus pergi." Syahid pun mencium kening dan tangan ibunya.
"Iya, berhati-hatilah, semoga semua urusanmu dimudahkan." Bu Rima mengusap rambut putranya.
"Aamiin ... " Syahid dan Zakia berucap bersamaan.
"Tunggu aku Kia, ada hal yang harus kita bicarakan." Syahid berbisik ditelinga Zakia saat melintas di sampingnya.
Zakia pun mengecilkan pandangannya. Logikanya sudah tahu, kemana arah pembicaraan Syahid.
Sementara itu Jidan yang lebih dulu meninggalkan rumah, telah sampai ditujuannya. Seorang pria separuh baya telah lama menunggunya.
"Maaf Pak, saya terlambat." Jidan menyalami pria itu.
"Tidak, saya juga baru sampai." Sambut pria itu sembari bangun dari duduknya.
Keduanya pun terlibat pembicaraan serius. Pria paruh baya itu adalah pengacara keluarga Hartawan. Bagas namanya, seorang pengacara kepercayaan ayahnya Jidan.
"Maaf nak Jidan, setelah saya pelajari, sepertinya sudah tidak ada yang diselamatkan lagi." Bagas mengecilkan pandangannya, urat wajahnya pun menegang.
"Baik Pak, saya mengerti." Jidan merapikan duduknya.
"Tidak masalah, lalukan apapun yang baik untuk semuanya."
Bagas terlihat sangat tidak nyaman, dia merasa gagal menjalankan tugasnya. Seorang investor yang dia kenal pun tidak dapat membantunya. Perusahaan keluarga Hartawan benar-benar diambang gulung tikar.
Setelah membuat sebuah kesepakatan keduanya pun mengakhiri pertemuannya. Jidan meninggalkan Bagas, masih merapikan berkas-berkas yang baru saja diperiksa oleh Jidan.
Jidan merasa takdir sedang tidak berpihak kepadanya. Cintanya tak sampai, sedangkan perusahaan yang telah dibangun ayahnya sejak lama diambang kebangkrutan.
Jidan menepi ketika tiba-tiba, sebuah panggilan masuk melintas diponselnya. Betapa terkejutnya dia, saat melihat profil yang muncul diponselnya. Jantungnya berdebar keras, tubuhnya bergetar dan bibirnya laksana terkunci.
"Halo, halo ... " suara lembut nan jauh, namun mampu menggetarkan kelakian pemuda beralis tebal itu.
Untuk beberapa saat, Jidan hanya diam dan menatap tajam ke arah ponselnya. Dia berusaha menguasai dirinya. Pemuda tampan itu, tetap jaga image. Jidan tidak ingin terlihat mengejar cinta Madu.
"Hai ... " singkat jawaban Jidan.
"Apa kabar?"
"Apakah kita bisa bicara sebentar?" Lirih suara Madu semakin mengencangkan denyut jantung Jidan.
"Kabar baik, jangankan sebentar, lama juga boleh." Jidan menggigit bibirnya.
"Tidak, aku cuma ingin minta maaf, karena hari itu aku tidak menepati janji." Lisan perempuan itu, meluruhkan kegundahan Jidan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, tenang saja." Jidan merapikan nada suaranya.
Getaran jiwa antara kecewa dan bahagia bercampur jadi satu. Di satu sisi Jidan ingin sekali mengungkapkan kekecewaannya. Namun di sisi lain, dia merasa harus tetap ja-im.
"Justru seharusnya aku yang minta maaf, aku terlambat datang hari itu, jadi aku berpikir Kau kecewa lalu pergi meninggalkan stasiun." Jidan berhasil mengusai hasratnya.
Ego kelakiannya, memaksa pemuda tampan itu untuk tidak mengakui yang sebenarnya. Dia berpikir, betapa jatuh harga dirinya. Jika perempuan yang dipujanya itu mengetahui rahasia hatinya.
"Sudahlah Madu lupakan kejadian hari itu, sekarang bagaimana kabarmu?" Jidan benar-benar menafikan perasaannya.
"Syukurlah, aku sudah sangat khawatir."
"Aku pikir, telah membuatmu menunggu, maka aku merasa harus meminta maaf kepadamu." Mode tenang terdengar dari nada bicara Madu.
"Alhamdulillah aku baik-baik saja."
"O ya, karena semua sudah jelas, jadi kita impas ya haha ... " gelak tawa tanpa rasa berdosa dari Madu, membuat Jidan mati gaya.
Jidan lupa bahwa Madu tidak pernah tahu tentang perasaannya. Pemuda beralis tebal itu menyesali kebodohannya. Dia terbawa perasaan, seolah-olah Madu mengharapkannya.
Sejenak Jidan, memutar otaknya. Apakah caranya sudah benar. Ketika dia mengatakan yang sebenarnya, bagaimana Madu tahu betapa dia bak orang gila menunggunya di stasiun.
"Kau memang bodoh Jidan, kenapa Kau jadi seperti ABG yang terlalu banyak basa basi." Jidan menggutuki dirinya sembari memukul-mukul kepalanya.
"Halo, halo ... Kau masih di situ? Madu memastikan bahwa dia sedang tidak bicara sendiri.
"Iya aku masih di sini, ja ... Jadi ka ... kapan kita bertemu?" Suara Jidan terbata-bata.
"Maaf, aku tidak bisa berjanji, kalau ada hal yang penting sampaikan saja sekarang, aku beri Kau waktu dua menit."
"Dua menit?" Jidan hampir tak sempat berpikir darimana dia memulainya.
"Iya dua menit." Sahut Madu.
Namun belum sempat Jidan menyampaikan perasaannya. Dua menit telah berlalu dan Madu pun mengakhiri obrolannya.
Tiga bulan sejak kejadian itu, Jidan terus berharap masih bisa berhubungan dengan Madu. Pemuda beralis tebal itu, tidak akan pernah menyerah sebelum dia tahu apa sebenarnya jawaban Madu. Ketika dia tahu bahwa selama ini pemuda tampan itu menyimpan rasa yang begitu dalam kepadanya.
Sementara ditempat yang berbeda, persiapan pernikahan antara Syahid dan Zakia sudah mendekati 99 %. Persiapan sudah begitu nyaris sempurna, tinggal menunggu hari H.
Setiap ruangan dihiasi dengan indah. Maklumlah, Syahid adalah anak semata wayang. Pesta yang gelar begitu meriah. Hingga pada suatu malam tanpa disadari peristiwa tak terduga terjadi.
Seorang bertopeng tiba-tiba datang dan memasuki kamar Jidan. Menduga itu itu adalah penjuri, Jidan pun dengan sigap mengejarnya. Dalam gelapnya malam, kejar-kejaran pun terjadi. Syahid yang mendengar keributan itu pun tak aya keluar untuk membantunya.
"Jidan sudahlah, jangan diteruskan sepertinya pencuri itu telah pergi." Seru Syahid dengan napas tersedat-sedat.
Suasana malam yang meriah seketika berubah menjadi ricuh dan menegangkan. Jidan yang sempat beradu hantam tak aya pun mengalami luka memar. Keduanya kembali, namun belum sempat mereka melangkah, suara ledakan senjata api terdengar.
"Jidan awas."
Dengan sigap Jidan pun menghindar. Namun malang, Syahid yang tidak sempat menghindar terkena timah panas tepat di dadanya. Pemuda berkumis tipis itu pun jatuh bersimbah darah.
"Syahid, bertahanlah!" Jidan memeluk tubuh sahabatnya.
"Syahid, anakku!" Air mata bu Rima mengucur deras, tubuhnya bagai tak bertulang.
"Ayuk cepat kita bawa ke RS ... " Jidan mengangkat tubuh tubuh Syahid.
Dalam perjalanan ke RS Jidan terus saja memegangi Syahid. Syahid yang lemah terus saja memegang erat tangan Jidan.
"Jidan boleh aku minta sesuatu." Pemuda berkumis tipis itu sesekali mengerang.
"Katakan, apa yang Kau minta?" Jidan menatap tajam sahabatnya.
Wajah Syahid mulai memucat. Darah terus mengalir tak terkira. Jidan terus saja menyuruh supir untuk mempercepat laju mobilnya. Dia begitu menghawatirkan keadaan sahabatnya.
Pemuda beralis tebal ibu merasa sangat bersalah. Karena menyelamatkannya, Syahid sampai mengalami musibah ini. Padahal besok adalah hari pernikahannya. Semua persiapan pesta telah tersedia. Undangan pun sudah tersebar keseluruh undangan. Tetapi gara-gara dia, semua ini terjadi.
"Syahid berjanjilah padaku, bahwa Kau akan menggantikan tempatku." Syahid menahan rasa sakit dan menyelesaikan kalimatnya.
"Aku tahu, Kau tidak mencintai Kia, tetapi setidaknya, jaga dia sampai aku kembali." Permintaan Syahid bagai petir di tengah mentari menyengat jiwa dan raga Jidan.
Jidan hanya bisa terpaku. Mulutnya bagai dipenjara, tubuhnya gemetar dan wajah seketika bagai bulan kesiangan.
"Berjanjilah!" Suara Syahid pun semakin melemah, pandangannya pun perlahan mulai menghilang.
"I ... iya, aku berjanji." Dengan berat Jidan pun mengiyakan permintaan sahabatnya yang sedang sekarat.
Mendengar jawaban Jidan, Syahid pun tersenyum dan menutup matanya.
"Syahid, Syahid, bangunlah!"
"Maaf, kita sudah sampai biarkan dokter memeriksanya." Pinta pak Rudi yang membersamai mereka.
_Bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
anggita
😘syahid... zakia..
2023-06-01
0